Rabu, 15 Mei 2013

Death Kiss

Posted by Unknown On 05.30 | 4 comments
Nih buat yang kangen tulisan-nya kak Yuli Pritania atau Han Hye-na.

Genre : romance, fantasy, hurt/comfort, family life, school life
Cast : Cho Kyuhyun, Han Hye-Na
ditemuin sama Jimbon, INGET JIMBON CUMA NEMU DAN GAK BUAT, YANG NGEBUAT KAK YULI PRITANIA

Kyuhyun’s POV

Curare = jarum yang sangat beracun. Aku bisa meyakini 98% bahwa kau belum pernah mendengar kata ini. Makhluk ini. Yah, curare adalah makhluk legenda. Curare bukan vampire yang terkenal ke seluruh jagad raya. Bahkan tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya. Eksistensinya. Sebenarnya, satu-satu kata yang menggambarkannya adalah…  terkutuk.

Aku bisa menceritakan kepadamu sedetail mungkin tentang makhluk ini. Kenapa? Karena aku sendiri adalah bagian dari kaum ini. Dan yang bisa aku beritahukan kepadamu untuk awalnya adalah… kami benar-benar menjijikkan.

Curare… bahkan vampire yang kau anggap sangat mengerikan pun bisa dianggap malaikat dibandingkan makhluk mengerikan ini. Curare bukan penghisap darah, tapi 100 kali lebih parah dari itu. Aku… bisa kukatakan dengan sejujurnya, lebih memilih mati daripada seperti ini. Tapi kenyataannya, aku terlalu takut untuk merasakan parahnya kematian.

Curare terbentuk hanya apabila curare lain menggigit seorang manusia… bukan, aku salah menggunakan kata… maksudku mengisap roh bukan menggigit. Mengoyak tepatnya.
Setelah bertransformasi menjadi curare, kau berwujud manusia secara fisik, tapi dengan kekuatan seperti monster. Kau adalah manusia tanpa satupun organ vital. Untuk itulah kau menjadi curare. Sampai sekarang aku bahkan tidak mengerti untuk apa curare diciptakan.
Ada 10 organ vital yang tidak kau miliki. Kau harus mencarinya di dalam tubuh manusia normal. Bukan sembarang manusia, tapi manusia yang sudah ditakdirkan untuk memberikan anggota tubuhnya padamu. Curare bisa menemukan manusia tersebut dengan hidung mereka. Manusia itu berbau seperti bunga mawar dalam penciuman curare. Satu curare mempunyai kemungkinan maksimal 2 orang yang organ vitalnya tepat untuk curare tersebut.
Dalam peraturan curare, setiap organ vital bisa dimiliki sesuai dengan urutannya masing-masing. Otak, paru-paru, hati, lambung, pancreas, empedu, ginjal, usus, sumsum tulang belakang, dan terakhir…jantung.

Setiap organ memiliki jangka waktu 10 tahun sampai kau menemukannya. Total semuanya menjadi seratus tahun. Hal yang menyulitkan adalah, manusia itu begitu banyak dan tersebar di seluruh dunia dan kau tidak tahu harus memulai darimana. Dan jika dalam waktu 10 tahun kau tidak bisa menemukan otak misalnya, kau akan mati. Begitu seterusnya. Ada juga peraturan penting lain, bahwa seorang curare hanya bisa membunuh manusia pada tanggal 15 setiap bulannya, selain pada tanggal itu, jika kau memaksa untuk melakukannya, organ itu akan lenyap dari tubuh manusia tersebut dan digantikan oleh organ baru yang sama sekali tidak cocok denganmu.

Aku sudah sampai pada bagian bagaimana tepatnya curare membunuh. Jika manusia tersebut sejenis dengan curare, pria dan pria atau wanita dengan wanita, mereka hanya tinggal mengeluarkan jarum beracun dari lapisan kuku mereka. Jarum itu sangat mematikan, bisa membunuh dalam waktu 2 detik. Mereka tinggal menancapkan jarum tersebut tepat dimana organ vital yang dicarinya berada dan secara spontan organ vital itu akan bersatu dengan tubuh curaretersebut.

Sedangkan, jika manusia itu berlawanan jenis dengan curare, curare itu harus memberikan kecupan kematian kepada manusi menyedihkan tersebut dan mengisap roh mereka lalu menyentuhkan jari telunjuk mereka ke posisi organ vital tersebut dan seperti yang telah kujabarkan sebelumnya, organ vital itu berpindah tempat.
Sialnya, manusia yang organ vitalnya telah dicuri tersebut secara otomatis juga berubah menjadi curare. Karena itu tidak ada yang tahu eksistensi kami. Semua terencana, karena tidak ada mayat bergelimpangan yang kekurangan salah satu bagian tubuhnya. Tidak ada bukti. Hanya ada orang yang secara tiba-tiba menghilang dari peredaran dan tentunya itu tidak bisa disebut sebagai bukti, kan?

Setelah mendapatkan organ vital terakhir yang harus dimilikinya, curare tidak langsung berubah menjadi manusia. Butuh waktu 1 bulan untuk itu. Setelah transformasi itu berhasil, curare tersebut kembali ke waktu dimana mereka pertama kali berubah, seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan tanpa ingatan sedikitpun bahwa mereka pernah menjadi monster pembunuh.
Jadi untuk apa ada curare kalau pada akhirnya mereka tidak ingat apa-apa? Well, mungkin aku bisa terima kalau pada akhirnya kami mendapatkan keabadian, tapi tidak. Setelah kembali menjadi manusia, kami akan tetap mati jika sudah waktunya.
Manusia yang menjadi curare saat belum berumur 17 tahun, langsung berumur 17 tahun saat menjadi curare dan itu berlangsung selama 100 tahun, tidak ada penuaan. Dan curare lain yang berubah saat umurnya sudah mencapai 17 tahun atau lebih akan tetap berumur seperti itu selama 100 tahun.

Dan sudah waktunya kita masuk ke babak paling mengerikan. Kematian. Kematian bagi para curare merupakan sesuatu yang sangat mengerikan. Tidak semudah kematian bagi manusia. Ada sebagian curare yang tidak bisa menerima keadaannya sebagai curare. Mungkin karena pada awalnya dia adalah orang baik-baik. Tapi sayangnya, tidak ada kata bunuh diri dalam kamus hidup curare. Tidak ada yang mempan melukai tubuh kami. Kekuatan kami benar-benar mengerikan. Kami bisa menghancurkan gedung pencakar langit hanya dengan jari telunjuk kami jika kami mau. Kami bisa berpindah tempat dalam waktu satu detik hanya dengan memikirkan tempat yang kami tuju. Kami bisa melakukan semua hal dengan sempurna. Kejeniusan kami seribu kali lipat dari kejeniusan manusia yang paling jenius.

Kami bergaul dengan manusia seolah-olah kami adalah bagian dari mereka. Kami tidak akan pernah menyakiti manusia manapun kecuali kalau dia memiliki organ vital yang kami butuhkan. Ada peraturan bahwa jika kami menyakiti manusia yang tidak seharusnya kami incar, waktu kami akan dikurangi dari 10 tahun menjadi 5 tahun.

Sebenarnya kami kurang suka bergaul dengan manusia, karena mereka semua benar-benar bau dalam penciuman kami. Kami bergaul dengan mereka dengan sedikit sekali kontak fisik. Tapi untuk curare muda seperti aku, itu bukan masalah besar. Sebagian dari curare malah memilih bersekolah dan bergaul dengan sebanyak mungkin manusia sambil mencari korban mereka. Padahal mereka lebih banyak bolosnya untuk berkeliling dunia mencari the sweetest rose-nya, itu julukan kami untuk para manusia yang akan menjadi korban. Bau mereka benar-benar seperti surge di antara bau manusia lainnya yang sepoerti kotoran.

Tapi ada satu hal yang benar-benar menyebalkan. Kami tidak bisa dilihat oleh orang-orang yang pernah melihat kami saat kami masih menjadi manusia dulu. Jadi kami tidak bisa menemui keluarga manusia kami untuk mengatakan bahwa kami tidak hilang. Kami masih hidup. Lagi-lagi agar eksistensi kami terjaga.

Curare yang tidak berhasil menemukan organ vital mereka dalam jangka waktu 10 tahun untuk tiap organ vital akan mati. Mereka akan kembali menjadi manusia dalam keadaan sekarat, seolah-olah tubuh mereka dikoyak-koyak dengan pisau. Mereka tidak akan mati sampai ada curare lain yang menemukan mereka dan mau memakan organ-organ tubuh yang sudah mereka temukan sebelumnya. Hal itu sialnya, merupakan hal paling menjijikkan bagi para curare. Sudah kubilang tadi, manusia itu benar-benar bau!

Kau pasti bertanya, curare yang sekarat itu kan sudah menjadi manusia, dia bisa menusuk dirinya sendiri dengan pisau atau menyuruh manusia lain melakukannya jika dia tidak ingin larut dalam penderitaan. Sayangnya, curare yangs ekarat itu tidak tampak dalam penglihatan manusia. Tubuh mereka masih kebal terhadap benda apapun. Satu-satunya hal yang bisa menghentikan penderitaan mereka ya itu tadi, dimakan oleh curare lain.

Kurasa kau pasti mau muntah sekarang. Tenang saja, aku sudah selesai. Tapi apakah kau tidak mau bertanya satu pertanyaan mendasar? Apa curare tidak bisa jatuh cinta? Tentu saja bisa. Mungkin. Aku belum pernah mencoba soalnya. Mencium manusia berlawanan jenis bisa mengakibatkan kematian, tapi jika curare pria mencium curare lain yang berlawanan jenis dengannya, itu bisa disebut dia menjadikan curare itu sebagai hak miliknya satu-satunya. Dia akan bertarung mati-matian jika ada curare lain yang mengganggu hak milik pribadinya. Mereka menyebut pasangan hidup mereka sebagai my own miracle, mukjizat pribadiku. Tapi tentu saja dalam dunia curare tidak ada yang abadi. Karena pada akhirnya hanya ada dua penyelesaian, kembali menjadi manusia atau sekarat dalam kematian.

Ada satu cerita yang mengubah pandanganku. Saat itu ada seorang curare wanita yang kehabisan waktu karena dia tidak bisa menemukan the sweetest rose-nya. Dia mulai sekarat. Tapi dengan pengorbanan yang butuh begitu banyak ketetapan hati, pasangan hidupnya memakan organ tubuh curare wanita itu. Mengenyampingkan seluruh rasa jijiknya, mengenyampingkan sikap egoisnya untuk membiarkan saja wanita itu sekarat sampai kiamat agar dia tetap bisa menatap wajah wanita itu setiap hari. Bisa kau bayangkan bagaimana perasaannya saat dia harus memakan tubuh kekasih hidupnya. Cerita itu begitu terkenal dalam dunia curare. Pria itu sendiri akhirnya menjadi manusia dan aku dengar dia sudah meninggal sekarang.

HYE-NA’S POV

Manusia… mungkin kedengarannya bodoh, tapi aku benar-benar bosan menjadi manusia. Manusia, khususnya wanita, hanyalah makhluk idiot yang menyelesaikan seluruh permasalahan dengan hati yang pada akhirnya berujung kepedihan yang mengakibatkan air mata mereka terkuras. Aku benar-benar tidak percaya bahwa air mata wanita bisa habis, mereka sering sekali menangis.

Umurku hampir 17 sekarang. Tinggal 4 bulan lagi. Waktu aku berumur 6 tahun, ibuku meninggal. Dan sejak itulah aku tidak pernah menampakkan emosi apapun. Aku tidak pernah marah, menangis, atau bahkan sekedar tersenyum. Semuanya datar-datar saja. Ayahku bahkan sampai kelimpungan dibuatnya. Aku tidak pernah mau bicara lebih dari satu kalimat pendek dengan orang lain, bahkan terhadap ayahku sekalipun.

Pernahkah aku jatuh cinta? Tidak. Belum. Tapi aku harap itu tidak akan pernah terjadi. Kedengarannya jatuh cinta itu benar-benar menjijikkan. Tapi tidak semuanya. Aku tergila-gila dengan seorang pria yang seumur hidup pun tidak akan pernah aku temui. Edward Cullen. Apalagi setelah wujudnya direalisasikan dalam tubuh Robert Pattinson. Aku benar-benar mencintainya. Aku sering tersenyum-senyum sendiri saat sedang sendirian di kamar. Kalau ayahku tahu, dia pasti akan gila saking senangnya.

Atau mungkin aku benar-benar sudah gila? Tentu saja aku bukan Bella Swan yang menjadi pasangan abadi Edward. Tapi setidaknya aku ingin dijatuhi cinta yang mendekati kedahsyatan cinta seorang Edward Cullen. Aku bahkan hamper merobek-robek novel Eclipse-ku saat Bella bingung memilih antara Edward dan Jacob Black. Kalau aku jadi Edward, aku akan mencampakkan gadis tolol itu di jalan begitu saja. Tapi tidak, cinta telah membuat seorang vampire sekalipun menjadi buta.

Aku tidak terlalu cantik sebenarnya. Di sekolah, semua orang menjauhiku karena aku tidak berminat sedikitpun bersosialisasi dengan mereka semua. Kemampuan akademikku cukup membanggakan, setidaknya aku ingin ayah sedikit merasa bangga. Tapi aku benar-benar kacau dalam olahraga, keseimbangan tubuhku tidak bagus.

Wajahku menurutku cukup manis dan aku merasa harus menyembunyikannya dari pandangan mata semua orang. Aku memakai kacamata tebal dan bergaya kuno agar tidak ada satu orang pun yang mau menatapku. Tapi tahukah kau? Tiba-tiba saja hidupku berubah menjadi jumpalitan gara-gara dia….

KYUHYUN’S POV

Aku berumur 2 tahun saat berubah menjadi curare. Seorang curare tua menemukan paru-parunya di dalam tubuhku. Aku tidak membencinya. Sungguh. Setelah menjadi curare, umurku langsung menjadi 17 tahun saat itu, dia merawatku seperti anaknya sendiri. Dia menjelaskan segala hal yang harus kuketahui. Setiap hari meminta maaf padaku. Aku harus mengerahkan seluruh tenaga untuk membuatnya percaya bahwa aku sama sekali tidak pernah menyalahkannya.

Dia sudah menjadi manusia sekarang. Aku sering memperhatikannya dari jauh. Memastikan bahwa hidupnya baik-baik saja. Dia tidak mengingatku tentunya. Terkadang aku mendekat untuk menyapanya. Dia menyambutku dengan ramah, sering menawariku untuk mampir ke rumahnya. Lagi-lagi menganggapku seperti anak sendiri. Aku terkadang merasa sangat membenci curare yang telah mengubahnya dulu. Tapi tentu saja, curare itu juga tidak bersalah. Takdir yang mengatur semuanya.

Aku sudah hamper 17 tahun menjadi curare. 4 bulan lagi tepatnya waktuku akan habis. Aku mengerjakan segala hal terlalu cepat sebenarnya. Dalam waktu 7 tahun, aku sudah menemukan 9 organ vital. Hampir 10 tahun terakhir aku menghabiskan waktu untuk mencari jantungku, tapi aku tetap tidak menemukannya. Dan waktuku tinggal 4 bulan lagi. Tepatnya sampai tanggal 15 Juli tengah malam.

Aku sudah keliling dunia untuk mencarinya. Berkeliaran di jalanan. Tetap saja tidak ada. Aku sudah tidak punya waktu untuk santai lagi sekarang. Lalu aku pergi ke Seoul, kota kelahiranku. Sudah cukup lama aku tidak menginjakkan kaki disini karena terlalu sibuk mencari organ tubuhku yang bertebaran di seluruh dunia.

Organ vital pertamaku, yaitu otak, kutemukan di Tokyo, Jepang. Milik seorang dosen jenius di salah satu universitas ternama disana. Dia pria berumur 49 tahun.

Aku menemukan paru-paruku di Harvard University. Milik seorang mahasiswa disana. Lagi-lagi dia laki-laki.

Hatiku di Singapura, lambung di Turki, pancreas di San Fransisco, empedu di India, ginjal di London, usus di Milan, dan sumsum tulang belakang di Indonesia. Dan semuanya laki-laki. Aku juga tidak tahu kenapa bisa seperti itu.

Aku memutuskan berjalan-jalan sebentar di taman. Paru-paruku butuh penyegaran. Sebelumnya aku tinggal di Indonesia yang udaranya begitu pengap. Aku kembali kesini karena Jung-Soo, pria yang mengubahku menjadi curare tinggal di Busan. Aku sering mampir kesana dan baru sekarang aku pergi ke Seoul.

Pikiranku sedang melantur saat tiba-tiba semburat harum bunga mawar memenuhi rongga hidungku. Aromanya benar-benar keras dan memabukkan. Membuatku sinting.
Aku mendongak dan mendapati seoraang gadis sedang duduk di atas bangku taman, 25 meter dari tempatku berdiri. Tatapannya lurus ke depan, entah sedang melihat apa. Lebih tepatnya lagi, aku tidak peduli apa yang sedang dilakukannya karena semua yang ada di sekitar kami menjadi blur. Tidak fokus. Maksudku, tatapanku benar-benar terperangkap di tubuh gadis itu.
Sial! Kenapa aku tidak menemukannya dari kemarin saja? Sekarang sudah tanggal 16 Maret, aku harus menunggu satu bulan lagi untuk membunuhnya. Dan sialnya lagi, kenapa jantungku harus berdetak didalam rongga dada seorang perempuan? Aku sama sekali tidak siap dengan ini semua.

Lalu tiba-tiba saja gadis itu berdiri dan berjalan ke arah sebuah lapangan basket di seberang taman. Aku mengikutinya perlahan. Gadis itu berjalan begitu lambatnya, membuatku kesal saja! Kalau sekarang tanggal 15, aku pasti sudah menerkamnya dari tadi!

Dia mengeluarkan bola basket dari dalam tasnya dan kemudian aku kehilangan akal. Seluruh sistemku berantakan seketika.

HYE-NA’S POV

Seperti biasa, setiap pulang sekolah aku mendekam dulu di sebuah taman. Membiarkan lamunan menguasaiku. Pikiranku melantur kemana-mana. Dan tanpa sadar tiba-tiba aku ingat bahwa besok ada pengambilan nilai olahraga basket. Sial! Guru brengsek itu seperti tidak tahu saja kemampuanku! Jangankan memasukkan bola ke dalam keranjang, mendribble bola saja aku tidak bisa!

Aku ingat tadi aku meminjam bola basket sekolah untuk latihan. Beruntung seklai di seberang lapangan ini ada lapangan basket.

Pfiuuuuuuhhhhh…. Aku menghembuskan nafas pelan, lalu mengeluarkan bola dari dalam tas, membantingnya ke lantai, mencoba mendribble. Berkali-kali bola itu lepas dari tangkapan tanganku. Bosan, aku mulai mencoba melemparnya ke dalam keranjang. Walaupun tidak suka basket, aku benar-benar berharap bisa melakukan slam-dunk. Sepertinya keren sekali.

Lalu aku mencoba melompat. Aku tidak merasa malu, toh tidak ada orang. Yah, aku hanya bisa melompat 20 senti dari atas tanah. Hahaha… mendekati tinggi ring saja tidak.

Tapi tiba-tiba aku merasa terbang. Tubuhku terangkat dari tanah dan seketika keranjang basket itu sudah sejajar dengan mataku. Mengikuti insting, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, aku mengangkat bola basket di tanganku dan memasukkannya ke dalam keranjang.

Lalu kakiku kembali menginjak tanah. Aku merasakan sepasang tangan memegangi pinggangku dan membalik tubuhku. Kemudian aku menatap seorang pria…. Pria yang ketampanannya melebihi khayalan terliarku tentang ketampanan seorang Edward Cullen. Pria yang memiliki ketampanan tak tertahankan sehingga aku harus menutup mata untuk menjernihkan pikiran.

Lalu aku membuka mataku kembali. Tidak… aku tidak salah…. Aku tidak akan heran kalau aku benar-benar tampak tolol sekarang. Mataku membelalakm lebar dan mulutku menganga menyaksikan pemandangan di hadapanku. Aku tidak memperhatikan yang lain. Mataku benar-benar tidak bisa dipalingkan dari wajah pria itu. Aku tidak bisa memberikan gambaran setampan apa dia karena kata-kata amat sangat tampan saja tidak cukup mewakili.
Darahku seolah mengalir ke kepala. Wajahku sudah benar-benar memerah sekarang. Aku bisa mengomentari satu hal. Matanya benar-benar indah dan begitu tajam. Rambutnya… rambutnya berantakan….

“Apa kau vampire?” ceplosku tanpa sadar.
Ya Tuhan, mau ditaruh dimana mukaku ini? Pertanyaan macam apa yang kulontarkan barusan?

“Sejauh apa Stephenie Meyer berhasil meracunimu?” tanyanya. Ada nada geli dalam suaranya yang lembut dan menenangkan.

“Mianhae,” ujarku setelah berhasil membenahi pita suaraku. Tubuhku berkeringat dingin. Aku menunduk, malu menatap matanya. Padahal satu-satunya hal yang kuinginkan adalah menatap wajahnya yang sempurna itu. Aku benar-benar tidak punya kemampuan untuk bicara dengan pria.

“Tapi kau pasti bukan manusia!” sergahku, berusaha mengajukan pembelaan diri, masih dengan wajah tertunduk.

“Kenapa?”

“Karena tak ada manusia setampan kau!” geramku.

“Oh, maaf, apa ketampanan wajahku mengganggumu?” tanyanya serius.

“Sangat!” jawabku.

“Maaf, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk itu,” ujarnya sambil tertawa kecil.

“Ada. Kau tinggal enyah dari hadapanku.”
Tiba-tiba aku sadar bahwa tangan pria itu dari tadi masih berada di pinggangku karena dia mengangkat tangan kanannya lalu memegang daguku.

“Aku sudah menemukanmu dan kalau itu sudah terjadi, tidak ada lagi alasan untuk melepaskanmu.”

KYUHYUN’S POV

Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Otakku tiba-tiba macet. Tidak bisa berpikir dengan jernih. Apa-apaan ini?

