.: 1st
Cup :.
Pria itu
berlari-lari kecil memasuki pelataran kafe, menyapu butiran air yang menetes di
baju yang dipakainya dengan tangan, kemudian melangkah masuk ke dalam, tanpa
sengaja membunyikan lonceng yang terpasang di bagian atas saat dia membuka
pintu.
Kafe itu
tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang yang sibuk dengan sarapan
paginya, tidak peduli dengan sekitar.
Pria itu
mengedarkan pandangan dan memutuskan untuk duduk di dekat jendela yang tampak
kabur terkena uap tetesan air hujan di luar. Dari sana dia bisa melihat
pemandangan jalan, mobil-mobil yang berseliweran, orang-orang yang
berlalu-lalang, berlari menghindari hujan, bergegas menuju tempat tujuannya
masing-masing.
Sebenarnya
dia tidak ada rencana sama sekali untuk memperlambat paginya dengan mampir di
kafe ini. Dia sengaja berangkat lebih awal ke kantor karena mobilnya terpaksa
masuk bengkel setelah dipakai dengan semena-mena oleh kakak perempuannya
kemarin. Sialnya, dia terjebak hujan di jalan dan terpaksa mampir ke kafe ini,
mengingat dia masih harus menempuh jarak 10 menit lagi sebelum sampai di halte
terdekat dengan berjalan kaki, dan dia tidak ingin terlihat acak-acakan di
hadapan para pegawainya di kantor.
Pria itu
menyandarkan punggungnya ke kursi dan melipat tangannya di depan dada, menatap
pemandangan di luar jendela. Hujan masih mengguyur cukup deras, dan sepertinya
akan sering turun, mengingat ini adalah pertengahan musim gugur.
Secara
pribadi dia tidak terlalu menyukai musim gugur. Bukan hanya karena musim
tersebut identik dengan perpisahan, tapi juga karena aura yang dimiliki musim
itu sendiri. Cokelat, kering, gugur, berakhir. Tidak ada makna positif yang
didapatnya dari hal-hal itu, jadi… sederhana saja, dia bukan penikmat musim
gugur.
“Anda sudah
mau memesan, Tuan?”
Pria itu
menoleh saat mendengar suara yang berasal dari arah kanannya. Dia mendongak dan
mengangguk ke arah pelayan yang langsung menyodorkan buku menu padanya.
“Kopi biasa
saja,” jawabnya singkat tanpa melirik buku itu sama sekali.
“Baik.
Silahkan menunggu sebentar. Permisi.”
Pria itu
melanjutkan lagi kegiatannya yang sempat tertunda tadi. Dia teringat bagaimana
ibunya meminta agar dia mulai memikirkan masa depannya, yang hanya berarti satu
hal. Menikah. Hanya saja… apa yang bisa dilakukannya jika tiap hari dia selalu
berkencan dengan tumpukan pekerjaannya? Ibunya pasti tidak akan setuju jika dia
menikah dengan perusahaan.
Umurnya
sudah menginjak 25 tahun, yang memang menuntutnya untuk segera memikirkan
sesuatu tentang… berkeluarga. Dan jujur saja, itu bukan hal yang dianggapnya
perlu untuk dipikirkan.
Pria itu
memfokuskan matanya saat menangkap sosok seorang gadis yang menurutnya
bertingkah aneh. Gadis itu berdiri diam di seberang jalan, di bawah naungan
payungnya yang berwarna putih transparan. Hanya saja gadis itu tidak bergeming
dari tempatnya saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah, seolah… ada
sesuatu yang menahannya tetap disana.
Pria itu
menyipitkan matanya agar bisa melihat lebih jelas, karena berkali-kali sosok
gadis itu tertutupi oleh kerumunan yang berlalu-lalang di depan kafe. Dia tidak
tahu tapi… saat gadis itu mendongakkan wajahnya menatap langit dengan mata
terpejam, dia merasa bahwa gadis itu sedang mencium bau sesuatu, tidak
memedulikan tetes air hujan yang mulai membasahi wajahnya. Dia tidak yakin
dengan apa yang dilakukan gadis itu, hanya saja gadis tersebut terlihat sangat
menikmati apa yang dilakukannya, merujuk pada senyum kecil di bibirnya.