Ugh, baunya benar-benar memabukkan. Mungkin karena dia perempuan jadi baunya lebih keras. Tapi seharusnya aku tidak mendekatinya seperti tadi. Aku bahkan tidak pernah berbicara dengan para korbanku sebelumnya.

Tapi gadis itu… dia benar-benar…. Sial, aku bahkan tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat!

DIA MENGHIPNOTISKU!!!! BRENGSEK!!!!

“Kyuhyun~a?” Aku berbalik dan mendapati Ji-Yoo yang sedang menatapku heran. Dia sahabatku semenjak menjadi curare. Dia juga orang Korea.

“Ada apa?” tanyanya sambil berjalan menghampiriku dan menatap wajahku dengan cermat.
“Oh!” ujarnya paham sambil tersenyum

“Apa?” tanyaku ketus.
Dia masih saja tersenyum lebar.

Your own miracle,” ujarnya senang. Nyaris seperti mau melompat-lompat. Apa sebegitu mudahnya menebak perasaanku?

“Darimana kau tahu?”

“Tanda-tanda seorang curare menemukan mukjizat pribadinya adalah, matanya tampak lebih hitam dan baunya terasa lebih harum dan tajam dari sebelumnya. Kau seperti itu. Tidak perlu kemampuan membaca pikiran untuk menebaknya. Tapi apa ada masalah? Tampaknya kau uring-uringan. Wae?”

“Dia the sweetest rose, kalau kau mau tahu.”
Ji-Yoo mengerang prihatin.

“Kau cari saja the sweetest rose lain. Setiap curare kan punya dua.”

“Untuk jantung hanya ada satu!” teriakku.

“Oh, maaf, aku lupa.”
Aku membanting tubuhku ke atas sofa, memindah-mindah channel TV tanpa minat. Ji-Yoo mengambil tempat di sampingku.

“Aku tahu ini memang sulit, tapi… kau hanya punya dua pilihan, Kyuhyun~a. Mati atau membunuhnya. Kau hanya punya waktu 4 bulan,” ujarnya memperingatkan.

“Ngomong-ngomong apa dia menarik?” Nada suara Ji-Yoo berubah menjadi penuh semangat.
“Dia cantik tidak? Seperti apa dia?” tanyanya penasaran.

“Di mataku dia cantik.”
Sangat cantik, tambahku sambil tersenyum dalam hati.

“Hmmmfh… di matamu, sejelek apapun dia, tetap saja dia yang paling cantik,” goda Ji-Yoo..

“Dia harum. Aromanya membuatku sinting!”

“Itu karena dia perempuan. Pantas saja kau tidak tahu karena seluruh korbanmu itu laki-laki.”

“Tapi gara-gara dia aku kehilangan akal!” protesku.

“Bisa dimaklumi,” ujar Ji-Yoo kalem.

“Brengsek kau!” umpatku.

“Boleh aku menebak?” Tanya Ji-Yoo tak mengacuhkanku. “Menurutku besok kau akan mendaftarkan diri di sekolahnya.”

“Kau makin lama makin seperti cenayang saja!”

“Tidak. Kau itu sahabatku. Aku tahu isi kepalamu,” ujarnya enteng.

“Yah, kau benar.”

“Aku ikut!!!” serunya berapi-api.

“Aku bilang tidak pun kau akan tetap ikut.”

HYE-NA’S POV

Sudah lewat tengah malam dan aku masih belum bisa memejamkan mata. Aku sudah tidak waras sepertinya dan ini semua gara-gara dia! Sial, bagaimana mungkin Tuhan menciptakan manusia seperti itu?!

Aku masih ingat kata-katanya tadi. Semuanya terekam jelas di ingatanku. Aku bisa mengingat semua kata-kata yang keluar dari bibirnya dengan sangat jelas.
“Aku sudah menemukanmu dan kalau itu sudah terjadi, tidak ada lagi alasan untuk melepaskanmu.”

Dan kemudian dia pergi begitu saja. Huh, aku benar-benar berharap dia lenyap sekalian. Tidak, aku bohong. Aku masih ingin melihatnya lagi. Bahkan aku berharap dia benar-benar melaksanakan ucapannya itu dan muncul lagi di hadapanku. Aaaargh, tidak!!!!!!!!!!!!!!! Jangan-jangan aku terkena sindrom love at the first sight!!!!!!!!

Sial, ini benar-benar berbahaya!


Aku terbangun dalam kondisi mengenaskan. Mataku tidak bisa membuka saking mengantuknya. Bahkan semua hal aku kerjakan dalam keadaan setengah sadar.

Aku sedang menguap lebar saat wali kelasku masuk ke dalam kelas bersama Park songsaengnim, guru kesenian yang mengajar kami hari itu.

“Ada pengumuman, anak-anak! Hari ini 2 orang murid baru pindah ke sekolah ini dan masuk ke kelas kalian. Ibu harap kalian bisa memperlakukan mereka dengan baik!”
Aku menatap wali kelasku itu dengan heran. Dia berbicara seolah-olah sedang terhipnotis. Senyum sinting menghiasi wajahnya. Tidak biasanya dia seperti itu. Seolah-olah murid baru itu adalah Edward Cullen saja!

Lalu mereka berdua masuk dan… sepertinya konstelasi jagad raya sedang berantakan sekarang. Tidak ada suara sedikitpun dari ruangan ini saat mereka berdua melangkah masuk. Aku baru tahu seperti apa jelmaan dewa-dewi itu. Benar-benar mempesona dan mengagumkan.

Dan sepertinya dia benar-benar menyebalkan sekarang! Tidak seharusnya seorang namja terlihat begitu… begitu menyilaukan mata hanya dengan mengenakan seragam sekolah!

Dan sialnya, dari awal dia masuk kelas, matanya yang tajam tidak mau beranjak sedikitpun dari wajahku. Seolah-olah aku adalah bidadari dari kahyangan yang membuatnya terpesona. Puih, tentu saja tidak! Mungkin ada kotoran di wajahku!

Aku baru berniat memeriksanya saat tiba-tiba dia berjalan ke arahku dan berhenti di samping mejaku. Dia memalingkan wajahnya dariku dengan malas, seolah-olah dia sangat enggan untuk melakukan hal lain selain menatap wajahku. Huh, aku benar-benar memalukan! Mana mungkin makhluk semempesona ini terkagum-kagum melihatku? Ya, Hye-Na, sadar!!!!

Dia menatap Chae-Rin, teman sebangkuku, sambil memberikan senyum yang bisa membuat yeoja manapun meleleh seketika.. aku bisa melihat bahwa Chae-Rin benar-benar terpukau melihat namja itu.

“Bisakah aku duduk di tempatmu? Tak ada yang lebih kuinginkan selain duduk di samping gadis ini,” ujarnya dan dengan senang hati kembali menatapku. Huh, sepertinya otakku benar-benar harus diperiksa. Mungkin saat ini aku masih setengah sadar karena mengantuk.

Chae-Rin masih terpaku, silau dengan ketampanan namja di hadapannya.

“Kumohon….”

Suaranya begitu menggoda sehingga Chae-Rin mengangguk dan pindah ke kursi kosong di belakang kami, masih dengan tatapan yang tak bisa lepas dari wajah tampan itu.

Siswi baru tadi mengambil tempat di belakangku, di samping Chae-Rin. Aku baru melihat wajahnya dengan jelas sekarang. Dia gadis yang sangat cantik. Tak heran saat aku menoleh, semua namja di kelas ini sedang menatapnya terpesona. berbalik menatap namja di sampingku yang sedang menatapku dengan penuh minat.

“Kenapa kau ada disinii?” tanyaku ketus.

“Mengejarmu,” ujarnya enteng.

“Kenapa kau tidak duduk saja dengan pacarmu?”

“Dia bukan pacarku.”
Seseorang menyentuh pundakku dari belakang, membuatku menoleh dan seketika menatap wajah cantik yang sedang tersenyum kepadaku.

“Hai, aku Ji-Yoo! Choi Ji-Yoo. Senang bertemu denganmu! Kau benar Kyuhyun~a, dia benar-benar cantik!” ujar gadis bernama Ji-Yoo itu penuh semangat sambil menoleh memandang namja itu.

Apa? Aku cantik? Yang benar saja! Aku seperti itik buruk rupa bila disandingkan dengan gadis ini!

Aku mendelik menatap namja itu dan tanpa berpikir aku bertanya, “Kau kenapa mengejarku sampai kesini?”

“Ah, alasanku bukankah sudah sangat jelas? Aku menyukaimu,” ucapnya ringan tanpa beban.

“Kalian akan menjadi pasangan yang paling sempurna!” dukung Ji-Yoo.

Sepertinya dua orang ini benar-benar sudah tidak waras. Aku memutuskan untuk mengacuhkan mereka berdua dan memperhatikan Park songsaengnim, dan seperti biasa, kelas ini benar-benar ribut. Pria separuh baya itu hanya menempelkan sebuah gambar pemandangan di depan dan menyuruh kami menggambarnya semirip mungkin.

Aku mengeluarkan buku gambar dari dalam tas dan mulai menggambar. Aku suka menggambar. Benar-benar menyenangkan. Tapi konsentrasiku dalam 10 menit pertama langsung buyar karena dari tadi Kyuhyun menghabiskan waktunya hanya untuk menatapku.

“Apa yang kau lakukan?” semprotku.

“Memandangmu,” katanya jujur.

“Bukankah lebih baik kau mengerjakan tugas?”

“Aku sudah selesai dari tadi,” ujarnya sambil mengangkat sketsa gambar pemandangan yang telah selesai dibuatnya. Gambar itu bahkan jauh lebih indah daripada aslinya.

“Wow!” Aku menatapnya kagum.

Namja itu tersenyum dan membalik halaman buku gambarnya lalu menunjukkannya padaku. Sepintas gambar yeoja di kertas itu sangat mirip denganku. Hanya saja dalam kondisi seribu kali lipat lebih cantik. Rambut ikalku digerai dan berponi. Wajahku tanpa kacamata dan aku mengenakan gaun putih yang berkibar ditiup angin. Persis seperti bidadari.

“Kau suka? Begitulah wujudmu di mataku.”
Aku menatap Kyuhyun.

“Pernahkah kau berpikir untuk memeriksakan otakmu ke rumah sakit jiwa? Aku tidak akan pernah terlihat secantik itu!”
Kyuhyun mengerutkan keningnya.

“Aku tahu kau lebih cantik dari ini, tapi maaf kalau lukisanku begitu jelek sampai kau tidak menyukainya,” ujarnya serius. Aku bisa menarik satu kesimpulan. Namja ini benar-benar sudah gila!

“Oh, ayolah! Kau bisa membuatku gila kalau kau tidak memaafkanku!” pintanya.

“Kau memang sudah gila!” ujarku, tanpa sadar tertawa kecil.
Demi Tuhan! Aku tertawa?! Astaga!

Aku melihat tubuh Kyuhyun menegang, wajahnya terkesima melihatku seperti tidak ada hal indah lain di atas dunia yang bisa dilihatnya selain senyumanku.


KYUHYUN’S POV

“Kau memang sudah gila!” ujarnya sambil tertawa kecil.

Dan aku langsung kehilangan focus. Tubuhku menegang dan aku benar-benar terkesima melihatnya. Tidak ada hal lain yang lebih indah selain selain kesempurnaan di hadapanku ini. Demi Tuhan! Gadis ini benar-benar membuatku gila! Bagaimana mungkin seluruh pusat tata surya bergabung dalam satu wujud indah bernama Hye-Na?

Aku mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya dengan jari telunjukku. Aku benar-benar melakukannya dengan hati-hati, seakan-akan dia bisa pecah berkeping-keping karena sentuhanku. Kulitnya selembut sutera dan aku suka semburat merah yang muncul saat aku menyentuh pipinya. Dunia benar-benar tidak adil! Membuatku kehilangan kendali seperti ini!

Aku mendekatkan wajahku agar bisa menatap wajahnya, mempelajarinya secara mendetail. Matanya yang indah dinaungi bulu mata panjang yang tebal dan lentik. Kacamata itu tidak bisa menyembunyikan mata hitamnya yang mempesona. Hidungnya mancung dan benar-benar….

“Pernahkah ada yang memberitahumu bahwa kau begitu cantik sehingga tidak ada pria yang bisa mengalihkan tatapannya sedikitpun darimu?”


HYE-NA’S POV

Dia mengulurkan tangannya ke arahku dan sesaat kemudian telunjuknya sudah membelai pipiku dengan begitu lembut dan hati-hati. Seolah-olah aku bisa terluka karena sentuhannya. Dan pada saat itu pula aku kehilangan akal untuk mengingat bagaimana tepatnya cara agar aku tetap bisa bernafas?

Dia mendekatkan wajahnya, mempelajari setiap detail wajahku dengan cermat. Aku bahkan tidak peduli dimana kami sekarang berada asalkan aku tetap bisa memandang kesempurnannya.

“Pernahkah ada yang memberitahumu bahwa kau begitu cantik sehingga tidak ada pria yang bisa mengalihkan tatapannya sedikitpun darimu?” tukasnya tiba-tiba, membuat paru-paruku tiba-tiba berhenti berfungsi.

Aku begitu terpana sampai-sampai tidak bisa menggerakkan lidahku sendiri. Dia tidak main-main dengan ucapannya. Nadanya terdengar begitu serius.

“Hei, Kyuhyun!” panggil Ji-Yoo dengan nada geli. “Kau membuat seluruh murid kehilangan fokus!”

Enggan, aku memalingkan wajah dari ketampanannya dan memperhatikan semua orang yang sedang melongo menatap kami berdua.

“Oh, maaf!” ucap Kyuhyun, nyengir menatap semua orang.

Aku bisa melihat dari sudut mataku, bahwa semua yeoja di kelasku terlalu sibuk menatap wajah Kyuhyun, dan sama sepertiku, mereka juga tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan seorang namja bernama Kyuhyun ini.

10 menit kemudian bel istirahat berbunyi. Celoteh para murid terdengar disana-sini. Dan aku sama sekali tidak terkejut mendapati segerombolan yeoja berbisik-bisik di depan kelasku sambil menunjuk-nunjuk Kyuhyun.

Berusaha mengacuhkan mereka, aku menyelinap keluar dari kelas dan secepat mungkin pergi ke kantin. Mengambil tempat di sudut, seperti biasa.

Aneh, kantin setengah kosong hari ini. Padahal biasanya sulit sekali mencari tempat kosong disini. Ah, mungkin gara-gara para yeoja berkumpul di kelasku untuk melihat Kyuhyun.
Selama ini tak ada yang berani cari gara-gara dengan mencoba menyerobot tempat dudukku. Mungkin saja karena tampangku yang tampak cukup mengerikan.

Aku memikirkan kejadian tadi. Bagaimana mungkin aku tertawa hanya gara-gara namja gila itu?

“Hai!”
Ugh, suara itu lagi! Dengan malas aku mengangkat wajah dan seketika mendapati dua kesempurnaan di hadapanku.

“Hye-Na, kami boleh duduk disini, kan? Tempat lain sudah terisi penuh.” Kali ini giliran Ji-Yoo yang bicara. Matanya menatapku. Memohon.

“Terserah kau sajalah,” ujarku enggan.
Ji–Yoo mengambil tempat di sampingku sedangkan Kyuhyun duduk tepat di hadapanku.

“Kau tidak mau Tanya sesuatu?” Tanya Ji-Yoo semangat. Sekilas aku melihat Kyuhyun memberikan tatapan memperingatkan padanya.

“Sudahlah Kyuhyun~a, dia juga perlu tahu!” protes Ji-Yoo.

“Apa?” tanyaku penasaran.

“Menurutmu kami ini apa?” Ji-Yoo balik bertanya.

“Vampir,” sahutku tanpa berpikir.
Memangnya apa lagi? Cirri-ciri mereka sudah cukup membuktikan. Kecuali kulit mereka yang tidak putih pucat seperti tulang. Kulit mereka putih, tapi masih dalam taraf kewajaran.
Ji-Yoo tertawa terbahak-bahak mendengar ucapanku. Dia baru menghentikan tawanya saat sadar kami menjadi pusat perhatian.

“Biar aku yang menjelaskan,” ujar Kyuhyun. Dan tiba-tiba saja perasaanku jadi tidak enak.


KYUHYUN’S POV

“Kami bukan vampire, Hye-Na~a. kulit kami tidak pucat. Wajah kami tidak semenawan mereka. Bukannya sombong, tapi kami berdua adalah yang paling rupawan di kaum kami. Yang lainnya tidak jauh beda dengan kalian manusia. Hanya kami berdua yang mencolok.”

Dia menatapku.

“Lalu apa kau sebenarnya?” tanyanya.

“Kami curare.”
Dan seperti yang sudah kutebak, dia tidak memberikan reaksi apa-apa. Belum.
Lalu aku menceritakan semuanya. Sedetail mungkin agar dia bisa mengerti. Dan sepertinya dia benar-benar mengerti. Tapi tetap saja aku cemas menantikan reaksinya.

“Curare? Sepertinya kalian ganas sekali. Aku tidak bisa membayangkan kau membunuh orang, Ji-Yoo~a!”

“Oh, kau tidak tahu saja!” seru Ji-Yoo.

Dan Hye-Na kembali menatapku.

“Kau tinggal menemukan jantung, kan? Apakah kau sudah menemukannya?” tanyanya penasaran.

Aku mengangguk pelan sambil menatapnya lekat. Dan aku melihat pemahaman melintas di wajahnya.

“Aku the sweetest rose-mu?” tanyanya pelan.
Aku hanya menatapnya, sama sekali tidak mengangguk. Tapi dia mengerti.

“Aku pikir curare tidak mengajak calon korbannya bicara.”

“Sebelumnya korbannya laki-laki semua dan tiba-tiba saja organ vital terakhir yang dibutuhkannya milik seorang perempuan. Tentu saja dia kaget. Baumu benar-benar menyengat untuknya,” jelas Ji-Yoo.

“Tapi tetap saja seharusnya dia tidak mendekatiku!” protesnya.

“Sialnya Hye-Na, kau adalah mukjizat pribadiku.”


HYE-NA’S POV

“Sialnya Hye-na, kau adalah mukjizat pribadiku!”
Cukup! Aku sudah cukup gila hari ini! Mungkin kedua makhluk ini sudah sinting! Aku bisa saja menolak pengakuan mereka. Mana ada makhluk bernama curare di atas dunia ini? Yang benar saja! Otak mereka berdua pasti sudah kacau!

“Sinting!” umpatku.
Dan tanpa pikir panjang aku bergegas meninggalkan mereka berdua, menolak berbicara bahkan menatap mereka di kelas. Aku bahkan langsung melesat keluar kelas saat bel pulang berbunyi dan menaiki bus yang penuh sesak dengan manusia sambil mendesah lega karena telah terbebas dari mereka berdua.

Tapi sial! Aku tidak bisa untuk tidak mempercayai mereka saat hal ini terjadi!

“Hye-Na,” gumam Ji-Yoo. Dia sedang duduk di atas kasurku saat aku membuka pintu kamar. Bagaimana mungkin dia sampai duluan di rumahku padahal aku tak pernah menyebutkan alamat rumahku kepada siapapun di sekolah? Dan sekarang dia malah sudah berada di kamarku, menduduki kasurku seolah-olah berada di rumah sendiri! Untung saja makhluk tampan itu tidak ada disini!

“Kyuhyun tidak akan masuk ke kamar seorang gadis kalau mereka tidak mengizinkannya,” ujar Ji-yoo seakan-akan bisa membaca pikiranku.

“Kau tidak bisa membaca pikiran, kan?” selidikku.

“Maunya sih iya, tapi sayangnya tidak.”
Aku melempar tasku ke sudut dan berkacak pinggang menatapnya.

“Bagaimana kau bisa ada disini?”

“Aku tinggal memikirkan bahwa aku ingin berada di kamarmu dan tara… sedetik kemudian aku sampai. Kyuhyun kan sudah menceritakan kemampuan kami.”

“Aku lupa!” jawabku tak acuh. “jadi, apakah kau mau memberitahuku kenapa kau ada disini?”
Ji-Yoo menatapku aneh.

“Kalau aku jadi kau,” ucapnya pelan. “Aku akan meleleh mendengar semua ucapan Kyuhyun.”

“Yah, aku beruntung tidak langsung mati di tempat saat dia mengatakan bahwa aku adalah the sweetest rose-nya!” teriakku.

“Hye-Na, kau tahu tidak apa yang dinamakan dengan takdir? Bukan salahnya kalau ternyata kaulah orang yang memiliki organ vital yang dibutuhkannya. Tapi… aku bisa mengerti kalau kau tidak mau menjadi seperti kami.”

Aku masih menatapnya tanpa memperlihatkan ekspresi apapun.

“Aku mohon, Hye-Na~a!”

“Apa?”

“Dia serba salah sekarang. Dia harus membunuhmu, tapi di sisi lain dia juga tak rela menyakitimu sehelai rambut pun.”

“Kenapa?” tuntutku.

“Oh, bukankah sudah sangat jelas?” erang Ji-yoo.

“Apanya?” tanyaku tolol.
Ji-Yoo menatapku seolah-olah aku adalah orang paling idiot sedunia.

“Demi Tuhan, dia mencintaimu! Masa kau tidak tahu?”
Aku menatap Ji-Yoo tak percaya.

“Huh, yang benar saja!”

“Oh, mungkin menurutmu aneh, tapi saat mendapati bahwa kau adalah orang yang memiliki organ vitalnya yang terakhir, dia benar-benar terguncang. Dia tidak pernah berminat mendekati gadis manapun sebetulnya.”

“Lalu kenapa dia tertarik padaku?”

“Karena kau adalah gadis yang mau tidak mau harus didekatinya. Mungkin karena baumu benar-benar menyengat di hidungnya. Korban sebelumnya  hanya laki-laki yang baunya memang harum tapi tak seharum manusia yang berlawanan jenis dengannya. Dia jadi tertarik. Intinya adalah karena kau satu-satunya gadis yang benar-benar dilihatnya.”

“Hmmmmfh… sebenarnya Kyuhyun tidak tahu aku kesini. Tapi aku harus.”

“Wae?” tanyaku heran.

“Karena aku mencintainya. Dulu. Seperti gadis lain, aku juga terpukau dengan ketampanannya. Heran kenapa dia tidak bisa menyukaiku, padahal aku pikir aku sudah cukup cantik. Tapi lama-lama tidak lagi. Dia memang bersikap dingin kepada semua gadis. Yah, setidaknya aku bisa menjadi sahabatnya.” Ji-yoo menarik nafas.

“Yang ada di otaknya hanyalah secepat mungkin menjadi manusia. Dia yang paling hebat di antara kami. Bayangkan, 9 organ vital hanya dalam waktu 7 tahun! Dia benar-benar seperti orang gila mencari jantungnya. Dan saat dia menemukannya….” Ji-yoo diam sesaat. “Kau tahu lanjutannya. Waktunya tinggal 4 bulan lagi. Tepat di ulang tahunmu yang ke-17. Sebenarnya….”

“Apa?”

“Dia memilih mati. Kau tahu, kematian sangat menakutkan bagi kami. Tapi dia… yah aku tidak keberatan kalau harus memakannya.” Ji-yoo bergidik. “Aku tidak menyalahkanmu. Kau pasti tidak mau menjadi monster. Yah, siapa yang mau? Tapi tolonglah… saat kau menjadi curare, aku masih harus menemukan 5 organ vital lagi. Aku akan membantumu bertahan,” pinta Ji-Yoo dengan tatapan memohon.

“Pikirkan baik-baik, Hye-Na.”

***

Aku berguling kesana kemari di atas tempat tidurku. Lagi-lagi aku tidak bisa tidur.

Apakah aku mencintainya? Tapi untuk alasan apa? Masa hanya karena dia namja tertampan yang pernah aku lihat sepanjang umurku? Yang benar saja! Klise sekali alasanku!

Aku harus menemukan alasan yang cukup waras agar aku bisa menyerahkan hidupku untuknya.
Karena dia bisa membuatku tertawa mungkin? Huh, benar-benar menyebalkan!


KYUHYUN’S POV

Pagi ini aneh sekali. Seperti mimpi. Tiba-tiba saja dia tersenyum padaku. Aku sampai-sampai harus menenangkan diri dulu beberapa saat agar bisa membalas senyumnya.

“Apa kau tidak takut padaku?” tanyaku hati-hati.

“Takut apa?” tanyanya polos.

“Aku akan membunuhmu,” geramku.

“Ya sudah, bunuh saja!” ujarnya semangat. “Tapi sayang ini masih tanggal 18,” lanjutnya sambil nyengir.

“Aku tidak bercanda, Hye-Na~a!”

“Aku juga tidak, oppa!”

“Oppa? Apa yang terjadi padamu dalam waktu 24 jam, hah?” tuntutku.
Dia mengerlingkan matanya sambil tertawa.

“Apa yang akan terjadi kalau sekarang kau menciumku?” tanyanya masih dengan senyum lebar tersungging di bibirnya.

“Kau gila!” desisku.

“Aku akan lenyap karena sekarang bukan tanggal 15.” Dia menjawab sendiri pertanyaannya tadi.
“Tapi apakah satu bulan lagi kau akan menciumku?” tuntutnya lagi.

“Itu sayangnya, tidak pernah terlintas di benakku!”

“Oh, mulai sekarang kau harus memikirkannya. Aku tidak keberatan kalau harus menjadi curare.”
Ucapannya membuatku naik pitam. Aku mendorongnya sampai tersudut ke dinding dan meletakkan kedua tanganku di sisi kepalanya. Penuh intimidasi.

“Dengar, Hye-Na~a, aku lebih memilih mati daripada menciummu!”


HYE-NA’S POV

Ada satu hal yang benar-benar aku yakini sekarang. Aku bersedia mati untuk namja yang baru aku kenal selama 3 hari. Kelihatannya aku benar-benar sudah gila!

Tapi namja itu… sayangnya tidak berniat sedikitpun untuk mengakhiri hidupku. Ya sudahlah, dia saja yang bodoh! Lebih baik aku menyelamatkan diriku hari ini. Pengambilan nilai olahraga yang seharusnya kemarin ditunda hari ini. Dan aku masih belum bisa menguasainya.

Kyuhyun mendekatiku. Tiba-tiba saja dia menarik lepas ikatan rambutku lalu mulai merapikan rambutku dan mengikatnya lagi dengan rapi.

Berada dalam dekapan tubuhnya yang wangi membuatku kehilangan akal sehat. Sepertinya dia sengaja sekali mengambil posisi ini. Mengikat rambutku sambil menatap wajahku tanpa henti.
“Rambutmu tadi awut-awutan sekali, Na-Ya,” gumanya. Na-Ya? Dia memanggilku Na-Ya? OMO, aku tidak boleh pingsan sekarang!

Dia menjulurkan tubuhnya sedikit hingga wajah kami hanya berjarak lima senti.

“Berjuanglah. Kalau kau berhasil aku akan memikirkan ucapanmu tadi,” bisiknya di telingaku.

“Pegang ucapanmu!” ucapku tegas.

***

Hari yang indah! Aku bisa memasukkan 2 dari 3 bola ke keranjang. Aku menghampiri Kyuhyun, nyaris melompat-lompat di sepanjang jalan.

“Bagaimana?”

“Hebat,” pujinya.

“Jadi?”

“Apa?” tanyanya polos.

“Kau bilang kau akan memikrkan permintaanku!”

“Aku bilang aku akan memikirkannya kalau kau berhasil memasukkan semua bola ke dalam keranjang. Tapi kau gagal memasukkan bolayang terakhir.”

“Kau curang! Bisa memasukkan 2 dari 3 saja sudah hebat sekali untukku! Bilang saja kalau dari awal kau memang tak berniat memikirkannya!” protesku.

“Baru kau satu-satunya yang bersedia menjadi monster dengan penuh semangat,” ujarnya geli.

“Aku tidak main-main, oppa! aku tidak mau kau mati!”

“Memangnya kenapa kalau aku mati?”

“Oh, yang benar saja! Bukankah sudah jelas sekali?”

“Apa?”

Just simply. You die, I die.


KYUHYUN’S POV

Demi Tuhan! Apa yang diucapkannya baarusan?

“Na-Ya, kau masih waras, kan?”

“100%.”

“Aku….”

“Oh, tenang saja oppa, aku belum gila,” potongnya. “Hanya mengungkapkan perasaan saja.”

“Tapi….”

“Masa kau menolakku? Kau masih punya waktu 4 bulan untuk memikirkannya, aku tidak buru-buru,” bujuknya.

“Aku memang tergila-gila padamu, tapi kau masih berhak mendapatkan pria lain yang lebih normal dariku.”

“Tapi menurutku satu-satunya hal yang eksis di bumi hanya kau!”
Apa lagi sekarang? Gadis ini benar-benar sudah gila!

“Na-Ya, kau tidak tahu apa yang akan menimpamu. Mungkin kau melihat aku dan Ji-Yoo baik-baik saja, tapi itu hanya kulit luar, Na-Ya.”

“Kalau kau dan Ji-Yoo bisa bertahan kenapa aku tidak?” tuntutnya.
Aku hanya bisa mengeluh putus asa dengan kengototannya.

“Lagipula oppa, hari ulang tahunku yang ke-17 akan menjadi malapetaka seumur hidup kalau kau mati,” lanjutnya lagi.
Aku geleng-geleng kepala melihatnya.

“Nikmati saja! Hidup itu tidak mudah, kan?” ujarnya nyengir.

“Boleh nanti malam aku ke rumaahmu? Kita harus membicarakan ini,” ucapku serius.

“Jam berapa?”

“Jam berapa ayahmu ada di rumaah?” tanyaku balik.

“Biasanya jam 7. Memangnya kenapa?”

“Aku kesana jam segitu.”

“Tapi kenapa harus ada ayahku?”

“Oh, bukankah lebih baik ada ayahmu untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan?”

“yang benar saja!” tukasnya.

“Masalahnya Na-Ya, akan sangat sulit sekali mengendalikan diri kalau kita hanya berdua.”

“Bagus sekali! Jadi tanggal 15 besok aku akan membuatmu kehilangan kendali!”


HYE-NA’S POV

Aku melenguh kesal. Aku sudah mengacak-acak lemariku sejak pulang sekolah tadi, tapi tetap saja tidak ada satu baju pun yang pantas kukenakan nanti. Benar-benar terlambat untuk menyesal karena keteledoranku yang tidak pernah memperhatikan penampilan. Apa sekarang? Bajuku hanya kaus oblong dan celana jins belel. Tidak ada pilihan lain.

Aku mengambil tank-top hitam dan pashmina kesukaanku. Satu-satunya baju bagus yang aku punya. Kalau kau mau tahu, aku tak pernah keluar rumah, makanya tidak punya baju bagus.
Aku memadukan keduanya dengan bawahan celana jins pendek. Oh ya sudahlah, toh dia tidak akan komentar. Jadi kenapa harus aku yang repot?

Aku membiarkan rambutku tergerai dan member bandana di atasnya. Memakai make-up tipis seperti biasa, tidak berniat untuk berdandan habis-habisan. Kalau dia memang menyukaiku, seharusnya dia mau menerimaku apa adanya.

Tapi kali ini aku melepas kacamata tebalku. Sebenarnya mataku normal-normal saja, hanya ingin memberi kesan bahwa aku orang yang jenius. Hahaha….

Hmmmmfh… satu masalah selesai tapi masalah lain datang. Aku terlalu gugup!!!!!!!!!! Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Aku meremas-remas tanganku cemas sambil melihaat ke pagar rumah. Aku duduk di teras, berharap bisa melihat kedatangannya.
10 detik lagi, batinku sambil melirik jam tangan. Itu kalau dia tepat waktu.
5, 4, 3, 2, 1….

Tiba-tiba saja dia sudah berdiri di depan pagar rumahku. Dia mengacak-acak rambutnya sambil nyengir.

“Maaf, aku tidak tahu kau menunggu disini. Apa aku mengejutkanmu?” tanyanya sopan.
Aku menggeleng pelan, sudah terpesona lagi dengan ketampanannya.
“Kita serasi sekali, Na-Ya,” bisiknya di telingaku.

Aku menatapnya, memperhatikan penampilannya dengan cermat. Jujur saja, aku sebenarnya tidak pernaah memperhatikan apa yang dipakainya. Terlalu sibuk dengan wajahnya kurasa. Oh, kalau kau jadi aku, 100% matamu tidak akan tertarik lagi kepada hal lain, kecuali wajahnya.
Ngomong-ngomong serasi, warna baju kami sama. Dia memakai kemeja hitam dan celana jins. Dan rambutnya, aku suka sekali dengan caranya menyentuh rambut, keren sekali kelihatannya.
Lalu aku menatap matanya lagi, mata yang sedang menatapku terpesona.

“Mana kacamatamu?” tanyanya selama beberapa saat.

“Eh, mataku normal sebenarnya. Boleh Tanya sesuatu?”
Dia mengangguk.

“Kau lebih suka penampilanku yang mana?”

“Aku menyukaimu, jadi tidak akan pernah peduli seperti apapun penampilanmu. Mau kau acak-acakkan atau seperti nenek-nenek tua yang sudah reyot sekalipun, kau tetap akan kelihatan cantik di mataku. Aku suka jiwamu Na-Ya, termasuk raga yang membungkusnya. Tapi….”

“Apa?” tanyaku setengah sadar. Meleleh mendengar ucapannya.

“Bisakah besok kau pergi sekolah dengan penampilan seperti biasanya? Aku tidak ingin ada namja yang tiba-tiba menyadari kecantikanmu kemudian tertarik dan berhasil mencuri hatimu. Aku tidak ingin ada tandingan.”
Aku tertawa mendengar ucapannya. Setengah tak sadar sebenarnya. Polos sekali dia!

“Hei, oppa, walau ada tandingan sekalipun, aku pastikan 100% kau yang menang.”

“Tak tahu apa kau memang tolol atau memang benar-benar polos, mana ada orang yang lebih memilih monster daripada manusia normal?”

“Kau normal-normal saja menurutku.”

“Mengenyampingkan fakta bahwa aku bisa saja membunuhmu.”

“Banyak orang yang bisa membunuhku,” tukasku.

“Kau benar-benar keras kepala, Na-Ya!”

“Terima kasih,” ujarku nyengir.

“Mana ayahmu?”

“Di luar kota,” jawabku enteng.

“Kau tidak bilang!” desisnya marah.

“Kau hanya bertanya padaku jam berapa ayahku ada di rumah, lalu aku jawab jam 7 karena memang biasanya seperti itu. Tapi kau tidak bertanya apakah ayahku ada di rumah atau tidak.”

“Kau curang,” tuduhnya.

“Kau juga.” Kyuhyun hanya diam.

“Kau tidak akan pulang, kan?” tanyaku cemas.

“Tidak, karena kita perlu bicara.”

“Baguslah!” ujarku lega. “Masuk?”

“Tidak, Na-Ya,” katanya memperingatkan.

“Oh, ya sudah. Aku hanya menawarkan,” ucapku sambil mengangkaat bahu.
Dia duduk di atas kursi, mencondongkan diri ke arahku. Dia pasti kelihatan mencolok sekali jika ada orang yang lewat di depan rumahku.

“Kita mau bicara apa?” tanyaku polos.

“Hidupmu.”

Memangnya hidupku kenapa?”

“Tak sadarkah kau bahwa kau baru saja membahayakn nyawamu dengan memutuskan untuk jatuh cinta padaku?”

“Betul satu dari dua. Aku memang mencintaimu tapi tidak membahayakan hidupku.”

“Yang benar saja!” ejeknya.

“Lalu kau mau apa?” tukasku. Dia menarik nafas panjang dan menatapku lekat-lekat.

“Bisakah kau tidak memintaku untuk menciummu?”

“Tidak,” tegasku.

“Ayolah, Na-Ya!”

“Aku bilang tidak ya tidak! Lagipula apa susahnya sih menciumku? Apa itu sangat menjijikkan untuk dilakukan?”

“Aku tidak ingin membunuhmu.”

“Siapa bilang kau membunhku? Kau hanya menjadikanku curare lalu dalam waktu beberapa tahun, jika berhasil, aku akan menjadi manusia lagi.”

“Itu kalau kau berhasil”

“Kalau tidak aku hanya akan mati. Setidaknya aku punya kenangan pernah bertemu denganmu, sedikit mengurangi rasa sakit menjelang kematian kurasa.” Dia baru mau membuka mulut saat aku memotong ucapannya.

“Permintaanku tidak bisa diganggu gugat!” tegasku.

“Kalau begitu mudah saja Na-Ya, aku akan meninggalkanmu.”

“Oh, ya? Kita lihat saja nanti!” seruku pede. “Lagipula oppa, aku tidak yakin kau sanggup,” bisikku di telinganya.


KYUHYUN’S POV

Huh, dia benar-benar tahu kelemahanku! Tentu saja aku tidak sanggup meninggalkannya. Aku hanya menggertaknya tadi, berharap dia berubah pikiran. Sialnya, gadis ini benar-benar keras kepala!

Bisa saja aku mengulur-ulur waktu sampai batasnya habis. Tapi sepertinya dia lebih cerdik dari dugaanku. Benar-benar bersemangat ingin jadi monster.

“Terserah kau sajalah!” putusku.

“Oh, itu artinya kau resmi jadi milikku sekarang?” serunya girang.
Aku hanya terdiam, masih terpesona melihatnya.

“Aku benar, kan?” tanyanya memastikan.

“Aku milikmu,” ucapku tanpa sadar. Matanya benar-benar membuatku kehilangan akal sehat.
“Hah, beruntungnya aku, punya pacar tertampan di muka bumi.”

“Pembicaraan ini benar-benar merugikan!” kataku dengan nada sok serius.

“Benarkah?” Dia terduduk lunglai di atas kursi sambil menatapku tak percaya.

“Apa?” tanyaku, tambah bersemangat menggodanya.

“Kau bercanda, ya? Kau tidak benar-benar mencintaiku?” rajuknya.

Aku mengulurkan tangan, member isyarat agar dia duduk di pangkuanku. Dia menurut. Jemarinya yang lentik menyambut uluran tanganku.

Aku menatap matanya, menelusuri struktur wajahnya dengan telunjukku. Dia benar-benar jelmaan wanita terindah yang pernah kulihat. Sangat menyilaukan.

Aku bisa merasakan tangannya menelusup masuk ke dalam rambutku, tak berniat menghentikannya. Toh dia tidak akan melakukan apa-apa. Ini belum tanggal 15.

Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium wangi rambutnya, mendengar detak jantungnya yang keras dan cepat dan nafasnya yang terengah-engah. Mensyukuri bagaimana pesonaku berdampak besar pada jaringan tubuhnya.

“Kenapa kau tidak menjawab?”  tanyanya setelah beberapa lama. Kelihatannya dia sudah bisa mengontrol pita suaranya lagi.

“Apa aku kurang begitu agresif menunjukkan rasa cintaku padamu?”

“Menurutmu?”
Wajahnya sudah begitu dekat sekarang. Kedua tangannya dikalungkan di leherku. Oh, sudah cukup! Aku bukan orang yang mempunyai cukup banyak kosakata untuk menggambarkan bagaimana parahnya dia merusak seluruh jaringan syarafku.

“Kau sedang menggodaku, Na-Ya?”
“Tidak. Sekarang bukan tanggal 15, oppa,” bisiknya. Nafasnya yang segar berhembus di wajahku.
Dia mengangkat tangannya untuk membelai wajahku, tapi aku menahannya, membuatnya mengernyitkan kening heran. Lalu aku mendorongnya menjauh.

“Sudah cukup main-mainnya, Na-Ya. Kau tidak bisa menyalahkanku kalau aku hilang kendali!”

“Tapi tadi kau boleh membelai wajahku!” protesnya.

“Aku angkat topi untuk pengendalian dirimu. Aku laki-laki, Na-Ya. Aku juga punya nafsu.”

“Itu tandanya kau normal!” sergahnya.

“Aku pulang,” tegasku.
Dia menatapku kesal. Seolah-olah aku begitu tak adil padanya. Membuatku merasa sangat bersalah seakan-akan aku baru saja membunuh seseorang.

“Aku akan kesini lagi besok,” ujarku, berharap dia sedikit tersenyum.

“Besok ayahku tidak ada,” ucapnya ketus.

“kalau begitu kau saja yang ke rumahku.” Aku masih tetap berusaha melakukan apa saja agar dia tersenyum lagi. Nanti saja aku urus konsekuensinya kalau dia mengiyakan. Tapi aku pikir dia pasti akan sangat menyukai gagasanku tadi.

“Dengan syarat kau bisa memastikan bahwa Ji-Yoo tidak mampir ke rumahmu, disengaja ataupun tidak,” katanya memperingatkan, seolah bisa membaca pikiranku. Aku memang baru saja berencana mengundang Ji-Yoo ke rumah, mengantisipasi terjadinya sesuatu. Tiba-tiba aku menyesali gagasan bodohku tadi.

“Baiklah,” keluhku.
Lalu dia tersenyum, membuat mataku lagi-lagi terkunci di wajahnya. Berkonsentrasi menatap mukjizat pribadiku. Tak mempedulikan lagi penyesalanku tadi.
Kemudian setengah sadar aku menunduk, menjulurkan tubuh untuk mengecup pipinya yang kontan merah padam saat tersentuh bibirku. Aku mengingatkan diri untuk sering-sering melakukannya. Wajahnya manis sekali saat sedang tersipu. Untung saja aku tidak langsung kejang-kejang saking terpananya.

“Samapi besok, Na-Ya.”


HYE-NA’s POV

Ingatkan aku untuk tidak membasuh muka! Dia benar-benar…. Ugh, setelah melakukan itu dia langsung menghilang. Tanganku hanya menggapai angin saat berusaha menjangkaunya.
Aku sudah duduk di depan cermin sejak dia pulang 3 jam yang lalu. Mematut-matut wajahku yang menurutku biasa saja, sama sekali tidak cantik, tapi berhasil membuat pria tertampan di bumi ini tergila-gila.

Aku masih bisa merasakan bibir lembutnya yang ragu-ragu saat mengecup pipiku. Itu pertama kalinya aku membiarkan seorang pria menyentuhku. Aku memang tidak pernah berdekatan dengan pria manapun selama ini. Semuanya serba pertama. Cinta, detak jantung yang berantakan, nafas yang tidak terkontrol. Semuanya. Aku harus ingat untuk mengambil nafas secara teratur saat berdekatan dengannya. Tapi sialnya, aku selalu lupa bagaimana caranya.

“Kyuhyun. Cho Kyuhyun….” Gumamku.
Semoga ayahku tidak tahu bahwa anaknya sudah benar-benar gila!


HYE-NA’S POV

Aku bangun terlambat keesokan paginya. Terlalu sibuk menghayal sampai aku tidak bisa memejamkan mata.

Aku datang tepat lima menit sebelum bel masuk berbunyi, bergabung dengan kerumunan murid-murid lain yang juga baru datang, saat tiba-tiba saja dia muncul di hadapanku entah dari mana.
Dia nyengir menatapku dan mulai mengacak-acak rambutnya seperti biasa. Dia berjongkok di depanku dan tangannya dengan cekatan mengikatkan tali sepatu ketsku yang terlepas, diiringi tatapan murid-murid yang dengan senang hati menghentikan langkah mereka untuk memperhatikan kami berdua.

“Lain kali ikat yang kuat. Kalau kau jatuh bagaimana?” tanyanya lembut.
Aku hanya bisa terperangah menatapnya, menurut saja saat dia menggenggam tanganku dan menarikku ke dalam kelas, bertepatan dengan bel yang berbunyi nyaring.
Aku duduk di sebelahnya, tak peduli dengan wajah tololku yang menatapnya kagum.

“Kita pacaran, kan?” tanyaku memastikan.
Dia mengangguk.

“Sudah boleh melakukan apa saja, kan?”

“Mungkin,” ujarnya waspada.