Gadis itu
melakukannya cukup lama, sampai lampu lalu-lintas sudah dua kali berganti
warna. Hijau dan merah. Tapi kali ini gadis itu sepertinya sadar untuk segera
bergerak, bergabung dalam kerumunan.
Pria itu
sedikit menahan nafas saat melihat gadis tersebut berhenti di depan pagar kafe,
tersenyum dan melambai ke arah seseorang yang sepertinya berdiri di depan pintu
kafe, karena dia tidak bisa melihatnya dari sudut tempat dia duduk.
Kali ini dia
bisa melihat keseluruhan wajah gadis itu dengan lebih jelas, membuatnya terpana
dalam hitungan detik yang terasa begitu lama.
Dia pernah
mendengar pendapat yang mengatakan bahwa bagian terbaik dari sebuah kecantikan
adalah saat tidak ada gambar yang bisa melukiskannya. Dan kali ini, dia
mengerti maksud ucapan itu. Dia… tidak bisa mendeskripsikan satu bagian pun
dari wajah gadis itu dengan tepat. Hanya cantik. Dia hanya tahu bahwa gadis itu
cantik. Itu saja.
***
“Kau
melakukannya lagi? Menghirup aroma hujan kesukaanmu sampai lupa waktu? Kali ini
kau melakukannya dimana?”
Gadis yang
dicecar pertanyaan oleh Yo-Ri itu tersenyum, merapikan bagian bawah gaun
terusannya, lalu meletakkan payungnya ke rak payung yang terletak di depan
pintu masuk kafe.
Dari arah
itu dia bisa melihat bagian dalam kafe yang dibatasi oleh sekat-sekat dari kayu
dan kaca di segala sisi. Dia merasa ada seseorang yang memperhatikannya, dan
menyadari bahwa satu-satunya orang yang duduk di sisi itu hanya seorang pria
yang mungkin hanya lebih tua 3 atau 4 tahun darinya. Pria itu menoleh ke arah
lain, jadi dia tidak perlu merasa takut ketahuan jika memperhatikan.
Kesan
pertamanya adalah pria itu tampak sangat tampan dalam balutan jas hitamnya,
dengan aura dingin yang sangat kentara.
Gadis itu
menggelengkan kepalanya, berusaha menjernihkan pikiran lagi. Ini bukan waktunya
untuk memperhatikan penampilan seorang pria, kan?
“Hanya di
lampu merah seberang,” jawab gadis itu singkat, menjawab pertanyaan Yo-Ri tadi,
lalu melangkah masuk ke dalam kafe, langsung menuju dapur yang dipenuhi aroma
kue dan kopi.
“Aku tidak
pernah mengerti dengan hobimu yang satu itu,” cetus Yo-Ri tidak habis pikir.
Sahabatnya itu dulu adalah gadis yang tomboy dan tidak peduli terhadap
penampilan. Tapi semenjak kematian kedua orangnya tahun lalu, gadis itu berubah
180 derajat.
Kedua orang
tua sahabatnya itu meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis yang membuat
ayahnya tewas di tempat. Ibunya masih sempat dibawa ke rumah sakit dalam
kondisi sekarat, tapi kemudian meninggal keesokan harinya setelah meninggalkan
pesan terakhir untuk anak semata wayangnya itu. Inti dari pesan itu adalah
bahwa dia menginginkan anak perempuannya itu menjadi anak yang manis, sesuatu
yang kemudian diinterpretasikan sahabatnya sebagai perubahan menjadi wanita
feminin, berhenti meminum kopi, apalagi membuatnya, karena ibunya selalu
mengatakan bahwa tidak seharusnya seorang anak perempuan tergila-gila dengan
minuman pahit berkafein itu.
“Ini tepat
satu tahun. Kau ingat janjimu?” tanya Yo-Ri memastikan.
Gadis itu
mengangguk. Masa berkabungnya harus berakhir pada hari ini. Dia sudah berjanji
untuk mencoba membuat kopi lagi. Kafe ini miliknya, tanggung jawabnya, dan dia
sudah menelantarkannya terlalu lama.