“Tenang saja, tuntutanku yang pertama masih berlaku, sayang saja sekarang belum tanggal 15. Aku hanya ingin kau berjanji bahwa tidak ada wanita lain selain aku. Aku kan jelek, jadi semua gadis disini menungguku melakukan kesalahan yang cukup besar agar kau mencampakkanku. Aku tahu ini kedengarannya egois, tapi aku baru sekali ini jatuh cinta, terperosok dalam pula, jadi belum siap terluka,” ucapku malu.

“Siapa bilang kau jelek?” tanyanya, membuatku lagi-lagi tertunduk malu.

“Bagiku Na~ya, kau adalah karya Tuhan yang paling indah. Bukankah manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna? Lagipula, sebesar apapun kesalahan yang mungkin akan kau perbuat, tidak ada cukup cara untuk membuatku meninggalkanmu. Jadi tenang saja, tidak ada gadis yang cukup menarik di atas dunia ini untuk membuatku berpaling.”
Lagi-lagi dia tersenyum, menenangkan hatiku.

“Tarik nafas, Na~ya,” bisiknya. Harum nafasnya membelai-belai wajahku.
Oh, sial! Lagi-lagi aku lupa bagaimana tepatnya paru-paruku harus bekerja memompa udara.
Pembicaraan kami terputus karena guru Kimia sudah masuk, membuatku mempunyai banyak waktu untuk memutar ulang percakapan kami tadi di dalam benakku. Aku masih memikirkan kemungkinan bahwa pacarku ini buta. Aku cantik? Hah, yang benar saja!



KYUHYUN’S POV

Aku senang saat melihatnya terkagum-kagum menatap rumahku. Aku memang tidak main-main untuk menentukan pilihan yang tepat menyangkut tempat dimana aku tinggal. Rumahku hanya satu lantai, tapi mempunyai taman yang sangat luas. Di halaman rumahku mengalir sebuah sungai kecil dan di atasnya ada jembatan yang terhubung dengan pintu masuk rumah. Rumahku sengaja dibuat memiliki jendela-jendela besar sehingga sinar matahari bisa masuk dengan bebas. Sekali lihat aku langsung tahu bahwa aku menyukai rumah ini dan langsung membelinya tanpa memikirkan harga.

“Kau suka?” bisikku di telinganya, seolah-olah bertanya bagaimana pendapatnya tentang rumah baru yang akan kami tempati berdua setelah menikah nanti.
Dia mengangguk antusias. Aku menuntunnya melewati jembatan dan membukakan pintu untuknya.

Dia lebih terkagum-kagum lagi melihat interior rumahku yang didominasi warna hitam dan putih. Dinding luar rumahku sendiri berwarna abu-abu. Ruangan tempatku bersantai dicat putih, biru, dan hijau, sehingga terkesan menenangkan.

“Selera yang bagus, oppa,” komentarnya.

“Gomaweo.”

Dia duduk di atas sofa. Aku berkonsentrasi melihatnya. Dia meniru jelmaan dewi-dewi Yunani dengan sempurna. Membuat ruangan ini berkilauan.

“Oh, kau benar-benar bukan vampire!” serunya sambil mengangguk-angguk, saat melihat bungkus-bungkus makanan di atas meja.

“Tentu saja bukan!”

“Kau makan,” ujarnya kagum. “Makanan manusia,” lanjutnya lagi.

“Kalau aku tidak makan, aku bisa mati kelaparan,” jelasku.

“Masa kau bisa mati hanya gara-gara itu?” tukasnya tak percaya.

“Tidak juga,” ucapku menyetujuinya.

“Aku tidak memperhatikannya selama ini. Tentu saja kau makan. Setiap istirahat kau kan bersamaku. Tapi tentu saja, wajahmu merusak sistem kerja otakku, bukan hal aneh kalau aku tidak memperhatikan hal lain.”

Oh, terima kasih kepada orang tua yang telah memberikan gen terbaik mereka untuk kesempurnaan wajahku.

“Tapi….” Dia terdiam.

“Apa?” tanyaku penasaran.

“Aku tidak pernah melihat Ji-Yoo makan.”
Aku hampir meledak tertawa mendengar ucapannya yang begitu polos.

“Dia tidak punya usus, Na~ya,” ujarku geli.

“Jadi kau tidak bisa makan kalau tidak punya usus?”

“Tentu saja tidak. Bisa-bisa makanan yang kau makan keluar begitu saja dari…. Kau tahu maksudku. Dan teronggok menjijikkan di atas kursimu,” ujarku dengan nada minta maaf, takut kata-kataku tadi membuatnya jijik.

“Tidak usah dipikirkan,” katanya santai.
Dia membaringkan tubuhnya ke atas sofaku dengan nyaman, seolah-olah dia sudah terbiasa melakukannya setiap hari.

“Keberatan tidak kalau aku tidur sebentar?” tanyanya meminta izin.

“Silahkan.”
Dia mengatupkan kelopak matanya dan tidak lama kemudian dia sudah jatuh tertidur. Wajahnya begitu polos dan… apakah aku boleh mengatakan bahwa dia begitu menggoda?
Astaga, semoga Tuhan melarangku melakukan hal yang tidak-tidak agar aku tidak tergerak menghabisi nyawanya. Godaannya begitu besar soalnya….

***

HYE-NA’S POV

Aku benar-benar lelah setelah kehilangan begitu banyak waktu tidurku untuk memikirkannya. Lagipula mataku harus diistirahatkan dari pemandangan indah itu selama beberapa saat. Ketampanannya benar-benar berlebihan, kalau tidak bisa dibilang keterlaluan.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur karena aku terbangun saat merasakan sesuatu yang harum berhembus di wajahku. Rasanya benar-benar nyaman.

Aku membuka mata dan tercekat saat mendapatinya berbaring di atas tubuhku. Tangannya mengusap-usap rambutku lembut, sedangkan matanya menatapku dengan intens. Membuatku jengah.

“Apa aku membuatmu terbangun?” tanyanya cemas.
Aku menggeleng, berkonsentrasi menatap kesempurnannya, mumpung dia tidak keberatan dengan posisi kami yang….
Sepertinya dia berubah pikiran karena mendadak dia bergerak untuk memberi jarak dengan tubuhku, untung saja aku dengan cepat menahannya.

“Jebal,” pintaku, lalu dia berbaring tak bergerak lagi di atas tubuhku, walaupun tidak sesantai sebelumnya.

“Oh, seharusnya aku tak melakukan ini,” gumamnya.

“Sudah berapa lama aku tertidur?” tanyaku berusaha mengalihkan perhatiannya.
Dia membenamkan wajahnya ke rambutku, menghirrup aromanya dalam-dalam.

“35 menit,”katanya.
Aku menatap ruangan tempat kami berbaring sekarang dari balik bahunya.

“Ini dimana?”

“Kamarku,” jawabnya.
Kamarnya benar-benar besar. Dindingnya dicat seperti papan catur. Semua barangnya tertata rapi. Aku jadi malu saat membandingkannya dengan kamarku yang berantakan.
Konsentrasiku mulai pecah saat bibirnya menyentuh keningku dan bergerak menyusuri pipiku dengan perlahan. Sepertinya dia bangga sekali dengan kemampuannya membuat wajahku merona merah. Darahku berdesir cepat dan jantungku mulai berusaha meloncat keluar dari rongganya.

“Tak bisa membayangkan bagaimana aku bisa mencuri jantung ini darimu. Aku suka sekali mendengar detaknya.” Bibirnya berbisik di telingaku, membuatku bergidik geli.

“Oh, aku lebih suka membayangkan jantungku akan berdetak di dadamu,” ujarku.
Dia menghentikan ciuman-ciumannnya dan mendongak menatapku.

“Gadis bodoh!” gumamnya sambil nyengir.

“Bolehkah aku menyentuhmu?” pintaku dengan nada memohon.
Dia tampak berpikir sesaat sebelum akhirnya mengangguk, memutuskan bahwa itu tidak akan begitu berbahaya baginya.

Aku menjulurkan tanganku, menyentuh rambutnya, keningnya, pipinya, dan bibirnya. Dia terkesiap tapi tidak melakukan apa-apa untuk menghentikanku. Aku meraih tangannya dan mengecupnya pelan, menghirup aroma tubuhnya yang begitu harum, mengalahkan bau parfum manusia.

Dan tiba-tiba saja dia berguling ke samping, berbaring di sebelahku. Dia berbaring menyamping ke arahku, menopang kepalanya dengan siku.

“Aku bukan Edward Cullen yang mempunyai pengendalian diri begitu tinggi, Na~ya,” katanya sambil memandangku dengan tatapannya yang mempesona.
Aku baru bertanya-tanya dalam hati kenapa dia tidak bosan-bosannya menatapku seperti itu. Aku saja hanya melirik wajahku sekilas di cermin setiap akan pergi sekolah, berharap tidak lama-lama meratapi keburukan rupaku.

“Kenapa kau tidak bisa mencoba berhenti berpikir bahwa wajahmu itu begitu jelek? Aku harus menjelaskan seperti apa agar kau mengerti bahwa kau begitu indah?” keluhnya.

“Kau bilang kau tidak bisa membaca pikiran!” protesku.

“Oh, tentu saja! Aku hanya membaca raut wajahmu.”

“Tapi bagaimana bisa?”

“Kau benar-benar terlihat jijik pada dirimu sendiri. Itu terlihat sangat jelas, Na~ya!” ujarnya, merapikan rambutku yang berantakan dengan lembut.

“Kenapa kau mencintaiku?” bisikku.

“Tidak tahu,” ujarnya enteng. Melihat wajahku yang tidak puas dia melanjutkan, “Karena kau membuatku sinting kurasa.”

“Sinting?”

“yah, kau tahu bagaimana rasanya. Memangnya kau tidak sinting karena pesonaku?” godanya.

“Sialan kau! Dasar tukang pamer!” geramku.
Kami terdiam beberapa saat. Sibuk mengagumi pasangan masing-masing.

“Akhir pekan kau ada acara?” tanyanya memecah kesunyian.
Aku menggeleng.

“Baguslah. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”

“Ini ajakan kencan?” tanyaku antusias.

“Tidak juga. Aku hanya ingin mempertemukanmu dengan seseorang.”

“Siapa?”
“Orang yang paling penting bagiku. Selain kau tentunya,” ujarnya penuh rahasia.


***

Tak terasa sudah lewat seminggu sejak Kyuhyun memporak-porandakan hidupku dengan pesonanya. Rasanya begitu cepat, sedangkan aku belum puas memilikinya.

Guru kesenianku, Park songsaengnim, lagi-lagi mengambil nilai. Tapi kali ini bukan bidang yang aku sukai. Dia akan mengetes kemampuan vokal kami, membuatku mendelik marah menatapnya.

Harus kuakui, suaraku akan membuat orang tuli seketika. Tidak ada bagus-bagusnya. Dan sialnya, aku mendapat giliran kedua.

“Han Hye-Na!” Suara menyebalkan itu memanggilku.

Aku melangkah maju dan berdiri di depan kelas dengan gugup. Harus kau tahu, aku punya krisis kepercayaan diri. Aku berusaha untuk tidak menatap Kyuhyun, agar konsentrasiku tidak buyar. Tapi tetap saja aku tahu dia menatapku dengan penuh minat.

Aku memutuskan untuk menyaanyikan lagu Ryeowook feat. Beige, When Falling In Love With Friend. Aku sangat menyukai lagu itu. Dan sepertinya semuanya lancer-lancar saja. Kyuhyun tersenyum padaku saat aku menghempaskan tubuhku ke atas kursi di sampingnya.
When Falling In Love With Friend?” gumamnya sambil menatapku.
Aku mengangguk dan lagi-lagi dia membuatku tertawan dengan senyumannya.

“Aku menyukai lagu itu, terutama suaramu,” ujarnya sambil bangkit berdiri mendengar namanya dipanggil.

“Cho Kyuhyun!”
Kyuhyun mengambil gitar di pojok kelas dan duduk di atas kursi yang disediakan. Semua murid menatapnya terpesona.

“Untuk gadis tercantik yang pernah hidup di dunia dan entah kenapa selalu berhasil membuatku tak terkendali,” ucapnya seraya menatapku tepat di manik mata.

Dia mulai memainkan melodi di gitarnya, tapi aku belum pernah mendengar irama seindah itu. Aku belum pernah mendengarnya menyanyi sebelumnya dan beberapa saat kemudian barulah aku sadar bahwa suaranya adalah hal terindah yang pernah aku dengar seumur hidupku.

Kau bukan wanita idaman siapa-siapa
Kau bukan wanita cantik yang bisa menarik perhatian setiap laki-laki di dunia
Kau wanita yang tidak menyadari wujud dari keindahan
Kau wanita yang selalu marah-marah tanpa alasan
Kau wanita yang berbicara terlalu cepat sampai aku tidak bisa memahami satupun perkataan
Tapi kau memiliki senyuman yang dapat meluluh-lantakkan detak jantungku di setiap masa
Kau wanita yang selalu sabar menungguku dalam kelelahan raga
Kau menatapku dengan tatapan yang membuat cinta
Kau wanitaku, benda tercantik di jagad raya….

Dia menuntaskan lagunya dengan melodi penutup yang indah. Semua orang tidak bisa bersuara saking terpananya. Dan baru beberapa detik kemudian mereka tersadar dan member tepuk tangan yang meriah.

“Lagu yang bagus, Kyuhyun~a!” seru Park songsaengnim sambil bertepuk tangan keras-keras.
“Ciptaan sendiri?” tanyanya.
Kyuhyun mengangguk lalu kembali duduk. Dengan mulut ternganga aku menatapnya. Tak peduli setolol apapun mukaku sendiri.

“Bagus tidak?” tanyanya menunggu pendapatku.

“Seperti kau tidak tahu saja semua orang terpesona menatapmu.”

“Aku tidak peduli pendapat orang lain. Yang kubutuhkan adalah pendapatmu.”

“Aku tak pernah mendengar lagu seindah itu sebelumnya,” akuku. “Lagu itu untukku?”
Dia mengangguk antusias.

“Apa aku bicara terlalu cepat sampai kau tidak bisa memahami satu pun ucapanku?”

“Kadang-kadang. Tapi aku mengerti, karena aku menyimak dengan hati, bukan telinga.”
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Dia selalu saja…. Sepertinya aku harus mulai menghafal isi kamus untuk menguasai lebih banyak kosakata.

“Apa judulnya?”

“Benda hidup tercantik di jagad raya.”

“Bisakah kau tidak terus-terusan menyanjungku?”

“Itu belum seberapa, Na~ya. Aku saja sudah begitu kesulitan untuk mengungkapkan keindahanmu. Kau manusia yang terlalu luar biasa, asal kau tahu saja.”
Ya Tuhan, dia benar-benar sudah tidak waras!


***

Aku sedang menyuap ramyeon ke dalam mulut saat tersadar akan sesuatu.

“Mana Ji-Yoo? Sudah 3 hari dia tidak masuk sekolah,” tanyaku. Aku baru ingat, karena beberapa hari terakhir ini aku terlalu sibuk terkejut dengan semua tindakan Kyuhyun.

“Dia sedang… mencari the sweetest rose-nya.”

“Dia sudah menemukannya?”

“Kurasa sudah.”

“Lalu kenapa dia masih bolos sekolah?”

“Jalan-jalan menurutku. Dia suka sekali muncul secara tiba-tiba di rumah artis yang disukainya. Kemarin lusa dia muncul di rumah Lee Min-Ho.”
Aku tertawa mendengar ucapannya.

“Besok kita kemana, oppa?”

“Busan. Besok aku akan menjemputmu sekitar jam 9. Ayahmu sudah ada di rumah?”
Aku mengangguk.

“Kau tidak berniat mengenalkanku padanya?” Nada suaranya terdengar penuh harap.

“Oh, baiklah,” putusku.

“Sebagai pacar?” tanyanya, terdengar senang sekarang.
Aku mengangguk.

“Gomaweoyo.”


***

“Appa,” panggilku sambil duduk di samping pria berumur setengah abad itu. Aku mengecup pipinya pelan, membuatnya menoleh menatapku heran.

“Kau kenapa? Aneh sekali.”
Aku tersenyum untuk pertama kalinya padanya setelah 11 tahun, membuatnya terperangah menatapku.

“Kau tersenyum?” serunya sambil mengacak-acak rambutku. Aku mengangguk.

“Siapa?” tanyanya senang.
Aku mengerutkan kening, menatapnya heran. Kemudian barulah aku memahami apa maksud ucapannya.

“Dia murid baru di sekolahku, appa. Namanya Kyuhyun. Cho Kyuhyun,” ucapku malu.

“Kapan kau akan membawanya kesini? Aku harus bertemu dengan pria yang sudah membuat anakku tersenyum.”

“Besok, appa. Dia ingin mengajakku jalan-jalan dan memaksa untuk mendapat izin darimu.”

“Bagus, bagus! Jam berapa?”

“Jam 9.”

***


Aku bangun pagi-pagi sekali keesokan harinya. Sedikit gugup, sibuk bertanya-tanya dalam hati kemana Kyuhyun tepatnya akan membawaku.

Lagi-lagi aku membongkar lemariku, berharap menemukan sesuatu yang pantas untuk aku kenakan. Hanya ada jeans dan kaos.

Putus asa, aku menarik tank-top hitam dari gantungan dan memadukannya dengan cardigan putih. Sebaiknya hari Minggu depan aku belanja besar-besaran. Aku tidak mau tampil memalukan lagi di depan Kyuhyun.

Aku sedang menguncir rambutku saat bel pintu berbunyi. Tergesa-gesa aku berlari turun, melirik jam sesaat. Masih jam 8, pikirku.

Aku membuka pintu depan dan seketika mendapati pemandangan terindah di dunia di depan pelupuk mataku.

“Hai,” seruku terengah-engah.
Kyuhyun tersenyum, seperti biasa, mengacak-acak rambutnya lagi.

“Maaf, rasanya lama sekali kalau harus menunggu jam 9. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu,” ujarnya sambil menyentuh pipiku.
Aku menunduk malu. Dia selalu saja seperti itu.

“Kau cantik sekali, Na~ya. Seperti pelangi.”
Aku tidak tahu lagi seperti apa rupaku sekarang. Rasanya pipiku sudah semerah kepiting rebus.

“Masuk, oppa?”

“Ayahmu?”

“Biar kupanggilkan,” kataku sambil menyingkir agar dia bisa lewat. Aku meninggalkannya sebentar. Pergi menemui ayahku.

“Ayah!” panggilku, berlari masuk ke kamarnya. Beliau sedang duduk di samping jendela, melakukan kegiatan kesukaaannya, membaca.
Dia menoleh ke arahku lalu tersenyum.

“Dia sudah datang?” tanyanya kemudian. Aku mengangguk.

“Masih jam 8. Sepertinya dia sudah tidak sabar lagi ingin bertemu denganmu,” guraunya, membuatku tertunduk malu.

“Tadi dia juga bilang begitu padaku,” gumamku.
Kami berdua menemui Kyuhyun di ruang tamu. Aku memperhatikan raut muka ayahku saat melihat Kyuhyun. Sepertinya beliau menyukainya.

“Selamat pagi, anak muda!” sapa ayahku.
Kyuhyun mengangguk sopan lalu menjabat tangan ayahku. Aku membiarkan mereka berdua berbicara panjang lebar. Kelihatan sekali kalau ayahku menyukai pengetahuan Kyuhyun yang luas. Baguslah, jadi aku tidak perlu sembunyi-sembunyi pacaran dengannya.

“Kalian akan pergi kemana pagi ini?”

“Ke rumah orang tua saya di Busan. Itu kalau Anda mengizinkan. Saya janji akan mengembalikan Hye-Na sebelum malam.”

“Boleh, tentu saja boleh.”
Ayahku mengangguk senang lalu menoleh ke arahku.

“Bisa kita bicara sebentaar, Hye-Na?” tanyanya.
Aku mengangguk, mengikutinya ke kamar. Sial, jangan-jangan ayahku tidak menyukai Kyuhyun. Bisa saja tadi itu hanya untuk menghormati perasaan Kyuhyun saja.

“Ada apa, appa?”
Beliau duduk di atas tempat tidur lalu menatapku sambil tersenyum.

“Aku tidak bilang kalau kau itu jelek, Hye-Na~ya. Aku cuma… yah, kau tahulah. Ketampanannya itu terlalu berlebihan menurutku. Tapi kufikir dia sangat tergila-gila padamu, jadi aku tidak perlu khawatir.

Aku tersenyum lebar. Huh, ayahku saja sudah tidak tahan dengan ketampanannya, jadi tidak heran kalau aku rela mati untuk menjaga eksistensi ketampanannya itu.

“Aku pamit, appa.” Ayahku mengangguk, lalu secepat yang aku bisa aku berlari menghampiri Kyuhyun, tidak sabar ingin melihatnya lagi.

“Kita pergi sekarang?” Kyuhyun mengangguk kemudian meraih tanganku. Hmmfh… dia ini benar-benar….

***


KYUHYUN’S POV

“Memangnya kau punya orang tua?” tanyanya tiba-tiba saat mobilku sedang melaju kencang di jalan raya.

“Tentu saja. Kau pikir bagaimana caranya aku dilahirkan? Langsung muncul tiba-tiba, begitu?” candaku.

“Tapi bukannya orang tuamu tidak bisa melihatmu?”

“Maksudku orang tua angkat.”

“Orang tua angkat?”

“Curare yang mengubahku. Dia sudah kuanggap seperti ayahku sendiri.”

“Kau tidak membencinya?”

“Tidak. Tentu saja tidak. Kau tidak tahu bagaimana dulu dia memohon ampun kepadaku setiap hari karena dia telah menjadikanku monster. Aku tidak keberatan dengan keadaanku ini sebenarnya. Semuanya kan sudah ada yang mengatur.”

“Oh, benar! Jadi merupakan takdir juga kan bahwa aku harus menyerahkan jantungku? Dan tentunya kau juga harus menerima takdir itu, oppa!”

“Bisa tidak kau berhenti membicarakan hal itu?”

“Tentu saja tidak!” serunya marah.

“Ne, arasseo. Tapi tolong jangan hari ini. Jebal?”