“Kopimu itu
kopi yang terenak di dunia, kau tahu?”
“Sebagai
satu-satunya hal yang bisa kulakukan dengan baik di dapur, tentu saja aku harus
menjadi yang terhebat,” ucap gadis itu sambil menyunggingkan senyum. “Pesanan
mana yang belum dibuat?”
“Semuanya
sudah selesai. Tinggal diantarkan. Tunggu saja pelanggan berikutnya datang,”
ujar Yo-Ri, memanggil salah seorang pelayan untuk membawa pesanan terakhir yang
belum diantarkan.
“Chakkamman!
Kopi itu untuk siapa?” tanya gadis itu, mencegat langkah pelayan tersebut.
Pelayan itu
menunjuk ke arah pria yang duduk di sudut di dekat jendela, membuat gadis itu
langsung berinisiatif untuk merebut nampan kecil itu dan meletakkannya kembali
ke atas meja.
“Biar aku
buatkan yang baru. Kopi pertamaku harus untuk pelanggan yang istimewa dan… dia
satu-satunya pelanggan kita pagi ini yang duduk sendirian. Jadi dia harus
meminum kopi buatanku. Eo?”
“Baiklah,
terserah kau saja,” tandas Yo-Ri, sambil memberi tanda agar pelayan itu kembali
ke tempatnya. “Ngomong-ngomong pria itu tampan juga.”
“Dekati saja
kalau kau tertarik,” sahut gadis itu, sibuk membuat kopi pertamanya dengan
penuh konsentrasi.
Dia tidak
pernah melupakan setiap langkahnya, setip rahasianya. Dia selalu
bersenang-senang saat membuat kopi, menikmati aroma harum yang menguar dari
dalam cangkir, ketelitian saat menuang krim dan membentuknya menjadi berbagai
macam jenis. Kali ini dia memilih bentuk daun, lambang dari musim gugur.
Saat itu…
ada setitik harapan untuk orang pertama yang mencicipi kopi pertamanya setelah
satu tahun berlalu dalam penuh kesedihan. Satu harapan sederhana agar pria itu
menyukai kopi buatannya. Harapan sederhana bahwa kopi itu akan menjadi sumber
energi sebelum pria itu melewatkan harinya yang sibuk. Harapan sederhana bahwa…
pagi ini menjadi awal yang indah, dari siang yang mendung, dan malam yang
melelahkan.
***
Kopi pertama
pagi ini. Hangat. Dengan aroma khas yang menguar, pekat bercampur wangi manis
yang menenangkan.
Pria itu
mengangkat cangkir dan mendekatkannya ke mulut, merasakan sesapan pertamanya.
Rasa manis krim, yang kemudian berganti dengan rasa pahit dari kopi yang
kental.
Ada rasa
hangat menyenangkan yang mengalir dari tenggorokan ke perutnya, kafein harian
yang selalu disukainya.
Dia sudah
mencoba begitu banyak jenis kopi dari berbagai kedai kopi di Seoul, tapi baru
kali ini dia datang ke tempat ini, membuatnya merasa sedikit menyesal karena
sudah melewatkan kopi pagi terenak yang pernah dicicipinya.
Kopi selalu
sama. Seperti putaran hidup yang tidak pernah berbeda. Manis di awal, kemudian
diikuti rasa pahit hingga akhir, lalu habis. Usai begitu saja. Seperti manusia
yang menjalani hidup. Lahir untuk kemudian mati, memenuhi siklus hidup yang
terus-menerus berjalan tanpa henti. Seseorang lahir, mati, kemudian digantikan
oleh seseorang yang lain. Yang jika beruntung selalu diingat, tapi jika sial,
dengan cepat dilupakan begitu saja.
Pria itu
meminum tegukan terakhirnya, bersiap untuk pergi dengan rasa pahit yang akan
tertinggal di lidah untuk jangka waktu yang cukup lama. Tapi di detik yang
sama, pria itu tertegun di tempat, tepat saat cairan itu mengalir masuk ke
dalam kerongkongannya.
Entah
bagaimana, dia tidak tahu bagaimana caranya, tapi tegukan itu terasa manis,
tidak pahit seperti yang biasa dirasakannya. Kopi itu sebelumnya pahit dan
hanya ada krim yang memberikan sedikit rasa manis, tapi krim itu sendiri
dituang di atas permukaan kopi, dan dia sama sekali tidak mengaduknya, jadi
mustahil rasa krim itu masih tertinggal sampai tegukan terakhir.
Pria itu
mengerutkan keningnya, sebelum akhirnya tersenyum tipis. Rasanya seperti…
sebuah kontradiksi terhadap pikirannya. Siapapun pembuat kopi itu, seolah ingin
menunjukkan bahwa… selalu ada akhir yang manis untuk setiap hal. Apapun itu.
Pria itu
melangkah ke meja kasir, membayar kopinya, dan berniat untuk pergi, sebelum
mengurungkan niatnya dan berbalik menatap penjaga kasir itu.
“Tolong
katakana pada orang yang telah membuatkan kopi untukku,” ujarnya pelan. “Terima
kasih sudah membuatkan kopi pertamaku hari ini dengan sangat enak. Aku suka
rasa akhirnya. Dia hebat sekali.”
***
Gadis itu
menghentikan langkahnya di depan dua buah makam yang terletak berdampingan. Dia
meletakkan bunga lili putih yang dibawanya ke atas pusara, kemudian melakukan
penghormatan. Matahari tidak bersinar terlalu cerah karena tertutup awan, jenis
cuaca yang selalu disukainya. Musim gugur selalu indah. Cokelat. Warna yang
selalu dilihatnya setiap melihat foto-foto lama yang sudah kusam, tampak
kecokelatan dimakan usia.
Menurutnya
musim gugur terlihat seperti lembaran masa lalu yang akan segera usai,
digantikan oleh musim dingin yang membekukan setiap kenangan dalam ingatan,
musim semi yang cerah penuh warna, awal dari sesuatu yang baru, dan musim panas
yang penuh sinar matahari, perjalanan yang terlewat sebelum menuju akhir.
“Eomma, appa,
haari ini tepat satu tahun setelah kepergian kalian,” ucapnya sambil tersenyum
tipis. “Hari ini adalah hari terakhir masa berkabungku, jadi setelah ini aku
akan menjadi anak kalian yang dulu. Tapi tenang saja eomma, aku sudah mulai
terbiasa memakai semua gaun yang dulu kau belikan untukku, jadi mungkin aku
masih akan memakainya sesekali.”
“Aku membuat
kopi pertamaku tadi pagi. Orang yang meminum kopi itu mengucapkan terima kasih.
Dia bilang dia menyukai rasa akhirnya. Appa benar, kan? Aku memang pembuat kopi
terenak di seluruh dunia.”
“Appa,
eomma, sebentar lagi musim gugur akan berakhir. Akhir-akhir ini hujan sering
sekali turun. Apa menurut kalian akan terjadi sesuatu? Aku harap… itu sesuatu
yang baik. Musim gugur selalu menyenangkan, kan?”
***
.: 2nd
Cup :.
Pagi kedua
tanpa mobil kesayangannya. Dan pagi kedua dia berhenti di depan kafe yang sama,
merasa kebingungan sendiri dengan perasaan yang mendesaknya ingin kesini. Kopi
mungkin?
Pria itu
masuk ke dalam dan melangkah ke tempat dia duduk kemarin. Hanya saja sudah ada
seorang gadis yang duduk disana. Dengan secangkir kopi di hadapannya.
Kakinya
terus melangkah ke meja itu, tidak berniat untuk berbelok saat dia menyadari
bahwa gadis itu adalah gadis yang dilihatnya kemarin. Gadis di lampu merah
dengan payung transparan.
Hari ini
gadis itu mengenakan cardigan yang cukup tebal, menutupi blus peach-nya, dengan
rambut yang terikat rapi membentuk ekor kuda.
“Chogiyo….”
“Ne?” sahut
gadis itu sambil mendongak. Detik berikutnya mata gadis itu sudah membulat,
seolah mengenalinya. Atau mungkin hanya perasaannya saja.