“Ne.”
Beberapa jam kemudian aku membelokkan mobilku ke sebuah rumah mewah di daerah perkebunan teh. Aku memarkirkan mobilku di depan pintu kemudian turun membukakan pintu mobil untuk Na~ya.

“Dia galak tidak?” Tanya gadis kesayanganku itu. Ada nada gugup dalam suaranya.

“Tidak. Tenang saja,” ujarku sambil menggenggam tangannya. Berharap dia merasa sedikit tenang.

Kami masuk ke dalam rumah itu setelah seorang pelayan membukakan pintu untuk kami. Aku membawa Na~ya ke taman belakang tempat ayahku menunggu kami.

“Appa,” sapaku sopan. Beliau berbalik. Tersenyum menatapku lalu menoleh ke arah Na~ya.

“Yeppeo,” komentarnya.

“Neomu yeppeoyo, appa,” ralatku.

“Oh, tentu saja, dia kan belahan jantungmu.” Aku nyengir lalu menatap Na~ya yang juga sedang menatapku penuh tanya.

“Oh, itu… maksudnya… ng… begini… menurut sebagian orang, kekasih hatinya disebut belahan jiwa atau belahan hati. Tapi menurutku kau adalah belahan jantungku. Karena tanpa hati pun seseorang masih tetap bisa hidup walaupun mungkin lebih seperti mayat hidup. Sedangkan tanpa jantungmu kau hanyalah jasad tak berguna yang sudah mati. Kesimpulannya Na~ya, tanpa kau, tak ada detakan nyawa untukku.” Dia menatapku terperangah, seakan-akan aku ini orang gila.

“Aku serius, Na~ya,” ucapku. Dia menunduk malu lalu mengangguk.

“Ngomong-ngomong, jangan membahas masalah curare di depan ayahku. Dia tidak ingat apa-apa,” bisikku di telinganya.

“Aigoo, sepertinya ayah jadi orang ketiga di antara kalian!” seru ayahku.

Kami berdua tertawa.

“Mianhaeyo, appa!”

“Ah, ani, gwaenchana! Bagaimana kalau kita makan? Memangnya kalian tidak lapar?”

“Kau lapar tidak?” tanyaku.

“Sedikit.”

“Ya sudah! Kajja!”

Aku menarik tangannya, membimbingnya masuk ke dalam rumah. Setelah makan kami memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi kebun teh. Aku tertegun melihat matanya yang berbinar-binar senang. Bibirnya yang mungil membentuk senyuman indah saat melihat pemandangan kota yang memukau di depan kami.

“OMO, neomu yeppeoyo!” serunya sambil menatapku, membuatku mengalihkan pandangan ke arah lain.

Aku memasukkan tangan ke dalam saku agar aku tidak kehilangan kendali lalu menciumnya. Berdua saja seperti ini benar-benar membuat otakku kacau balau!

“Waeyo?” tanyanya seraya berdiri di hadapanku, menatap wajahku penasaran.

“Na… Na~ya… ng… eh… bisa tidak kau tidak terlalu dekat-dekat ke arahku?” pintaku gugup.

“Waeyo?”

“Apa kau mengerti kalau aku bilang bahwa aku ini laki-laki?” Secercah pemahaman terlintas di wajahnya kemudian dia mengambil jarak dariku.

“Tapi aku kan tidak merayumu, oppa!” katanya heran.

“Matamu berbinar-binar dan kau tersenyum, itu membuatku sinting, kau tahu?” keluhku. Dia tampak kaget. Masih menatapku heran.

“Masa hanya gara-gara itu saja kau bisa kehilangan kendali?”

“Kau membuatku terpesona dan hal itu sangat berbahaya. Susah sekali menahan diri untuk tidak menciummu, Na~ya.”

“Ini Minggu dan seseorang memberitahuku bahwa aku membuatnya terpesona sampai kehilangan akal! Aish, jinjja!”

“Oh, kau saja yang baru tahu.”

“Maksudmu?”

“Kau ingat malam waktu aku ke rumahmu?” Dia mengangguk.

“Kalau aku membiarkanmu menyentuhku waktu itu, aku pasti kehilangan akal sehat dan akan menciummu detik itu juga,” akuku. “Lalu waktu di rumahku. Aku membiarkanmu menyentuhku hanya untuk mengetes seberapa dahsyat dampaknya terhadapku. Ternyata lebih parah dari yang aku duga. Aku malah hamper membunuhmu kalau aku tidak segera sadar waktu itu,” lanjutku.
Dia menatapku sesaat lalu berbalik dan duduk di atas kursi besi panjang yang langsung menghadap ke arah pemandangan kota Busan yang terhampar di bawah sana, tidak sedahsyat di malam hari sebenarnya, tapi tetap saja indah.

“1 minggu lagi tanggal 15, oppa,” ujarnya.
Aku menghempaskan tubuh ke sampingnya, menyandarkan kepalaku ke sandaran kursi dan menoleh ke arahnya.

“Kau tidak harus berkorban untukku, Na~ya.”

“Tidak ada yang dikorbankan dalam hubungan ini, oppa. aku tidak pernah mengorbankan apapun. Kau juga tidak. Karena saat mencintai seseorang, apapun yang kita berikan tidak terasa seperti berkorban. Kita tidak merasa kehilangan sesuatu. Niat memberikan sesuatu untuk pasangan datang dari hati. Dari diri sendiri. Aku tidak pernah memikirkan apa yang sudah aku berikan padamu, apa yang sudah kau berikan untukku, karena aku ikhlas.”
Aku tertegun mendengar ucapannya. Kemudian aku mengulurkan tanganku untuk menyentuh pipinya.

“Apa kau ikhlas? Kau tidak merasa rugi?” Dia menggeleng.

“Boleh aku minta sesuatu? Mungkin berat untukmu, tapi….”

“Apa saja.” Aku menatapnya tepat di manic mata.

“Kau tahu, kalau aku berubah menjadi manusia aku akan melupakanmu?” Dia mengangguk.

“Satu minggu itu sangat sebentar, Na~ya, dan itu artinya waktuku untuk memilikimu juga semakin sempit. Aku belum siap kehilanganmu sekarang, tak akan pernah siap sampai kapanpun, tapi aku bisa mengumpulkan waktu sebanyak yang aku bisa dan ada 3 bulan lagi untuk itu. Aku masih ingin menatap matamu, menggenggam tanganmu… mencintaimu…. Aku ingin meminimalisir rasa sakitnya, Na~ya.”

“Kau ingin menciumku tepat tengah malam di hari ulang tahunku?” tanyanya. Aku mengangguk. Dia benar-benar cepat tanggap.

“Tapi bagaimana kalau kau berubah pikiran lalu ingkar janji di saat-saat terakhir? Aku tidak bodoh, oppa!” Aku mengeluh dalam hati. Dia terlalu pintar dari yang kukira.

“Aku tahu apa yang kau pikirkan , oppa. saat itu kau akan mengulur-ulur waktu, meyakinkanku bahwa kau ingin bersamaku beberapa detik lagi, lalu saat jam 12 teng kau menolak melakukannya dan aku sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Oh, ada satu kemungkinan lagi sepertinya,” tuduhnya.

“Apa?” tanyaku, membatin dalam hati, seberapa pintarnya gadis ini?

“Bisa saja di hari ulang tahunku itu kau menghilang. Atau kalaupun kau masih ingin melihatku untuk terakhir kalinya, kau akan menghampiriku. Berpura-pura seolah-olah kau setuju untuk menciumku, lalu saat hamper jam 12 kau akan menghilang entah kemana dengan kemampuan silanmu itu!” Aku mendesah. Jenius sekali dia!

“Aku tidak bisa menolerir kebohongan, oppa!”

“Baiklah, baiklah!” seruku putus asa. Dia tersenyum, sepertinya percaya bahwa aku sudah menyerah. Oh, benar, aku tidak bisa memikirkan hal lain untuk melarikan diri sekarang.

“Ngomong-ngomong tentang hilang ingatan, benarkah kau tidak akan mengingatku lagi?”

“Mmm…” gumamku. “Apa kau berubah pikran sekarang setelah mengetahuinya?” harapku.

“Sama sekali tidak. Lebih baik kau amnesia daripada mati. Setidaknya ada kemungkinan aku akan bertemu lagi denganmu.” Dia berhenti sesaat, dan mendadak raut mukanya berubah menjadi penuh semangat.

“Aku bisa bertemu denganmu lagi! Seperti kau bertemu dengan ayah angkatmu!” serunya.
Aku tersenyum.

“Saat kembali menjadi manusia, aku akan berumur 2 tahun. Kembali ke masa lalu. Semestinya aku sudah berumur 19 tahun sekarang. Tapi aku sangsi apakah kau bisa menemukanku.”

“Kenapa? Aku kan bisa menggunakan keahlianku sebagai curare untuk muncul di berbagai tempat yang aku inginkan.” Mataku berkilat menatapnya.

“Kau sepertinya salah paham dengan kemampuan itu. Kau bisa muncul di sembarang tempat yang benar-benar kau ketahui alamat lengkapnya. Kau tidak bisa hanya memikirkan orang yang ingin kau temui lalu tara… kau berada di hadapannya. Kalau bisa seperti itu dalam satu hari pun aku bisa kembali menjadi manusia.”

“Aku bisa berusaha. Setidaknya masa kau tidak tahu kau tinggal dimana waktu kecil?”

“Seingatku di Seoul. Sekilas ayahku pernah menyinggungnya.”

“Nah, beres, kan? Aku tinggal mengelilingi Seoul untuk mencarimu.”

“Aku juga hanya perlu mengelilingi Busan yang lebih kecil dari Seoul untuk mencari ayah angkatku. Tapi sayangnya aku butuh waktu 8 tahun untuk itu.”

“Selama itu?” Nada suaranya mulai kedengaran putus asa.

“Kau juga harus mencari the sweetest rose-mu, kan? Dengar, lebih cepat kau menemukannya akan lebih baik.”

“Ne, arasseo…. Tapi….”

“Mwo?”

“Aku juga akan melupakanmu saat menjadi manusia. Jadi bagaimana mungkin kita bertemu lagi? Aku takut bahkan jika kau melintas di hadapanku sekalipun aku tidak bisa mengenalimu.”
Aku menyentuh pipinya dengan kedua tanganku. Menatapnya lekat-lekat.

“Kau percaya takdir, Na~ya?”

“Mungkin,” ujarnya ragu.

“Aku percaya. Kita pasti akan bertemu lagi, karena sudah ditakdirkan begitu.” Dia masih tidak percaya aaku bisa melihat dari tatapan matanya.

“Aku sudah menemukan tulang rusukku, itu artinya kalau tidak bersamamu, aku tidak akan menjadi sempurna. Hidup tanpamu itu artinya neraka, Na~ya. Takdirku akan selalu mengarah padamu. Kalau tidak di dunia, aku akan mengejarmu sampai ke alam baka. Kalau tidak berhasil juga, aku akan menyusulmu ke surga atau meminta kita dipersatukan di neraka.”

HYE-NA’S POV

“Aku sudah menemukan tulang rusukku, itu artinya kalau tidak bersamamu, aku tidak akan menjadi sempurna. Hidup tanpamu itu artinya neraka, Na~ya. Takdirku akan selalu mengarah padamu. Kalau tidak di dunia, aku akan mengejarmu sampai ke alam baka. Kalau tidak berhasil juga, aku akan menyusulmu ke surga atau meminta kita dipersatukan di neraka.”
Aku terpana menatapnya. Apa-apaan pria ini?

“Ini benar-benar gila!” gumamku.

“Apanya yang gila? Biasa saja,” ujarnya enteng.
Kau saja yang tidak tahu bahwa kata-katamu itu membuatku berada di antara hidup dan mati! gerutuku dalam hati.

“Na~ya?”

“Apa?”

“Bolehkah aku meminta sesuatu?” tanyanya dengan suara lembut. Senyumnya begitu membutakan. Aku mengangguk.

“Apa saja,” ujarku, tak peduli apapun konsekuensinya. Aku hanya berharap dia tidak meminta yang aneh-aneh. Ketampanannya benar-benar tak tertahankan. Selalu saja membuatku kehilangan akal sehat.

“Bernyanyilah untukku,” pintanya.

“MWO?!” seruku terkesiap.

“Bernyanyi, Na~ya. Hanya bernyanyi. Masuk akal, kan? Aku ingin mendengar suaramu lagi.”

“Kau benar-benar gila, oppa!” tukasku.

“Benar, aku memang tergila-gila padamu,” katanya sederhana tapi langsung meluluh-lantakkan seluruh persendianku. Dia masih menatapku penuh harap, dengan sorot mata berbinar-binar.

“Jangan komentar setelah mendengar suaraku. Kalau suaraku membuatmu tuli, tutup saja telingamu,” ujarku putus asa.

“Tidak akan terjadi,” janjinya.

“Kau lihat saja nanti!” geramku.
Aku menarik nafas. Membenci keadaan ini.

How do I get through one night without you?
If I had to live without you
What kind of life would that be?
(Bagaimana caranya aku melewati satu malam tanpamu?
Jika aku harus hidup tanpamu
Kehidupan macam apa itu?)
Oh, I need you in my arms, need you to hold
You’re my world, my heart, my soul
If you ever leave
Baby, you’d take everything good in my life…
(Aku membutuhkanmu dalam genggamanku, membutuhkanmu untuk berpegangan
Jika kau meninggalkanku
Sayang, kau akan merebut segala hal yang baik dalam hidupku…)
Without you… there will be no sun in my sky
There would be no love in my life
There would be no world left for me
(Tanpamu… tidak aka nada matahari di langitku
Tidak akan ada cinta dalam hidupku
Tak ada dunia untuk kutinggali)
And I….  Baby I don’t know what would I do
I would be lost if I lost you
If you ever leave
Baby, you would take away everything real in my life and tell me now….
(Dan aku…. Sayang, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan
Aku akan hilang jika aku kehilanganmu
Jika kau meninggalkanku
Sayang, kau akan merebut segaala hal yang nyata dalam hidupku dan sekarang beritahu aku…)
How do I live without you? I want to know
How do I breathe without you if you ever go
How do I ever, ever survive?
How do I? How do I? How do I live?
(Bagaimana caranya aku hidup tanpamu? Aku ingin tahu
Bagaimana caranya aku bernafas tanpamu jika kau pergi meninggalkanku?
Bagaimana caranya aku bisa bertahan hidup?
Bagaimana caranya? Bagaimana caranya aku bisa hidup?)
How do I go on if you ever leave?
Well, Baby, you would take away everything need you with me
Baby, don’t you know you are everything good in my life?
(Bagaimana caranya aku melanjutkan hidup jika kau meninggalkanku?
Sayang, kau akan merebut segala hal yang membuatku membutuhkanmu
Sayang, tidakkah kau tahu bahwa kau adalah segala hal terbaik dalam hidupku?)
Menurutku aku sudah menyelesaikan laguku dengan sangat baik. Tidak fals setidaknya. Aku menoleh ke arah Kyuhyun yang sedang menatapku seolah terkesima.

“Oppa?” panggilku. Dia terkesiap sesaat lalu pandangannya mulai terfokus menatapku.

“Itu tadi luar biasa sekali, Na~ya,” ujarnya setelah berpikir untuk menemukan kata-kata yang cukup tepat.

“Maaf, sayangnya tidak ada kata yang lebih tepat. Atau kalau boleh aku ingin bilang itu benar-benar sempurna.” Dan tiba-tiba saja dia sudah mengecup pipiku singkat.

“Terima kasih,” bisiknya. “Jika semua hal di dunia ini lenyap tapi kau ada, aku akan tetap hidup untuk mencintaimu. Tapi jika segala hal indah di dunia ini tetap bertahan sedangkan kau hilang, jagad raya akan terasa seperti neraka yang membakar setiap jengkal tubuhku. Eksistensimu Na~ya, dimanapun itu, adalah nafas bagiku.”


***

Lagi-lagi aku tak bisa tidur. Hari ini aku benar-benar seharian bersama Kyuhyun. Saling blak-blakkan tentang perasaan masing-masing. Tapi dia begitu terang-terangan mengungkapkan semuanya, membuatku benar-benar merasa sinting sekarang.

Keesokan harinya aku berangkat sekolah dengan semangat meluap-luap. Tak sabar ingin bertemu lagi dengannya. Tapi saat aku melihatnya dia malah menghampiriku dengan kesal.

“Ada apa?” tanyaku cemas.

“Kau! Aku kan sudah bilang, jangan berdandan ke sekolah! Sekarang beritahu aku, dimana kacamatamu?!” bentaknya. Aku mendengus kesal. Susah payah aku berdandan hari ini untuk membuatnya senang, eh dia malah memarahiku seperti serigala yang mengamuk.

“Aku muak, oppa! Aku muak mendengar semua orang mencaciku di belaakang! Aku muak saat mereka bilang bahwa aku seperti seonggok sampah yang yang berjalan di samping malaikat sempurna seolah-olah aku sangat pantas berada di sampingmu! Aku ingin kita seimbang, aku ingin terlihat pantas berada di sampingmu!” teriakku lepas kontrol, tak peduli semua orang sedang menatap kami penuh minat.

Dia tertegun menatapku. Tak bisa bicara untuk beberapa saat. Dia tampak berusaha mengontrol dirinya.

“Di dunia ini, ada 99% hal yang bisa aku lakukan dengan begitu sempurna, tanpa bantuan orang lain. Tapi aku tidak bisa melakukan 1% lagi sendirian. Dan satu-satunya orang yang bisa membantuku hanya kau. Tanpa 1% itu aku tak akan pernah menjadi sempurna. Kalau ada kau, aku baru merasa benar, merasa lengkap.” Aku menatapnya. Tak bisa bereaksi apa-apa.

“Apa kau lupa? Yang aku cintai bukan kecantikan. Yang aaku cintai sesosok wanita bernama Han HyeNa. Yang aku cintai adalah jiwanya, berikut raga yang membungkusnya. Jadi tolong, acuhkan saja ucapan orang lain tentangmu. Karena yang aku cintai itu kau, bukan mereka.”
Dia mendekatiku lalu mengecup puncak kepalaku. Aku menggigit bibirku keras-keras, menahan air mataku yang mendesak keluar.

“Maaf, aku tadi begitu kasar. Tadi itu benar-benar tidak pantas untuk dilakukan. Aku hanya tidak suka ada orang lain yang menikmati kecantikanmu selain aku,” bisiknya.

“Aku juga. Maaf kalau aku membuatmu kesal,” ujarku serak.

“Tidak ada alasan untuk membuatku marah padamu, Na~ya.”
Dari sudut mataku aku bisa melihat tatapan iri orang-orang terhadapku. Oh, ya, aku tidak akan mempedulikan mereka lagi.


***

Ji-Yoo sudah bergabung lagi bersama kami. Dia mengolok-olok pertengkaran konyol kami tadi pagi. Dia memuji penampilanku, menganggap Kyuhyun terlalu protektif terhadapku.

“Memang apa salahnya kalau dia cantik? Kau takut punya saingan?” ejeknya.

“Tidak juga. Sudah pasti aku yang menang. Namja-namja disini tidak setampan aku sayangnya,” ucapnya menyombongkan diri.

“Sedikit pun tidak,” timpalku menyetujuinya.

“Kalian sama saja!” tukas Ji-Yoo kesal.

“Oh, sudahlah,” leraiku. Kantin ribut sekali siang ini. Mengalihkan pandangan dari dari tatapan iri murid-murid itu, aku menunduk sambil menyeruput jus jerukku.

“Bagaimana liburanmu, Ji-Yoo~a?” tanyaku penasaran.

“Oh, kalau kau tahu kau pasti akan iri padaku!” serunya dengan wajah berseri-seri.

“Apa?”

“Aku bertemu Yoo Seung-Ho dan Kimbum. Kau tahu tidak? Mereka benar-benar tampan!”
Saking bersemangatnya, Ji-Yoo nyaris melompat-lompat.

“Dimana tepatnya kau bertemu mereka?” selidikku.

“Ng… Kimbum di lokasi syuting. Tapi kalau Seung-Ho….” Ji-Yoo berhenti sesaat dengan ekspresi geli. “Aku nekat masuk ke kamarnya dan disaat yang sangat tepat. Dia sedang ganti baju! Aku hamper saja meneteskan air liur melihatnya. Bisa kau bayangkan tidak bagaimana ekspresinya waktu itu? Hahaha….”

“Apa dia memanggil seseorang untuk mengusirmu?” tanyaku geli.

“Tidak. Dia sendirian di rumah. Aku hanya iseng, jadi aku minta saja tanda tangannya lalu pergi.”

“Dia bagaimana?”

“Syok kukira,” tandas Ji-Yoo enteng. Lalu tiba-tiba saja ekspresinya berubah panik. Dia menatap Kyuhyun, tubuhnya begitu tegang.

“Ngomong-ngomong Kyuhyun~a, aku bertemu Eun-Ji di Paris.” Seketika wajah Kyuhyun menjadi kaku dan tubuhnya menegang. Kelihatan sangat tidak nyaman dengan pembicaraan ini.

“Kau bicara apa saja padanya?”

“Aku… kau tahu dia selalu bisa mengorek informasi apapun dari siapapun. Jadi….”

“Apa itu sudah yang terburuk?”

“Belum. Dia berencana kesini,” jawab Ji-Yoo tak enak.

“Sudah kuduga,” gumam Kyuhyun. Merasa tidak mengerti dengan arah pembicaraan ini, aku menatap mereka berdua dengan penasaran.

“Adakah yang mau memberitahuku siapakah Eun-Ji ini?” tuntutku.
Kyuhyun menatapku, menimbang-nimbang sesaat lalu mulai menjelaskan.

“Eun-Ji ini, gadis yang dari dulu tak pernah berhenti mengejarku. Aku sudah menolaknya berkali-kali, tapi sayangnya dia benar-benar keras kepala. Dan sekarang sepertinya dia benar-benar penasaran siapa gadis yang membuatku berhasil bertekuk lutut.”

“Seberapa cantik dia?”