“Boleh aku
duduk disini? Aku suka duduk di dekat jendela, jadi….”
“Oh, ye,
silahkan,” ujar gadis itu sambil menyingkirkan barang-barangnya dari meja,
meletakkannya ke atas kursi kosong disampingnya.
Seorang
pelayan mendatangi mereka dan pria itu menyebutkan pesanannya. Kopi biasa. Sama
seperti kemarin.
Mereka
berdua sama sekali tidak berniat untuk membuka pembicaraan, hanya menatap ke
arah yang sama. Jendela. Sebelum akhirnya gadis itu menunduk dan melanjutkan
kegiatan membaca novelnya yang tadi sempat tertunda.
Pemandangan
pagi yang dilihat pria itu kali ini sedikit berbeda. Gerimis menggantikan hujan
deras yang turun pagi sebelumnya. Gerimis selalu lebih menyenangkan menurutnya.
Tidak terlalu membuat basah. Dengan suara yang lebih ringan saat membentur
tanah.
Tatapannya
melayang pada gadis di depannya. Ada sesuatu yang membuat gadis itu terlihat
menarik. Senyumnya mungkin? Atau suaranya yang jernih?
Tidak.
Mungkin dia hanya menyukai bau lembut yang menguar dari tubuh gadis itu. Lili,
menurut tebakannya.
Pesanan pria
itu datang beberapa menit kemudian, yang langsung disesapnya setelah memastikan
bahwa kopi itu sudah cukup dingin untuk diminum.
Gadis itu
sendiri tetap menatap lembaran bukunya dengan pennuh konsentrasi, tersiksa
dengan kenyataan betapa menariknya pria itu jika dilihat dari dekat. Dia seolah
sedang menatap dirinya sendiri saat melihat bagaimana pria itu tampak begitu
menikmati kopi paginya, ekspresi yang tidak dimiliki oleh seluruh penikmat
kopi.
Pria itu
melirik jam tangannya sekilas lalu menuntaskan tegukan terakhirnya. Kali ini
gadis itu mengerutkan keningnya bingung saat melihat raut muka tidak puas yang
terlihat sangat jelas di wajah pria itu.
“Waeyo?”
tanyanya, tidak tahan untuk bertanya.
“Kopinya
berbeda,” ujar pria itu pelan, sama bingungnya.
“Mwo?”
“Kopi yang
kuminum pagi ini… berbeda dengan kopi yang kuminum kemarin.”
“Bagaimana
kau bisa….”
“Rasa
akhirnya,” potong pria itu serius. “Kali ini rasanya pahit. Pasti tidak dibuat
oleh orang yang sama.”
Pria itu
bangkit berdiri dan membungkuk sopan sambil mengucapkan terimakasih.
“Untuk apa?”
“Karena
mengizinkanku duduk disini. Maaf mengganggu pagimu. Sampai jumpa,” ujarnya,
meninggalkan gadis itu tertegun sendirian.
Mata gadis
itu mengikuti sosok pria tersebut sampai menghilang dalam kerumunan orang yang
berjalan di luar pagar kafe, terkesima dengan kenyataan bahwa pria itu tahu
bahwa kopi yang baru saja diminumnya berbeda. Dia tahu perbedaan kecil yang
tidak terlalu kentara itu.
“Wae? Kenapa
kau tersenyum?”
Gadis itu
menoleh kaget dan menatap Yo-Ri kesal karena kedatangan gadis itu yang mengejutkannya.
“Ani,”
gelengnya. “Hanya bertemu seseorang yang menyenangkan.”
***
.: 3rd
Cup :.
Ada yang
bilang bahwa sekali kau bertemu takdirmu, dia akan terus-menerus muncul di
depanmu dalam begitu banyak ketidaksengajaan yang terlihat disengaja. Mungkin
perkataan itu benar, tapi dia tidak yakin apakah pria itu takdirnya atau bukan.
Gadis itu
meneruskan langkahnya ke halte yang masih kosong. Hanya ada pria itu saja
disana.