“Seribu kali lebih cantik dariku,” ujar Ji-Yoo, membuatku terperangah kaget.
Ji-Yoo saja sudah begitu cantik, apalagi si Eun-Ji ini. Di sampng Ji-Yoo aku seperti itik buruk rupa, kalau di samping Eun-Ji mungkin aku akan terlihat seperti gadis pengemis. Tidak. Lebih mirip nenek-nenek tua reyot kurasa.

“Tenanglah Na~ya, tidak perlu khawatir,” hibur Kyuhyun sambil mengusap-usap rambutku.
“Eun-Ji ini Hye-Na~ya, sangat ambisius. Kau tidak perlu takut Kyuhyun akan berpaling karena itu tidak mungkin. Tapi dia akan mengintimidasimu sebisa mungkin untuk meninggalkan Kyuhyun. Dia benar-benar licik, kau tahu?” Aku menatap Ji-Yoo takut, kemudian beralih menatap Kyuhyun.

“Apa dia pernah membuatmu tertarik? Berbohonglah kalaupun iya, biar aku sedikit tenang,” pintaku.

“Tidak sedikitpun. Kalau kau melihatnya nanti, kau mungkin tidak percaya padaku, tapi aku benar-benar tidak pernah tertarik pada gadis manapun sebelumnya. Sampai kau datang.”
Aku membenamkan wajahku di dadanya, menghirup aroma tubuhnya yang harum. Dia mengusap-usap punggungku, membuat rasa nyaman menjalari seluruh tubuhku. Tapi aku belum benar-benar tenang sekarang.

Aku tak pernah memikirkan ini sebelumnya. Tak pernah memikirkan gadis-gadis di sekeliling Kyuhyun. Tak tahu bahwa ada tandingan yang sama sekali tidak tertandingi olehku. Aku benar-benar ketakutan dengan kemungkinan bahwa Kyuhyun akan menyadari kalau aku sama sekali tidak pantas untuknya kemudian memutuskan meninggalkanku. Aku bergidik memikirkan kemungkinan itu. Ini semua benar-benar mengerikan.

“Sudahlah Na~ya, kalau dia datang, kau tidak perlu dekat-dekat dengannya. Aku akan menjagamu.”

“Tidak bisa menyingkirkan kemungkinan bahwa dia juga akan….”

“Itu tidak akan pernah terjadi. Dia terikat peraturan. Dan kalaupun dia melanggarnya, aku akan memastikan dia harus melangkahi mayatku terlebih dahulu!” tegas Kyuhyun, memotong perkataan Ji-Yoo.

“Kemungkinan apa? Peraturan apa?” tanyaku bertubi-tubi.

“Ada kemungkinan dia akan membunuhmu, tapi tentu saja itu tidak bisa. Ada peraturan dalam dunia kami bahwa kami tidak boleh membunuh manusia selain the sweetest rose kami.”

“Oh, terima kasih banyak, Ji-Yoo~ya!” ujar Kyuhyun sinis.
Saking syoknya, aku malah bertanya, “Apa yang terjadi jika dia membunuhku?”

“Waktu 10 tahunnya akan dikurangi menjadi 5 tahun. Tapi sepertinya dia sama sekali tidak keberatan.”

“Apa maksudmu?”

“Dia membunuh gadis pelayan toko yang merayu Kyuhyun di depan matanya dan dia hampir saja membunuhku karena mengira aku memiliki hubungan dengan Kyuhyun,” tukas Ji-Yoo.

“APA?!” teriakku syok.

“Cukup, Ji-Yoo~ya! Satu kata lagi kau bisa membuatnya stroke!” ujar Kyuhyun marah.

“Tidak apa-apa, oppa,” kataku berusaha menenangkan diri. “Lalu kenapa dia tidak disini untuk mengikuti Kyuhyun oppa?”

“Dia cukup yakin bahwa Kyuhyun tidak akan tertarik pada wanita manapun. Tapi kali ini dugaannya keliru. Kyuhyun malah menemukanmu.”

“Dan dia benar-benar mengamuk sekarang,” gumamku.

“Aku buru-buru menghilang waktu itu saat dia bertanya dimana kami bersekolah, tapi tinggal tunggu waktu saja sepertinya.

“Lebih baik kita masuk kelas sekarang,” tukas Kyuhyun jengkel sambil menarik tanganku.
Baru beberapa langkah, Kyuhyun mendadak berhenti, sehingga aku menabrak tubuhnya dari belakang. Aku melongok dari balik bahunya, mencari tahu apa yang membuatnya seperti itu.
Lalu aku melihatnya. Bidadari yang kecantikannya tak pernah kubayangkan sebelumnya. Rambut ikalnya yang panjang tergerai sempurna di bahunya. Wajahnya… aku tak punya kata-kata yang tepat untuk menggambarkan betapa rupawannya wajah itu. Wajah yang saking cantiknya membuat kecantikan gadis lain meredup. Berada satu ruangan dengannya saja sudah membuat semua gadis meratapi keburukan wajahnya.

Kyuhyun berdiri di depanku, berusaha menghalangiku dari pandangan gadis itu. Kalau mau aku bisa saja menutupi wajahku dengan kantong plastic agar gadis itu tidak punya kesempatan mencela wajahku.

“Oppa,” sapanya dengan suara selembut beledu.

Kyuhyun hanya diam, genggamannya di tanganku semakin kuat. Suasana begitu hening, semua orang memperhatikan kami tanpa suara. Tidak ingin ketinggalan satu katapun.
Eun-Ji memiringkan kepalanya sesaat, berusaha menatap wajahku.

“Hanya seperti ini seleramu?” ejeknya merendahkan. “Dia bahkan tidak memiliki seperseribu dari kecantikanku.”

“Kecantikan sayangnya bukanlah hal yang aku agung-agungkan,” ujar Kyuhyun dingin.

“Tapi dalam teorinya, seharusnya wanita yang buruk rupa tidak pantas sekalipun disandingkan denganmu!” protesnya.

“Teori selalu berbeda dengan kenyataan, Eun-Ji~a.”

“Apa bagusnya dia?!” sergah Eun-Ji. “Tidak ada secuil pun dari dirinya yang pantas mendapat perhatian darimu!”

“Dia adalah segala hal yang aku inginkan dalam hidup, jika aku cukup tahu diri untuk memintanya kepada Tuhan.”

Wajah Eun-Ji memerah.

“Oh, begitu? Apa dia tahu kalau dia adalah….”

“Tentu saja,” potong Kyuhyun.

“Dan gadis ini rela menjadi monster untukmu?”

“Itu sayangnya sama sekali bukan urusanmu!” tukas Kyuhyun, nadanya memperingatkan.
“Sudahlah Eun-Ji~a, sia-sia saja kau menggangguku. Dia hidupku sekarang. Hidupku sampai kapanpun. Dia satu-satunya gadis yang pernah dan akan mendapat perhatian lebih dariku.”

“Kau! Lihat saja nanti!” teriaknya marah sambil bergegas pergi.
Secepat kilat Kyuhyun berbalik menghadapku. Dia memegangi wajahku dengan kedua tangannya.

“Kau tidak apa-apa?” tanyanya cemas. Raut wajahnya tampak sangat khawatir.
Aku tak bereaksi apa-apa. Masih syok kurasa.

“Na~ya, bicaralah. Jebal.”

“Kau bilang yang paling rupawan hanya kau dan Ji-Yoo!” sungutku.
Kyuhyun tersenyum lega mendengar suaraku.

“Aku lebih suka tidak menyinggung tentangnya,” kata Kyuhyun dengan nada tidak suka.

“Gadis tercantik di dunia saja sudah mengejarmu mati-matian, apalagi yang biasa-biasa saja.”
Kyuhyun terdiam seketika.

“Oh, jadi semua gadis curare itu juga mengejarmu?” jeritku frustrasi, mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk. Berarti banyak sekali yang akan mengincar nyawaku sekarang.

“Berarti lebih baik kau menciumku besok saja. Aku tidak bisa menjamin nyawaku akan selamat sebelum aku menyelamatkan nyawamu.”

“Tidak!” ujarnya tegas. “Aku yang akan memastikan bahwa kau tidak akan tersakiti sehelai rambut pun.” Aku menekuk wajahku kesal lalu melangkah meninggalkannya. Hari ini benar-benar melelahkan!


***

Aku berbaring gelisah di atas tempat tidurku. Besok tanggal 15 April dan pacarku yang sialan itu sama sekali tidak mau menciumku! Aku harus memikirkan cara untuk merayunya.

Pertama, aku harus menemukan saat dimana dia dan aku hanya berdua. Lalu… hah… aku tak pernah merayu namja manapun sebelumnya!

Aku sedang mendengus kesal saat tiba-tiba saja Ji-Yoo muncul di hadapanku.

“Tidak bisakah kau muncul di depan pintu rumahku lalu memencet bel?”

“Tidak. Itu terlalu menghabis-habiskan waktu,” katanya cuek.

“Memang ada hal yang begitu penting sampai kau tidak mau membuang-buang waktu sedikitpun?”

“Tidak juga. Ng… kenapa malam ini kau ada di rumah?” tanyanya tiba-tiba.

“Memangnya mau dimana lagi?”

“Kau tidak ada janji dengan Kyuhyun?”

“Tidak.”

“Kau tahu tidak ini tanggal berapa?”

“15 April. Memangnya kenapa? Kyuhyun oppa tidak ulang tahun hari ini, kan?” tanyaku kaget.

“Ya, Han Hye-Na babo, kau bukannya mau dia menciummu? Ini saatnya! Lakukan tepat jam 12 malam! Atau kau belum siap?”

“Hah, aku bahkan memikirkan cara untuk merayunya dari tadi.”

“Tunggu apalagi sekarang? Ayo cepat bersiap-siap!” serunya sambil menarik tubuhku bangun lalu mendudukkanku di depan meja rias.

“Tunggu!” protesku. “Ini sudah jam 10 malam, Ji-Yoo~ya!”

“Dan ayahmu tidak ada di rumah.”

“Tapi aku tidak punya janji dengan Kyuhyun oppa!”

“Makanya dia menyuruhku kesini untuk menjemputmu. Dia bilang ingin menghabiskan waktu berdua denganmu mala mini, tapi tidak berani mengatakannya padamu.”

“Benarkah? Tapi aku tidak punya baju yang pantas, Ji-Yoo~ya,” keluhku.

“Aku punya!” serunya girang sambil menunjukkan bungkusan di tangannya. Aku sama sekali tidak memperhatikannya dari tadi.

“Pasrah saja, oke?”


***

KYUHYUN’S POV

Aku menatapnya tak percaya. Bisa-bisanya Tuhan menciptakan gadis secantik ini! Begitu rupawan, mempesona, sekaligus berbahaya.

Aku masih terperangah menatapnya. Sama sekali tidak berkedip. Gaun putih itu membalut tubuhnya dengan sangat sempurna. Rambutnya entah bagaimana menjadi ikal dan tergerai indah di punggungnya. Aku benar-benar tidak bisa mendeskripsikan dengan tepat betapa cantiknya dia.

Dia tersenyum gugup menatapku. Berdiri dengan gelisah.
“Ji-Yoo bilang kau menyuruhnya menjemputku. Ada apa?” Aku mengernyit heran. Choi Ji-Yoo. Pantas saja.

“Aku tak pernah…. Kau ini bodoh sekali! Bisa-bisanya percaya padanya. Ini sudah jam 11 malam, Na~ya. Aku bukan orang gila yang menculikmu malam-malam begini!”

“Ya sudah, aku bisa pulang!” ujarnya dingin kemudian berbalik pergi. Tergesa-gesa aku mencekal tangannya.

“Kau mau pulang pakai apa?”

“Taksi,” ucapnya ketus.

“Tadi kau kesini pakai apa?”

“Taksi.”

“Masuklah. Nanti aku antar pulang.”

“Sepertinya kau tidak suka aku kesini malam ini. Kenapa kau berdiri menjauhiku seperti itu?” protesnya. Aku memang mengambil jarak sejauh mungkin darinya, pasalnya, dia benar-benar menggoda malam ini.

“Aku tahu apa isi otakmu, Na~ya.”

“Dasar curare sialan!” umpatnya, lalu melangkahiku masuk ke dalam rumah.
Dia menghempaskan tubuhnya ke atas sofa dengan tangan bersedekap di depan dada. Aku nyaris tergelak saat melihatnya masih menatapku marah dengan bibir terkatup rapat.


“Maaf,” bisikku di telinganya. Bibirku menjelajahi setiap jengkal wajahnya, kecuali bibir tentunya.
Aku mendengarnya mendesah, begitu lega menyadari bahwa dia tidak kesal lagi padaku. Aku menyurukkan wajahku ke lehernya, menghirup aromanya dalam-dalam.


“Kau harum sekali,” gumamku.


“Mood-mu cukup baik malam ini,” timpalnya.


“Cukup baik sampai aku tidak bisa kehilangan akal dan menciummmu.”


“Kau benar-benar namja paling menyebalkan sedunia!” desisnya.


“Oh, terkutuklah aku!” ratapku sambil mengecup pipinya sekilas.


“Tapi sialnya aku malah tergila-gila padamu.”


“Sudah semestinya,” kataku, tersenyum lalu menatapnya lekat-lekat.


“Kau mau melakukan apa malam ini?” tanyaku sopan.


“Kau tahu.”


“Jangan aneh-aneh. Aku kan sudah bilang akan menciummu tiga bulan lagi.”


“Tapi itu lama sekali, oppa!” protesnya.


“Sebenarnya kau ingin menyelamatkanku atau hanya ingin merasakan bagaimana rasanya berciuman denganku?” selidikku.


“Dua-duanya,” akunya jujur.


“Kau tak akan sempat merasakannya Na~ya, karena saat aku menciummu nanti, kau hanya akan merasakan sakit yang amat sangat.”


“Ya sudah, tidak masalah.”


“Kau benar-benar keras kepala!”


“Aku merasa sangat tersanjung,” ujarnya acuh.
Aku mengelus rambutnya, merasakan kelembutan helai-helainya di jariku.


“Bagaimana kalau malam ini kau bercerita tentang perasaanmu saja?” pintanya.


“Baiklah. Kau yang tanya aku yang jawab.”
Dia berpikir sesaat.


“Kau bilang ada 1% hal di atas dunia ini yang tidak bisa kau lakukan sendiri dan membutuhkan bantuanku. Apa itu?”


“Hidup,” ujarku ringan. “Aku tak bisa hidup tanpamu.”
Aku tersenyum saat melihat wajahnya memerah.


“Ngomong-ngomong, terima kasih karena kau berada di dunia ini.”
Dia mengernyitkan keningnya heran. Tidak mengerti dengan maksud ucapanku.


“Karena kau berada di dunia ini, aku jadi bisa melihatmu, mengenalmu, menyentuhmu, sekaligus mencintaimu. Aku memang sedikit egois. Tidak seharusnya aku mendekatimu. Aku adalah orang yang akan merenggut nyawamu. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak mungkin tidak jatuh cinta padamu. Apapun caranya, semua yang ada di dirimu tidak mungkin gagal membuatku jatuh cinta. Jadi aku menyerah.”


“Tapi paling tidak seharusnya aku bisa mencegahmu jatuh cinta padaku. Sampai aku bertemu denganmu, aku tahu harusnya aku menahan diri, dan percayalah aku mencoba, tapi tetap saja tidak bisa,” keluhku.
Dia melongo menatapku, membuatku sedikit tak enak hati.


“Selama aku bicara, tolong berusahalah agar tetap bernafas. Aku tidak mau kau mati tiba-tiba,” pintaku.
Dia terkesiap dan mengangguk malu.


“Pertanyaan berikutnya?”


“Seberapa besar kau… mencintaiku?” tanyanya ragu.


“Ng… bisa dianalogikan begini, cintaku sudah terlalu besar sehingga sudah tidak mungkin lagi bagiku untuk semakin mencintaimu, karena semua cinta yang aku punya sudah kuhabiskan untukmu. Aku mencintaimu setiap detik, sampai-sampai aku tidak bisa apa-apa tanpamu. Aku bersedia merelakan semua hari dalam hidupku untukmu…. Sekarang, apa kau sudah cukup mengerti seberapa berharganya kehadiranmu dalam hidupku?”
Dia menarik nafas dengan susah payah.


“Oppa, kau bisa membuatku gila!” protesnya.


“Maaf.”
Dia mengangguk pelan.


“Kenapa kau lebih memilih aku, si itik buruk rupa, daripada Eun-Ji, yang bidadari sekalipun mungkin akan merasa maalu jika berada di dekatnya?”


“Babo! Bukankah aku sudah bilang kalau aku hanya bisa melihatmu saja? Apa lagi yang harus kujelaskan?”


“Kau memang sudah buta, oppa!” ejeknya, tapi senyum bahagia tersungging di bibirnya.


“Nanti kalau kau jadi manusia, kau….”
Kau tahu tidak? Dengan membuatku membayangkan bagaimana hidupku kalau tidak ada kau di dalamnya saja kau sudah membuatku menderita, Na~ya.”
Tiba-tiba saja dia menyentuh wajahku dengan tangannya yang lembut, membuatku terkesiap.


“Kau sudah terlalu banyak bicara, oppa. satu kata lagi aku benar-benar bisa kehilangan akal sehat.”


“Kau boleh bicara kalau kau mau.”
Dia tersnyum, membuat mataku terkesima.


“Hanya mau bilang terima kasih. Mungkin kedengarannya seperti basa-basi, betapa bersyukurnya kau di sisiku. Membuatku sadar, kalau sampai aku kehilanganmu, aku mungkin tak punya kekuatan untuk bernafas lagi.”

***



HYE-NA’S POV

Aku melirik jamku sekilas. Waktunya sudah tiba. Walau masih sedikit pusing karena kata-kata Kyuhyun tadi, aku berusaha fokus untuk mulai merayunya. Jam 12 lewat 1 menit sekarang.
Sedikit rikuh, aku mendorong tubuhnya sampai berbaring di atas sofa. Bersikeras, walaupun tangannya mencengkeram bahuku.


“Apa-apaan kau?” seruku marah.
Aku hanya diam. Menelusupkan tanganku ke dalam rambutnya, lalu berbaring di atas tubuhnya, mengenyampingkan rasa Maluku.


“Jangan macam-macam, Na~ya,” ujarnya gelagapan.
Dan sedetik kemudian tiba-tiba saja posisi kami berubah. Dia yang menindihku sekarang, membuatku berkonsentrasi untuk mengingat bagaimana caranya bernafas dengan tepat.


“Kau benar-benar berbahaya malam ini.” Dia menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan keberanianku.


Mencoba peruntungan terakhir, aku menarik tubuhnya merapat ke arahku. Sesaat dia seakan terbawa suasana. Hatikun sudah tertawa senang saat dia mendekatkan wajahnya dan memiringkan kepalanya perlahan, tapi ternyata dia hanya mengecup sudut bibirku. Curare brengsek!


“Sudah waktunya pulang, Na~ya,” ujarnya sambil nyengir jahil.


“Bagaimana kalau aku tidak mau pulang?” ancamku.


“Bisa-bisa aku menidurimu tanpa menyentuh bibirmu sedikitpun tentunya,” katanya dengan tampang serius.


“Brengsek kau!” teriakku kesal.

***



KYUHYUN’S POV

Aku menghentikan mobil Ferrari-ku di depan rumahnya. Tertawa geli saat melihatnya masih memasang tampang kesal.


Aku mencondongkan tubuhku ke arahnya, bermaksud mengecup pipinya, tapi tiba-tiba saja dia memalingkan wajahnya, sehingga kalau aku tidak tersadar di detik-detik terakhir, aku sudah mencium bibirnya sekarang.


“Benar-benar terobsesi jadi curare kau rupanya!” geramku.


“Benar sekali!” ujarnya ketus lalu membuka pintu mobil dan tanpa berpaling ke arahku lagi, dia masuk ke dalam rumah sambil membanting pintunya sekuat tenaga.

***



Keesokan harinya aku memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Aku tak tahu lagi apa yang bisa dilakukan gadisku itu nanti. Kalau dia mau, sepertinya dia bisa saja memaksaku. Dia sama sekali tidak bisa mengerti bahwa nyawanya adalah segala-galanya bagiku.


Aku duduk di depan TV tanpa minat. Berkali-kali mengucek-ngucek mataku yang terus-terusan mengira bahwa artis di TV itu adalah Na~ya. Baru sekali ini aku merasakan sulitnya berkonsentrasi tanpa dia, ternyata rasanya benar-benar mengerikan.


“Kenapa kau tidak masuk sekolah?” tuntut Ji-Yoo yang tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapanku.


“Ini tanggal 15, Ji-Yoo~ya! Dan apa maksudmu menyuruh Na~ya kesini tadi malam? Dia hampir saja berhasil merayuku tahu!” seruku marah.


“Apa salahnya sih kau menciumnya? Kau pikir aku tidak tahu bahwa kau benar-benar ingin melakukan hal itu?”
Aku menatapnya kesal.


“Maksudku bukan dalam konteks mengubahnya menjadi monster tentu saja. Ng… antara pria dan wanita mungkin,” ralatnya.


“Aku laki-laki, dan kalau disodori terus-menerus seperti itu aku juga bisa hilang kendali tahu!”


“Dia benar-benar ingin menyelamatkanmu, Kyuhyun~a.”


“Aku tidak perlu bantuannya!”


“Terserah kau sajalah! Oh iya, Eun-Ji jadi murid baru di kelas kita. Tahukah kau?”

***



HYE-NA’S POV

Aku menatap gadis itu ngeri. Bagaimana mungkin dia bisa menjadi murid baru di kelasku?! Dan kenapa dia berani menduduki kursi kosong Kyuhyun!


“Kau tidak keberatan kan aku duduk disini? Kalau Kyuhyun datang aku bisa pindah,” ujarnya enteng dan jelas seklai dia tidak mengharapkan izin dariku.
Aku menoleh pada Ji-Yoo, meminta bantuan. Tapi dia sama saja sepertiku, tak bisa berbuat apa-apa.


“Kau sudah tahu namaku, kan? Shin Eun-Ji. Panggil aku Eun-Ji.”
Aku hanya diam, tak tahu bagaimana rupaku saat ini. Dia benar-benar cantik dan duduk di sampingnya adalah suatu malapetaka besar.


“Tahukah kau tujuanku bertindak sejauh ini?” tanyanya tiba-tiba.
Lagi-lagi aku diam, takut mendengar kelanjutan ucapannya.


“Untuk memisahkanmu dengan Kyuhyun oppa tentu saja. Sekeji apapun caranya.”

***



Aku memutuskan ke rumah Kyuhyun sepulang sekolah. Tak peduli bagaimanapun dia menghindariku nanti, aku harus bicara dengannya. Toh dia tetap tidak bisa menghindariku terus-terusan seperti ini.
Aku menyetop bus yang lewat di hadapanku, berdesak-desakan dengan penumpang lain. Untung saja masih ada kursi kosong yang baru ditinggal penumpang sebelumnya. Aku mengambil tempat ddi dekat jendela, membiarkan pikiranku melayang kemana-mana.


“Annyeong!”


Aku menoleh menatap penumpang di sampingku. Anak SMA juga dan sepertinya satu sekolah denganku karena kami memakai seragam yang sama. Mungkin saja aku pernah melihatnya, tapi seperti biasa, aku tidak pernah benar-benar memperhatikan apapun sebelumnya.


“Kau Hye-Na, kan?” tanyanya sok kenal.


“Kau tahu namaku darimana?”


“Siapa sih yang tidak mengenalmu? Pacar namja paling tampan seantero jagad raya.” Dia menekankan kata-kata jagad raya yang diucapkannya.
Aku tersenyum sinis lalu membuang muka.


“Aku Lee Hyuk-Jae. Panggil saja Eunhyuk,” ucapnya memperkenalkan diri.
Kalau namanya sih aku kenal! Nama aneh begitu! Lagipula sebelum Kyuhyun datang, namja inilah yang menjadi idola para gadis satu sekolahan. Tampanlah, pintar nge-dancelah. Kalau dilihat-lihat aku tidak tahu darimana kata tampan itu berasal. Tampangnya biasa saja menurutku. Mungkin karena aku terlalu terpukau dengan ketampanan Kyuhyun, jadi tak tahu lagi arti kata tampan yang normal itu seperti apa.


“Kyuhyun kemana? Dari tadi tidak kelihatan. Aneh sekali tidak melihat kalian bersama kemana-mana.


“Bukan urusanmu!” ucapku ketus sambil berdiri dan melangkah turun dari bis karena aku sudah sampai di kompleks perumahan tempat Kyuhyun tinggal.
Dan tiba-tiba saja perasaan tak enak itu menyergapku….


***



KYUHYUN’S POV

“Hai.”
Suara lembut itu membuatku kaget. Aku berbalik dan mendapati Eun-Ji sudah berdiri di hadapanku.


“Bagaimana bisa kau ada disini?” tanyaku marah.


“Gampang saja bagiku,” ujarnya enteng, dan tanpa meminta izin terlebih dahulu, dia duduk di atas sofa.


“Kau tidak punya hak berada disini,” sergahku.


“Aku hanya ingin berbisnis denganmu. Tentang hidup Hye-Na.”
Dia tahu 100% bahwa ucapannya itu dengan sukses membuatku tertarik.


“Jelaskan,” pintaku mengalah.


“Kalau aku tidak salah menduga, kau pastinya tidak ingin Hye-Na mati. Benar tidak?”
Aku hanya diam dan sepertinya dia menganggap itu sebagai tanda setuju.


“Kalau seperti ini terus, lama kelamaan pada akhirnya kau harus menciumnya walaupun dengan sangat terpaksa. Dan kau merubahnya menjadi monster mengerikan. Kalau kau tidak mau itu terjadi, aku punya rencana.”


“Apa?”


“Tinggalkan dia. Buat seolah-olah kau menganggapnya sama sekali tidak pantas untukmu. Seakan-akan kau mencintai orang lain, yaitu aku. Dia akan sangat membencimu tentu saja. Bagaimana?”


“Membenciku?”


“Itu lebih baik. Kalau dia membencimu, dia akan mencampakkanmu, dan hal ini tidak akan menjadi terlalu berat baginya. Dan… kematianmu, aku berjanji aku yang akan memakan organ tubuhmu.”
Aku menimbang-nimbang perkataannya. Ide yang sangat bagus menurutku, walaupun berasal dari orang yang sangat aku benci.


“Baiklah,” gumamku.
Aku melihatnya tersenyum senang. Seringai licik melintas di wajahnya.


“Kalau begitu kita harus mulai bersandiwara dari sekarang,” ujarnya sambil berjalan mendekatiku.


“Jangan pernah mengambil kesempatan untuk menyentuhku! Aku sama sekali tidak keberatan untuk membunuhmu!”


“Baiklah, baiklah!”
Aku mengambil nafas berat. Keputusan ini benar-benar akan membuatnya hancur.


“Dia bisa terluka,” bisikku.


“Aka nada penggantimu, oppa. tidak sengaja aku mengetahui rahasia besar seseorang. Dia ternyata sangat menyukai Hye-Na tapi tidak punya keberanian untuk mendekatinya.”


“Bagaimana bisa?” selidikku.


“Kau tahu kemampuanku untuk membuat seseorang bicara terbuka padaku. Aku melihatnya menulis nama Hye-Na berkali-kali di atas kertas, jadi aku memutuskan untuk menginterogasinya.”


“Siapa?”


“Hyuk-Jae. Lee Hyuk-Jae. Namja tertampan di sekolah sebelum kau datang.”


“Oh, dia. Aku sudah tahu. Dia sering menatap Na~ya dari jauh. Gadisku,” geramku.


“Kyuhyun oppa,” bisik Eun-Ji yang tiba-tiba saja sudah berdiri sangat dekat denganku. “Kalau mau usaha kita sukses, harus berlatih dari sekarang,” ujarnya sambil menyentuh lembut wajahku.
Aku sedang menekan keinginan untuk melemparnya ke seberang ruangan saat aku mendengar suara lirih yang menyayat hati itu. Na~ya….


HYE-NA’S POV

            Perasaan tak enak itu semakin melandaku saat kakiku melangkah makin dekat ke rumah Kyuhyun. Ada apa ini? Apa sesuatu terjadi padanya?
            Aku meraih pegangan pintu, bermaksud mengetuk sebelumnya, tapi ternyata pintunya tak terkunci. Aku melangkah masuk dan di detik itulah aku melihat sesuatu…. Hal yang tak pernah kusangka akan dilakukannya….
            “Oppa…” ucapku dengan suara tercekat.
            Walaupun mataku sudah kabur oleh air mata, sedetik aku masih melihat tubuh Eun-Ji yang terbang membentur dinding dan tatapan Kyuhyun yang terluka menatapku. Aku berbalik dan berlari pergi.
            Satu hal yang meluluhlantakkan hatiku saat itu, dia sama sekali tak berusaha untuk mengejarku….
***


KYUHYUN’S POV

            Suara itu begitu lirih tentu saja, tapi aku masih bisa bisa mendengarnya. Pernahkah kau merasakan sakitnya berada di jurang kematian? Demi melihat air matanya, sakitnya bahkan seribu kali lebih dari itu!
            Tanpa sadar aku mendorong tubuh Eun-Ji sampai terbanting ke sudut ruangan. Suaranya begitu memekakkan telinga, tapi aku sama sekali tidak mengacuhkannya. Perasaan gadisku lebih penting daripada hidup semua orang sekalipun.
            Aku berniat mengejarnya saat Eun-Ji mencegahku.
            “Perpisahan tiba-tiba jauh lebih baik, oppa. Menyakitkan memang, tapi lebih cepat sembuh. Jangan buat dia tambah sulit melepaskanmu.”
***


HYE-NA’S POV

            Aku berjanji akan memaafkannya kalau dia muncul di hadapanku. Aku tak akan bertanya tentang hal itu. Aku akan pura-pura tidak tahu. Aku akan menerimanya dengan tangan terbuka, karena melepaskannya ternyata lebih menyakitkan daripada kematian.
            Aku benar-benar hancur tak berbentuk. Tak punya kehidupan. Aku bukannya tak bisa hidup tanpa dia, tapi aku tak mau hidup tanpa dia.
            Sialnya, dia tak berpikiran sama denganku. Mungkin dia sadar bahwa aku sama sekali tidak pantas untuknya. Bahkan Ji-Yoo sekalipun juga tidak muncul.
            Aku terisak dalam kegelapan. Sakitnya melebihi rasa sakit saat ibu meninggalkanku. Aku tak pernah sehancur ini sebelumnya. Dan yang lebih menyakitkan hatiku adalah, aku sama sekali tidak bisa membencinya sedikitpun….
***


KYUHYUN’S POV

            Satu minggu itu begitu lama dan aku hampir mati karena tak bisa melihatnya. Dia tidak ada dimana-mana. Tidak ada keterangan izin, sakit, atau apapun. Sudah beribu-ribu kali aku menahan keinginan untuk tidak muncul di rumahnya. Meneriaki Ji-Yoo agar berhenti menasihatiku.
            “Cukup, Ji-Yoo~ya! Aku kan sudah bilang ini demi kebaikannya!” dampratku untuk ketujuh kalinya dalam jangka waktu 3 jam.
            “Kebaikan?!” jerit Ji-Yoo. “Kau bisa membunuhnya, Kyuhyun~a! Kita tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Kau benar-benar sudah tidak waras dengan mengikuti perkataan perempuan sialan itu!”
            “Lebih baik begini! Aku tidak ingin dia jadi monster! Toh sebentar lagi dia akan berhasil melupakanku.”
            “Melupakanmu?! Setelah kau merecoki hidupnya seperti itu kau pikir dia bisa melupakanmu?! Sampai mati pun tidak kurasa!”
            “Lalu kau mau apa?” teriakku habis kesabaran.
            “Setidaknya biarkan aku melihat keadaannya!”
            “Jangan pernah lakukan itu!” ancamku.


***


            Aku melihatnya. Bukannya lega aku malah tambah terpuruk. Dia benar-benar tampak berantakan. Wajahnya pucat seperti hantu. Rambutnya awut-awutan. Tubuhnya begitu ringkih dan lemah. Bahkan aku tidak yakin dia bisa selamat sampai di kelas dengan keadaan seperti itu. Dan benar saja, dia terkulai pingsan beberapa detik kemudian. Tapi bukan aku yang menangkap tubuhnya, bukan aku yang berada di sampingnya. Bukan aku….
***


HYE-NA’S POV

            Aku berhenti mengonsumsi segala jenis makanan sejak saat itu. Tak memedulikan tubuhku yang begitu lemah, bahkan untuk berjalan sekalipun aku sudah tidak punya tenaga.
            Aku begitu bersyukur ayahku sedang berada di luar negeri sekarang, sehingga dia tidak perlu ikut hancur melihat keadaanku yang seperti ini. Dulu aku sudah hancur, meskipun hanya sekedar retak. Tapi sekarang aku benar-benar pecah berkeping-keping, tak bisa disatukan lagi. Ada rongga besar di hatiku, menganga lebar dan kemungkinan besar tak bisa ditambal.


***


            Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke sekolah. Sudah cukup penderitaanku, sehingga tak perlu lagi ditambah dengan hukuman baru dari sekolah.
            Setengah berharap, aku ingin melihatnya duduk di sampingku. Tapi belum sampai di kelas saja aku sudah kehilangan kesadaran. Saat terbangun lagi, aku melihat Eunhyuk duduk menungguiku.
            “Kau sudah sadar!” serunya senang. “Pasti kau sudah berhari-hari tidak makan. Kau parah sekali Hye-Na~ya!”
            Aku memalingkan wajah. Aku sedang tidak ingin direcoki siapapun sekarang.
            “Kenapa tadi Kyuhyun diam saja saat kau pingsan? Menengok pun tidak. Malah sibuk dengan si Eun-Ji itu,” cerocosnya, sama sekali tidak memikirkan perasaanku.
            “Bisakah kau keluar dari ruangan ini sekarang dan berhenti bicara? Aku muak melihatmu!” ujarku ketus.
            “Setidaknya kau harus makan,” katanya sambil menunjuk bubur di atas meja.
            Kesal, aku bangkit dari tempat tidur dan berlalu pergi dari ruangan itu tanpa menghiraukan panggilannya.
            Aku masuk ke kelas, mencelos saat mendapati Chae-Rin sudah kembali duduk di sampingku, sedangkan Kyuhyun duduk di samping Eun-Ji di kursi paling belakang. Ji-Yoo sendiri tak tampak batang hidungnya.
            Aku menghempaskan tubuh lemahku ke atas kursi, sama sekali tak tertarik melihat guru Kimia-ku yang mengajar penuh semangat.
            Mati kau Eun-Ji! Kutukku dalam hati.


***


KYUHYUN’S POV

            Dia pasti sangat terluka dengan keadaan ini. Seandainya saja dia tahu alasanku menjauhinya. Dia ringkih sekali sekarang. Tak punya kekuatan untuk melakukan apapun. Untuk pertama kalinya dia tidak memperhatikan guru saat menerangkan pelajaran. Kepalanya hanya tergolek lemah di atas meja. Memegang pena saja tidak bisa. Berkali-kali aku melihat penanya terjatuh ke bawah meja. Untung saja Chae-Rin menolongnya. Menatapnya dengan prihatin.
            “Sudahlah, oppa! Kalau kau memperhatikannya terus-terusan hanya akan membuatmu semakin terluka,” sergah Eun-Ji.
            Benarkah begitu? Dia bahkan hampir mati gara-gara perbuatanku.


***


Aku sedang berjalan menuju lapangan parkir saat Eunhyuk tiba-tiba saja mencegat langkahku.
            “Langsung saja, aku ingin merebut Hye-Na darimu,” ujarnya tanpa basa-basi.
            “Aku sangsi akan hal itu. Tak tahukah kau? Dia bahkan sudah tak punya hati lagi untuk kau tempati.”


***


HYE-NA’S POV

            Sudah satu bulan dan aku masih terheran-heran kenapa aku belum gila juga. Ayahku bahkan sudah memanggilkan psikiater. Tapi apa gunanya? Yang aku butuhkan Kyuhyun, bukan dokter.
            Tubuhku menyusut dengan cepat. Aku makan hanya untuk bertahan hidup. Bertahan hidup agar bisa melihatnya setiap hari di sekolah. Dan sekarang, akhir minggu menjadi hari terburuk dalam hidupku, karena pada hari itu aku tidak bisa melihatnya. Dan itu berarti tidak ada kehidupan.
            Aku mulai bisa mengerti kenapa para pecandu tidak bisa berhenti mengonsumsi narkoba. Karena kalau barang itu tidak ada, mereka seperti kehilangan pegangan. Sama sepertiku. Aku mulai candu akan kehadirannya. Asalkan aku tahu bahwa dia ada, itu saja sudah cukup. Walaupun tak kupingkiri, bahwa sebagai makhluk yang egois, aku juga membutuhkan cintanya.


***


            15 Mei. Aku pikir hari inilah saatnya aku kehilangan kewarasanku dan membuang harga diriku jauh-jauh. Hari ini Minggu dan dengan nekatnya aku menyetir mobilku ke rumahnya. Jangan bilang kau jatuh cinta kalau kau belum gila seperti aku. Tidak, kupikir tak aka nada wanita lain yang akan mendapatkan pria sesempurna itu. Huh, aku bahkan tidak peduli apakah dia masih mencintaiku atau tidak.
            Aku mengehentikan mobilku di depan pintu masuk rumahnya. Tak peduli malu saat mengetuk pintu rumahnya. Dia membuka pintu saat aku mengetuk untuk yang kedua kali. Aku senang saat dia menatapku kaget, yang sedetik kemudian berubah menjadi tatapan prihatin. Benarkah caraku menginterpretasikan tatapannya itu?
            “Hai, bolehkah aku masuk?” tanyaku gugup.
            Dia mengangguk. Masih terkesima menghadapi kedatanganku. Tak ada Eun-Ji, patut disyukuri.
            Aku duduk di atas sofa, berusaha mengumpulkan keberanianku, sebelum dia menanyakan alasan kenekatanku datang kemari.
            “Hari ini tanggal 15. Aku ingin kau menciumku sekarang. Jadi monster atau manusia tak ada bedanya bagiku. Hatiku tetap saja sudah mati.


***


KYUHYUN’S POV

            Aku sudah cukup kaget dengan kedatangannya hari ini, ditambah lagi dengan kata-kata sialan itu. Untung saja aku tidak punya jantung, karena kalau aku punya, aku pasti sudah terkena stroke sekarang.
            “Kau sudah tidak mencintaiku lagi, kan? Aku bahkan sangsi kau pernah mencintaiku. Jadi tak ada ruginya untukmu. Kau jadi manusia, sedangkan aku hanya berubah bentuk untuk beberapa saat,” ujarnya enteng.
            Aku berdiri marah sambil menunjuk ke arah pintu.
            “Pintu rumahku masih terbuka lebar, Na~ya. Kau bisa pergi sekarang,” desisku.
            Dan tanpa berkata apa-apa lagi dia berlari keluar dengan tatapan terluka.
            Aku sudah menyakiti hatinya. Lagi.


***


HYE-NA’S POV

            Penolakan.
            Dasar curare brengsek! Aku membuang harga diriku bukan untuk ditolak seperti itu! Memalukan!
            Aku memacu mobilku sekencang mungkin. Berkali-kali melanggar lampu merah. Sama sekali tidak memedulikan bunyi klakson yang memprotes tingkah ugal-ugalanku. Kalau dia tidak mau menciumku, tanggung saja akibatnya! Dia akan mati. dan kalau dia mati, sudah kuputuskan untuk menyusulnya secepat mungkin. Dengan cara keji sekalipun!


***


KYUHYUN’S POV

            “KAU APAKAN DIA?!” teriak Ji-Yoo murka.
            “Siapa?” tanyaku bingung.
            “HYE-NA! KAU TAHU TIDAK, DIA MENCOBA BUNUH DIRI DENGAN CARA MELEMPAR MOBILNYA KE JURANG! KAU ITU BENAR-BENAR KETERLALUAN, CHO KYUHYUN!”
            “A… apa?”
            “Sekarang dia di rumah sakit. Koma. Untung saja tadi aku melihat mobilnya ngebut di jalanan. Aku sudah mencegahnya, tapi dia bersikeras. Kau tahu aku tidak bisa membawanya menghilang ke tempat lain. Dan apa kau cukup pintar untuk mengetahui motifnya melakukan itu?” Tanya Ji-Yoo tajam.
            Aku menggeleng. Syok.
            “Karena kau akan mati kalau kau tidak menciumnya. Dan kalau kau mati, menurutnya sudah tak ada gunanya juga dia hidup. Kau tahu, Kyuhyun~a? Kalau dia benar-benar melakukan itu, bukankah jauh lebih baik kalau kau menjadikannya curare? Setidaknya dia masih tetap bisa hidup dank au juga hidup. Tidak akan menutup kemungkinan kalau kalian bisa bertemu lagi walaupun kalian berdua sudah meluapakan segalanya. Bisa jadi kan kalau kalian berdua itu memang ada dalam takdir kehidupan?”


***


            Aku menatapnya dengan hati tersiksa. Berbagai macam selang menancap di tubuhnya. Kepala dan tangannya diperban. Bahkan kakinya di-gips.
            Gara-gara aku. Dia hampir bunuh diri gara-gara aku. Apa aku masih pantas berada di sisinya?
            Dengan egois aku mengusap rambutnya pelan. Egois, karena aku sama sekali tidak berhak menyentuh gadis ini. Memangnya aku siapa sampai dia menganggap hidupnya tidak berguna tanpa aku?
            Aku mendekatkan wajahku ke arahnya, berbisik pelan di telinganya.
            “Bertahanlah… aku mencintaimu….”


***


HYE-NA’S POV

            Aku merasakan sakit menjalar di sekujur tubuhku. Aku tahu aku belum mati. kalau aku sudah mati, aku pasti tidak akan merasakan apa-apa lagi sekarang.
            Kemudian aku mendengarnya. Suara itu….
            “Bertahanlah… aku mencintaimu….”
            Walau begitu jauh, aku tahu itu dia. Aku harus bangun. Tapi mataku tidak bisa dibuka. Semuanya terasa begitu berat. Aku tersadar bahwa tiba-tiba aura nyaman itu hilang saat pintu kamar rawatku dibuka. Dan lagi-lagi aku merasakan kekecewaan itu melandaku.
            Aku berusaha membuka mataku. Seketika saja cahaya silau itu menyergap masuk, membuatku harus mengerjap-ngerjapkan mata untuk menyesuaikan diri.
            “Hye-Na~ya, kau sudah bangun?”
            Aku menatap Eunhyuk kesal. Sedang apa dia disini? Gara-gara dia, kesempatanku untuk bertemu Kyuhyun hilang. Sial!
            “Kyuhyun oppa mana?” tanyaku dengan suara seraak.
            “Kyuhyun?” tanyanya bingung.
            “Tadi dia ada disini. Aku sadar gara-gara mendengar suaranya!” ujarku keras kepala.
            “Tapi aku tidak melihat siapa-siapa tadi.”
            Ah, tentu saja… kekuatannya itu.
            “Sedang apa kau disini?” tanyaku ketus, mengernyit sakit saat merasakan nyeri di kepalaku.
            “Aku sedang mengantar ibuku check-up rutin saat melihatmu digotong masuk dengan tubuh bersimbah darah. Tenang saja, aku sudah menghubungi ayahmu tadi. Dia akan pulang besok. Katanya tidak ada penerbangan ke Indonesia mala mini.”
            “Oh, kebetulan sekali!” ujarku sinis. “Kau pergi saja! Aku tidak mau berhutang budi padamu!” usirku.
            “Kau tidak bisa bicara baik-baik ya padaku?”
            “Tidak.”
            Nekat, dia duduk di atas kursi di samping tempat tidurku dan dengan seenak jidatnya menggenggam tanganku.
            “Apa-apaan kau?!” hardikku sambil berusaha menarik lepas tanganku dari genggamannya. Tapi aku malah merasakan sakit yang sangat, jadi aku biarkan saja.
            “Aku tahu saatnya tidak tepat, dan juga sudah sangat terlambat, tapi dia sudah meninggalkanmu, Hye-Na~ya. Sudah saatnya kau membuka hati untuk orang lain.”
            “Membuka apa?” sergahku tak percaya.
            “Hatimu, Hye-Na~ya. Aku tidak keberatan walau kau hanya mau memberikan seperseribu dari hatimu padaku.”
            Aku menatapnya iba. Aku tahu dia pria baik dan akan sangat keterlaluan kalau aku melukai hatinya.
            “Tapi aku sudah tidak punya hati lagi. Dia sudah mencuri semuanya. Setiap detik dalam hidupku.”