Gadis
tersebut duduk di ujung lain bangku halte, meletakkan tasnya ke tempat kosong
disampingnya, membuat pria itu menoleh. Gadis itu membungkuk dan tersenyum
sedikit sebagai sapaan, yang dibalas oleh pria itu dengan cara yang sama.
“Kau tidak
ke kafe?” tanya gadis itu, berusaha terdengar seperti basa-basi, padahal dia
sendiri ingin tahu apakah pria itu kecewa karena rasa kopinya kemarin sehingga
tidak mau datang lagi atau mungkin ada alasan lain.
“Pagi ini
aku ada meeting, jadi tidak bisa mampir ke kafe. Kau sendiri?”
“Aku harus
menyerahkan skripsiku pagi ini,” jelas gadis itu. “Apa kau tinggal di dekat
sini? Kenapa kita tidak pernah bertemu?”
“Di kompleks
perumahan disana,” tunjuk pria itu ke sebelah kanannya. “Biasanya aku pergi ke
kantor dengan mobil, tapi mobilku sedang ada di bengkel, makanya aku memutuskan
untuk naik taksi.”
“Ah, begitu.
Pantas saja aku tidak pernah melihatmu di dekat sini.”
Hening lagi.
Hanya terdengar gemerisik dedaunan yang diterbangkan angin lalu jatuh ke tanah.
Gadis itu
menggerakkan kakinya, memainkan beberapa helai daun kecokelatan yang jatuh di
dekatnya. Dia mendongakkan wajahnya dan menghirup nafas dalam-dalam, mencium
aroma yang sangat familiar di udara.
“Sebentar
lagi hujan,” gumamnya pelan, tidak menyadari tatapan yang diberikan oleh pria
disampingnya. “Aku bisa mencium aromanya. Apa kau membawa payung?”
***
Dia tidak
tahu apa yang dirasakannya saat melihat gadis itu. Lagi. Apa ada kebetulan yang
terlalu kebetulan seperti ini?
Hari ini
gadis itu mengenakan gaun cokelat selutut, warna musim gugur, dengan rambut
ikal yang dibiarkan tergerai di punggung. Dan gadis itu melakukan hal yang sama
dengan yang dilakukan dua hari yang lalu. Duduk diam sambil memejamkan mata
dengan kepala mendongak ke atas, seolah sedang menghirup aroma sesuatu.
“Sebentar
lagi hujan,” gumam gadis itu pelan. “Aku bisa mencium aromanya. Apa kau membawa
payung?”
“Kau…”
ujarnya tak yakin. “Bisa mencium bau hujan?”
Gadis itu
mengangguk sambil tersenyum. “Hujan memiliki bau yang khas. Aku menyukai
aromanya. Seperti… bau tanah yang basah. Karat.”
Gadis itu
tiba-tiba berdiri dan melihat ke arah lain, dengan tergesa-gesa mengeluarkan
sesuatu dari dalam tasnya.
“Bisku sudah
datang. Ini,” ujarnya sambil menyodorkan tempat minum ke arah pria itu, yang
balas menatapnya tidak mengerti.
“Kopi. Kau
belum minum kopi pagi ini, kan? Ini kopi pertamamu hari ini. Semoga harimu
menyenangkan!” seru gadis itu sambil berlari naik ke atas bis.
Pria itu
menatap tempat minum di tangannya lama, sebelum akhirnya membukanya, menghirup
aroma pekat kopi yang bercampur dengan udara yang di sekelilingnya.
Dia menyesapnya
sedikit, merasakan hantaman rasa familiar di lidahnya. Dengan tidak sabar dia
meminum kopi itu sampai habis, tersenyum puas saat mencecap tegukan
terakhirnya.
“Jadi kau,”
gumamnya lirih. “Ternyata kau yang membuatnya.”
***
“Oh,
annyeong,” sapa gadis itu kaget saat dia baru menapakkan kaki turun dari bis.
Pria itu
juga menatapnya dengan raut wajah terkejut, sebelum akhirnya tersenyum tipis
dan membungkukkan badan.
“Kau… sedang
apa disini?”
“Hujan,”
jawab pria itu. “Aku tidak membawa payung, jadi aku terpaksa menunggu disini
sampai hujannya reda.”
“Bukannya
kau naik taksi?”
Pria itu
menggeleng. “Taksi sudah penuh karena banyak penumpang saat hari hujan, jadi
aku memutuskan untuk naik bis.”
“Oh,” sahut
gadis itu sambil mengangguk mengerti. “Kalau begitu… ng… aku duluan,” pamitnya
sambil membuka payung dan berjalan ke arah kiri halte.
“Chogiyo,”
panggil pria itu cepat, bangkit dari tempat duduknya. Pria itu tampak
kebingungan sesaat, tidak tahu kenapa dia memanggil gadis itu. Memangnya apa
yang sedang dipikirkannya, hah?
“Ng…
keberatan kalau aku mengantarmu?”
“Ne?”
“Maksudku…
setelah aku mengantarmu, aku bisa meminjam payungmu, dan tidak kebasahan sampai
di rumah. Kalau kau tidak keberatan,” ujar pria itu, sedikit salah tingkah.
“Tapi… arah
rumah kita berlawanan. Apa tidak masalah?”
“Gwaenchana,”
ucapnya sambil mengambil-alih payung gadis itu dan berjalan bersisian.
“Kau suka
musim gugur,” tanya pria itu, membuka pembicaraan.
Gadis itu
mengangguk dengan pandangan menerawang. “Aku suka melihat daun yang berguguran.”
“Wae?”
“Bukankah
daun adalah makhluk hidup paling luar biasa?”
“Mwo?” tanya
pria itu, merasa terkejut dengan pernyataan mengagetkan yang keluar dari mulut
gadis tersebut.
“Daun adalah
makhluk hidup paling luar biasa,” ulang gadis itu lagi. “Mereka bisa
menghasilkan makanan sendiri, dengan cara mengambil karbon dioksida yang kita
keluarkan, lalu mengubahnya menjadi oksigen yang kita hirup kembali. Bukankah
itu luar biasa? Manusia tidak bisa bernafas tanpa kehadiran mereka,” jelasnya.
“Lagipula… mereka juga memiliki siklus hidupnya sendiri. Saat musim gugur
mereka akan berguguran ke atas tanah, berubah warna menjadi cokelat. Menua.
Mati. Kemudian hidup lagi saat musim semi. Mereka bisa mati, hidup, memperindah
pemandangan, memberi manusia oksigen. Helai-helai yang kadnag diinjak dan tidak
dipandang sama sekali, tanpa ada yang sadar bahwa mereka adalah benda
terpenting di dunia, alasan kenapa kita bisa bernafas. Karena itu aku menyukainya.
Daun… tidak pernah meminta balasan atas kebaikan yang mereka lakukan.”
Pria itu
memperhatikan lekat-lekat selama gadis itu berbicara. Suaranya, cara dia
tersenyum, mata cokelatnya yang besar, dan harum bunga lili yang memenuhi
indera penciumannya. Pria itu tersadar akan satu hal, bahwa dengan caranya
sendiri, gadis itu terlihat sangat berbeda. Sudut pandang yang digunakannya
jauh berbeda dari orang kebanyakan. Seolah gadis itu hidup di dunianya sendiri.
Sesuatu yang tidak bisa dia mengerti, tapi entah kenapa dia sukai.
“Sudah
sampai,” ucap gadis itu sambil menghentikan langkah, mengedikkan dagunya ke
arah sebuah rumah kecil bercat putih dengan pekarangan yang luas, dipenuhi oleh
bunga-bunga yang tumbuh beraneka warna. Dia membuka pagar, lalu melangkah masuk,
sedangkan pria itu berjalan mengikutinya dari belakang.
“Kau mau
masuk?” tawarnya.
Pria itu
menggeleng. “Besok aku akan ke kafe dan aku akan mengembalikan payungmu. Tidak
apa-apa, kan?”
Gadis itu
membuka pintu dengan kunci yang dibawanya lalu berdiri dengan tangan yang
memegangi handle pintu.
“Aku tidak
yakin apakah aku bisa ke kafe besok. Tinggalkan saja payungnya disana.”
“Aku akan
menunggu sampai kau datang,” sergah pria itu tergesa-gesa, dengan suara yang
terdengar sedikit ragu. Dia menarik nafas dalam sebelum melanjutkan, “Lalu… kau
bisa memberitahuku namamu.”
Gadis itu
tertegun di tempat. Dia tahu ada makna lain dari ucapan pria tersebut, dan pria
itu sendiri juga menyadari hal yang sama. Jika dia tidak datang, mungkin akan
berakhir disitu saja, tapi jika dia datang… ada pilihan yang setelah itu akan
dijalaninya. Hanya saja… apakah dia sudah siap?
“Sampai
jumpa,” ucap pria itu pelan, terbenam dalam suara deras hujan yang keras.
Pria itu
baru sampai ke tepi beranda saat dia kemudian berbalik dan menatap gadis itu
tidak yakin, menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia mengatakan hal itu atau
tidak.
“Kopi
buatanmu,” ucap pria itu akhirnya. “Aku suka kopi buatanmu.”
***
.: 4th
Cup :.
Pria itu
memarkirkan mobilnya di depan pagar kafe, mengembangkan payungnya sebelum turun
dari mobil dan mengunci pintu. Hujan turun cukup deras dan ramalan cuaca
memprediksi bahwa Seoul akan mendung seharian.
Pria itu
baru saja akan melangkah memasuki pelataran kafe saat melihat sosok lain yang
berjalan menuju tempat yang sama dari arah yang berlawanan. Kali ini dengan
gaun putih selutut, rambut dijalin longgar, payung putih transparan yang
dibawanya saat pertama kali pria itu melihatnya dulu, dan beberapa tangkai
bunga lili calla dalam dekapannya.
Tanpa sadar
pria itu menahan nafasnya sebelum akhirnya menghembuskan nafas lega, dengan
hati yang terasa lebih ringan.
Dia berpikir
semalaman, menebak-nebak apakah gadis itu akan datang atau tidak. Kalau gadis
itu datang, dia tahu bahwa dia tidak bisa kabur lagi dari keputusan awalnya
untuk mencoba. Mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama ini.
Sesuatu yang akan membuat ibunya berteriak senang. Tapi jika gadis itu tidak
datang… apa yang akan dilakukannya? Menyerah begitu saja? Sepertinya tidak. Itu
sama sekali bukan gayanya. Jadi sebenarnya keputusannya sama. Dia akan melihat
gadis itu setiap hari. Harus melihat gadis itu setiap hari. Tidak peduli gadis
itu bersedia atau tidak, dia akan tetap pada keputusannya.
Gadis itu melangkah
ke arahnya, mengembangkan senyumnya yang biasa, lalu membungkuk.
“Hai,”
sapanya singkat.
Pria itu
merasa jantungnya diremas kuat dan paru-parunya menolak bekerja secara normal.
Dia menarik nafas dalam-dalam, berusaha meredakan kegugupannya, yang secara
keseluruhan berakhir sia-sia.
Dalam
gerakan lambat dia mengulurkan tangannya, mencoba menemukan pita suaranya. “Cho
Kyuhyun.”
Gadis itu
menatap uluran tangannya tersebut cukup lama, seolah mengalami pergolakan
sendiri, sebelum akhirnya membiarkan tangannya menyentuh telapak tangan Kyuhyun
yang terulur, menggenggamnya ringan.
“Han
Hye-Na.”
Saat itu…
akhirnya dia tahu mengapa ada begitu banyak manusia yang rela tersakiti
berkali-kali hanya untuk jatuh cinta. Cinta hanya istilah sederhana saat kau
menatap seseorang, menganggapnya orang paling istimewa dan luar biasa di
seluruh dunia, walaupun itu hanya anggapan pribadimu saja, hanya karena dia
menatapmu balik dengan cara yang sama. Hal itu… adalah hal paling menyenangkan
yang pernah dirasakannya. Permainan logika yang tidak pernah masuk akal.
Istilah yang terlalu sederhana untuk menggambarkan hal yang bisa menyebabkan
perpecahan di seluruh dunia. Sesuatu yang berefek sama seperti kopi. Kafein
harian yang membuat banyak orang kecanduan.
END
0 komentar:
Posting Komentar