***


            Satu minggu adalah waktu yang aku butuhkan untuk memulihkan keadaanku. Satu minggu itu pula Eunhyuk selalu ada di sampingku. Aku sudah menolak segala bentuk perhatiannya itu, tapi dia tetap saja memaksa. Walaupun aku tidak mau jadi pacarnya, jadi temannya juga tidak masalah, ujarnya waktu itu.
            Mengenyampingkan segala hal itu, ujian akhir sudah begitu dekat. Tinggal dua minggu lagi dan aku sudah ketinggalan begitu banyak pelajaran sekarang. Untung saja Eunhyuk meminjamkan semua catatannya padaku meskipun kami berbeda kelas, membuatku untuk pertama kalinya merasa amat sangat bersyukur dengan kehadirannya.
            Terkadang aku sering bertanya-tanya dalam hati. Seberapa hebatnya aku sampai bisa dijatuhi cinta namja ini?


***


KYUHYUN’S POV

            Apakah aku salah lihat? Sepertinya tidak. Tapi aku sedang melihat Na~ya tertawa-tawa saat sedang makan di kantin. Dan sialnya, dia sedang bersama Eunhyuk.
            Aku bisa merasakan darahku menggelegak seperti air mendidih. Siap meledak setiap saat. Apa dia melakukannya? Apa dia sudah membuka hatinya lagi untuk pria lain? Ini semua benar-benar gila! Dan egois ataupun tidak, aku rasa ini semua sudah cukup!


***


            Gila!!! Kalau dulu aku belum gila, sekarang sepertinya sudah. Berani-beraninya aku muncul di kamar gadis itu saat tengah malam! Kemana perginya pertahanan diriku yang sekokoh baja itu? Hanya karena cemburu saja aku sudah melakukan hal konyol ini!
            Aku menatap tubuh mungilnya yang sedang meringkuk di bawah selimut. Tidurnya kelihatan nyenyak sekali. Aku tersadar sekarang bahwa aku begitu merindukannya. Suaranya, senyumnya, detak jantungnya, semuanya…. Aku benar-bena rmerindukannya.
            Tiba-tiba saja dia bergerak gelisah dalam tidurnya.
            “Oppa…” ujarnya begitu lirih sehingga aku berpikir aku salah dengar.
            Seketika tubuhku menegang kaku. Takut dia menyadari kehadiranku. Tapi dia bergerak lagi, dan perasaan senang menyelusup ke hatiku.
            Dia masih mencintaiku….


***


HYE-NA’S POV

            Aku bergerak-gerak gelisah dalam tidurku. Tiba-tiba saja aku merasakan aura yang begitu nyaman di sekelilingku, dan hal itu sama sekali tidak lazim.
            Aku membuka mataku, menyesuaikan diri dengan kegelapan. Dan saat itulah aku melihat siluetnya. Namja yang selalu saja membuatku kehilangan akal sehat.
            Tapi seketika itu juga aku merasakan tubuhnya menegang kaku.
            “Tolong jangan pergi. Aku mohon!” pintaku lirih, dan dia menuruti permintaanku. Berdiri diam tak bergerak, bersandar ke dinding, seakan enggan mendekatiku.
            Aku bangkit dari ranjang, mendekatinya dengan rikuh lalu tanpa basa-basi langsung memeluknya erat. Aku bisa merasakan tubuhnya mengejang dan saat itulah aku tersadar, hatinya tidak lagi untukku. Sudahlah, aku tidak akan memaksanya.
            “Tolong, sebentar saja,” ujarku pelan sambil membenamkan wajahku ke dadanya, menghirup aroma maskulin itu dalam-dalam. Rasanya begitu menenangkan. Setidaknya untuk sesaat ini saja, aku bisa merasakan memilikinya lagi. Tapi ucapannya setelah itu benar-benar mengejutkanku.
            “Hmmmh… nyaman sekali memelukmu seperti ini. Seolah-olah aku bisa merelakan apapun untuk tetap melakukannya,” ujarnya ringan sambil mempererat pelukannya, lalu mengusap rambutku perlahan.
            “M… mwo?” ucapku tak percaya, berusaha melepaskan diri dari pelukannya untuk menatap wajahnya, memastikan bahwa dia tak bercanda. Tapi dia tidak membiarkanku begitu saja.
            “Kau masih mencintaiku, Na~ya?” bisiknya pelan.
            Aku bisa merasakan wajahnya di leherku, menghirup nafas disana.
            “Pertanyaan bodoh apa itu?” tanyaku, limbung akan perlakuannya.
            “Jawab saja. Jebal! Apa aku sudah terlambat untuk memperbaiki semuanya? Apa kau sudah jatuh cinta pada namja lain?” tuntutnya, dan kali ini dia melepaskan pelukannya. Aku bisa merasakan tangannya yang hangat memegangi wajahku, matanya menelusuri mataku, mencari jawaban.
            “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Apa kau masih mencintaaiku? Atau kau ternyata sadar bahwa kau mencintai Eun-Ji? Apa kau sudah sadar bahwa aku tidak pantas untukmu, oppa?” serangku bertubi-tubi.
            “Jangan bodoh, Na~ya! Bukan kau yang tidak pantas untukku, tapi aku yang tidak pantas bersanding denganmu. Aku sama sekali tidak berhak menemuimu setelah apa yang sudah aku lakukan padamu waktu itu. Bahkan dengan tololnya kau malah berniat bunuh diri untukku!” sergahnya marah.
            “Tapi Eun-Ji….”
            “Aku tidak mau kau menjadi seperti aku. Aku pikir kau akan membenciku kalau aku meninggalkanmu untuk yeoja lain. Hanya itu satu-satunya cara. Tapi aku hampir sekarat karena melakukannya. Kau hampir mati. menjadikanmu curare bahkan tidak sebanding dengan semua itu.”
            “Kau berubah pikiran?”
            “Mungkin. Tapi waktunya tetap seperti yang sudah ditetapkan, Na~ya,” ujarnya memperingatkan.
            “Jadi, apa kau masih mencintaiku?” tanyanya lagi.
            “Tentu saja. Bodoh sekali kau menanyakannya, oppa!”
            “Eunhyuk?”
            “Dia… sahabatku, oppa.”
            “Sahabat? Kau tak pernah punya sahabat, Na~ya. Aku tidak suka penggunaan kata sahabat yang kau ucapkan itu. Rasanya hubungan kalian dekat sekali.”
            “Kau cemburu?” harapku.
            “Tentu saja. Kau pikir kenapa aku bisa ada disini malam ini?”
            “Apa maksudmu?”
            “Tadi siang aku melihatmu tertawa-tawa bersamanya. Kalian lebih dekat daripada yang aku kira.”
            “Baguslah. Kau jadi menemuiku karena itu. Aku harus berterima kasih padanya nanti.”
            Aku melepaskan diri dari Kyuhyun lalu duduk di atas tempat tidur. Lama-lama di dekatnya aku bisa melakukan yang tidak-tidak.
            “Jadi, namja sepertimu bisa cemburu juga? Memangnya apa yang kau cemburui? Tidak ada saingan, oppa.”
            “Aku akan mencemburui apapun yang pernah dan akan mendapat perhatian lebih darimu, Na~ya. Karena itu berarti kau menunjukkan ketertarikan pada hal lain, mengurangi ketertarikanmu padaku.”
            “Mana mungkin!” sanggahku, menatapnya tak percaya. Memangnya di atas dunia ini ada hal yang lebih menarik daripada dia?
            Aku menarik nafas pelan. Ada yang ingin kutanyakan padanya.
            “Waktu itu apa kau ke rumah sakit? Atau aku hanya berkhayal waktu mendengarmu berkata agar aku terus bertahan? Bahwa kau mencintaiku? Apa itu kau?”
            “Aku mencintaimu. Apakah masih ada keraguan akan hal itu?”
            “Kenapa? Tolong beri aku alasan yang masuk akal.”
            Dia tampak berfikir sesaat. Memilah-milah kata yang tepat.
            “Kalau kau berpikir bahwa aku mencintaimu karena kau adalah korban pertamaku yang berlawanan jenis dariku atau karena baumu yang sangat menyengat hidungku, itu semua salah besar, Na~ya. Sumpah, aku tidak bisa menjelaskan apa-apa padamu. Aku tidak tahu. Hanya saja….”
            Dia menggelengkan kepalanya. Kehilangan kata-kata.
            “Cobalah. Aku akan berusaha untuk mengerti,” pintaku.
            “Kau… kau mengeluarkan bola basket dari dalam tasmu waktu itu dan sekilas aku melihat wajahmu. Dan entah kenapa setelah itu… aku kehilangan akal sehat. Seluruh sistemku rasanya berantakan.”
            “Aku mencintaimu, Na~ya…. Tidak akan jatuh cinta kalau gadis itu bukan kau. Apa kau bisa mengerti?”
            Aku tersenyum dan mengangguk.
            “Ngomong-ngomong, apa Eunhyuk membuatmu tertarik?” tanyanya dengan nada biasa-biasa saja, tapi matanya berkilat waspada.
            Aku memutuskan menggodanya gara-gara tampangnya itu. Biar tahu rasa karena dia mencoba meninggalkanku.
            “Sedikit banyak ya, dia membuatku tertarik. Dia baik sekali dan selain itu dia juga bisa membuatku tertawa. Itu nilai plus baginya. Kalau kau tidak menemuiku sekarang, aku sudah memikirkan untuk menerimanya saja,” ujarku sambil memasang raut muka serius. Bersusah payah menahan geli saat melihat wajahnya yang mengeras.
            “Kalau dia mencintaimu, bukan berarti kau juga harus mencintainya. Aku mohon, jangan jatuh cinta kepada siapapun, akulah orang yang kau cintai.”
            Aku sudah tidak tahan dan sedetik kemudian tawaku sudah meledak tak terkendali.
            “Kau ini serius sekali, oppa! aku kan hanya bercanda!” ucapku geli.
            “Sialan kau!” umpatnya sambil mendorongku sampai terbaring di atas kasur lalu menindih tubuhku. Aku terkesiap, tapi sepertinya dia bisa mengendalikan dirinya dengan sangat baik.
            “Lihat, kan? Begitu mudahnya terbawa suasana saat bersamamu,” keluhnya.
            Dengan cepat dia mengecup pipiku kilat, bangkit berdiri, lalu menyunggingkan senyum jahilnya.
            “Aku harus pulang. Ayahmu tidak ada, nanti bisa-bisa aku malah melakukan hal yang tidak-tidak. Lagipula sudah lewat tengah malam, Na~ya. Besok kau harus sekolah. Dan aku pikir kau sudah bisa tidur nyenyak mala mini. Aku tahu kau benar-benar kurang istirahat akhir-akhir ini.”
            “Gara-gara kau,” sungutku.
            “Kesalahanku,” ucapnya menyetujui. “Tidak apa-apa, semuanya sudah kembali normal sekarang. Selamat malam, Na~ya,” bisiknya di telingaku. Dia mengelus pipiku dan sedetik kemudian dia menghilang.


***


KYUHYUN’S POV

            Kami berangkat sekolah bersama pagi ini. Aku menjemputnya ke rumah. Sudah lama rasanya aku tidak berjalan bersisian seperti ini dengannya. Sepanjang jalan menuju kelas aku hanya menunduk menatapnya. Memfokuskan diri untuk mengaguminya.
            Kami berdua tidak bicara apa-apa, hanya saling menatap, seolah-olah tidak ada orang lain di sekitar kami. Tapi aku rasa hal ini sangat pribadi sekali bagi orang lain, karena sekilas aku melihat beberapa gadis memalingkan wajah dengan muka memerah saat melihat kami.
            “Kyuhyun oppa!” Eun-Ji tiba-tiba saja sudah berdiri di depan kami dengan wajah murka. “Apa-apaan kau?” tuntutnya.
            Aku menatapnya aneh.
            “Memangnya kenapa? Biasanya juga seperti ini, kan? Aku berdiri di sampingnya, selalu begitu sampai kau datang dan merusak segalanya.”
            “Tapi kau bilang….”
            “Aku berubah pikiran. Kalau pada akhirnya dia akan bunuh diri gara-gara aku, jauh lebih baik kalau aku merubahnya.”
            “KAU!!!” jeritnya lalu pergi meninggalkan kami.
            “Apa dia menyusun rencana untuk membunuhku?” tanya Na~ya cemas.
            “Kalaupun iya, aku bersumpah tidak akan membiarkannya menyentuhmu sehelai rambut pun!”


***


            “Senang melihat kalian berdua kembali seperti ini!” seru Ji-Yoo girang saat kami sedang makan di kantin.
            Aku tersenyum melihatnya. Tapi senyumku langsung pudar saat Eunhyuk melangkah ke meja kami.
            “Boleh aku bergabung?” tanyanya meminta izin. Sialnya, matanya hanya menatap Na~ya saat menanyakan hal itu.
            Kalau dia bertanya pribadi padaku, aku dengan senang hati akan menolak permintaannya itu mentah-mentah.
            “Boleh. Silahkan,” ujar Na~ya ramah, lagi-lagi membuat darahku menggelegak.
            Tapi dia memberikan senyum termanisnya padaku, membuat kemarahan tadi menguap begitu saja. Lagi-lagi semudah itu.
            Lima menit kemudian bel masuk berbunyi nyaring. Aku menarik tangan Na~ya bangkit saat tiba-tiba Eunhyuk mencegahku.
            “Bisa kita bicara sebentar?”
            Aku memandangnya, menimbang-nimbang sesaat lalu mengangguk. Aku menunduk menatap Na~ya, memegangi wajahnya dengan kedua tanganku.
            “Tunggu aku di kelas,” bisikku.
            Dia mengangguk dengan wajah memerah lalu berbalik pergi bersama Ji-Yoo. Aku kemudian menoleh ke arah Eunhyuk, menatapnya penasaran.
            Namja itu menarik nafas sesaat lalu menghembuskannya.
            “Kyuhyun~a, Hye-Na adalah bunga mawar di hati kita. Tapi apakah kau tahu apa yang paling dibutuhkan bunga mawar itu? Dia butuh cahaya matahari… dan Kyuhyun~a, kaulah cahaya mataharinya.”
            “Maka dari itu, tidak ada gunanya perjuanganku untuk mendapatkannya. Sekeras apapun, pada akhirnya aku akan tetap kalah. Tapi kau harus ingat, kalau kau menyakitinya, sedikit saja, aku tidak akan segan-segan lagi untuk merebutnya dari genggamanmu!” Eunhyuk menatapku tajam. Memperingatkan.
            Aku mengangguk paham. Dia kemudian melangkah pergi, tapi terhenti lagi saat mendengar ucapanku.
            “Sayangnya Na~ya bukan hanya sekedar bunga mawar bagiku. Dia itu gerhana. Gerhana yang membutakan mata sehingga aku tidak bisa melihat hal-hal menarik lainnya di dunia. Seolah-olah hanya ada dia….”


***


HYE-NA’S POV

            1 bulan kemudian…
            Ini adalah hari yang paling aku tunggu-tunggu seumur hidupku. Ulang tahunku yang ke-17. Tidak banyak yang berbeda 1 bulan terakhir. Yang berubah hanyalah kenyataan bahwa aku sudah lulus SMA dan sekarang sudah berumur 17 tahun.
            Aku sudah mempersiapkan semuanya. Surat untuk ayahku yang mengatakan bahwa aku ingin hidup mandiri. Aku harus meninggalkan negara ini karena aku sudah melepaskan Kyuhyun dan tidak sanggup lagi dengan semua kenangan tentangnya di kota ini. Aku bilang aku sadar bahwa aku sama sekali tidak pantas bersanding dengan Kyuhyun dan bahwa Kyuhyun sudah pindah ke New York untuk melanjutkan kuliahnya. Aku harap ayahku percaya saja dengan isi surat konyolku itu.
            Aku menatap bayanganku di cermin. Mengagumi hasil riasan Ji-Yoo. Gaun biru safir ini sangat cocok untukku. Sangat cocok sehingga aku terlihat pantas disandingkan di samping Kyuhyun.
            Seseoarang memencet bel dan aku yakin bahwa itu dia. Lucu sekali, seolah-olah dia tidak punya kekuatan aneh itu saja.
            “Masuk saja, oppa!” teriakku dan sedetik kemudian dia sudah memelukku dari belakang.
            “Kau cantik sekali,” komentarnya sambil menatap bayangan kami di cermin.
            “Gomaweo. Jasmu juga keren, oppa. Aku jadi tidak rela membawamu ke epsta ulang tahunku. Bisa-bisa semua gadis itu malah mengerubungimu nanti.”
            “Cemburu, hah?” tanyanya sambil membalik tubuhku menghadapnya. Tangannya meluncur turun dan mendekap pinggangku. Membuatku tiba-tiba saja kehabisan nafas.
            “Mau melakukan hal lain?” godanya sambil mengecup sudut bibirku.
            “Aku sellau terbuka untuk ide lain,” ujarku terengah.
            “Tentu saja tidak. Apakah 4 jam itu begitu lama sampai kau tidak sabar lagi ingin dicium olehku?”
            “Malah sebaliknya. 4 jam itu begitu sebentar dan aku takut kecolongan sehingga kau melarikan diri dariku. Malam ini batas waktumu, oppa,” ucapku memperingatkan.
            “Aku tahu. Ya sudahlah, kita berangkat sekarang?” tanyanya sambil mengulurkan tangan kirinya untuk kugandeng. Aku mengangguk dan dengan senang hati menyambut uluran tangannya itu.


***


            Pesta ulang tahunku kali ini diadakan di hotel bintang lima. Aku sudah memprotes keras ide ayahku waktu itu, tapi ternyata dia sudah mempersiapkan segalanya, sehingga aku hanya bisa pasrah saja menerimanya. Dia malah mengundang anak murid satu sekolahan!
            Aku meremas tangan Kyuhyun gugup. Aku sama sekali tidak suka keramaian. Tapi aku masih meluangkan waktu untuk melemparkan tatapan sadis ke arah para gadis yang secara terang-terangan menggoda Kyuhyun. Yang membuatku bangga, Kyuhyun bahkan sama sekali tidak mengalihkan tatapannya sedetik pun dariku.
            Berlanjut pada penderitaan ini, semua orang mulai menghampiri untuk menyalamiku. Mengatakan selamat atau semacamnya, aku tidak terlalu memperhatikan. Aku jauh lebih berkonsentrasi dengan keberadaan tangan Kyuhyun di pinggangku. Benar-benar menggoda sekali.
            Tiba-tiba saja HP-ku berbunyi. Aku melepaskan diri dari Kyuhyun dengan enggan lalu memencet tombol terima.
            “Yeoboseyo, appa!”
            “Yeoboseyo! Saengil chukhahae, Hye-Na~ya! Maaf ayah tidak bisa datang.pekerjaan disini benar-benar tidak bisa ditinggalkan.”
            Aku tercekat. Air mata mulai menggenangi pelupuk mataku. Aku benar-benar sedih karena aku harus meninggalkannya.
            “Gwaenchanayo, appa.”
            “Baguslah kalau begitu. Kau senang, kan?”
            “Ne, cheongmal haengbokhaeyo.”
            “Ya sudah. Kelihatannya kau sedang sibuk mengurusi tamu undanganmu. Appa tidak mau mengganggu.”
            “Tunggu sebentar, appa!”
            Aku terdiam sesaat. Mencoba mencari kata-kata yang tepat.
            “Appa, saranghamnida… cheongmal… saranghamnida….”


***


KYUHYUN’S POV

            Aku berdiri di sampingnya. Mengusap-usap bahunya pelan, berharap bisa menenangkannya sedikit.
            “Aku tidak marah jika kau berubah pikiran. Aku tidak memaksa, Na~ya,” ucapku serius.
            “Aku tahu tanpa siapa aku tidak bisa hidup, oppa.”
            Aku menghembuskan nafas berat. Dia benar-benar keras kepala sekali!
            “Kau masih mau disini atau mau ikut denganku?” tanyaku akhirnya. Mengalah.
            “Ikut denganmu tentu saja.”
            “Kau belum potong kue, Na~ya….”
            “Oh, tidak masalah,” ujarnya acuh lalu meminta MC member pengumuman bahwa dia ingin potong kue sekarang.
            Sesaat sebelum meniup lilin, dia menutup matanya. Entah meminta apa. Tapi aku harap masih ada hubungannya denganku. Aku baru sadar sekarang bahwa aku ini benar-benar egois.
            Aku memperhatikannya melakukan segala sesuatu dengan begitu terburu-buru. Nyaris ceroboh. Khas Na~ya sekali. Aku pasti akan sangat merindukannya nanti.
            “Kau terburu-buru sekali hari ini,” bisikku di telinganya.
            Dia mendelik menatapku.
            “Tinggal 3 jam lagi, oppa!” ujarnya sewot, meninggalkanku lalu naik ke atas panggung.
            “Maaf semuanya… mengganggu sebentar! Hari ini aku ada urusan penting yang tidak bisa ditinggalkan, tapi aku harap kalian bisa tetap menikmati pesta ini. Terima kasih atas perhatiannya!” serunya sambil bergegas menghampiriku lagi. Tersenyum, mempesona seperti biasa.
            Saat kami akan melangkah pergi, tiba-tiba Eunhyuk datang.
            “Maaf kalau aku mengganggu. Hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun. Boleh, kan?”
            Na~ya mengangguk. Mendadak wajahnya tampak begitu sedih. Aku meremas tangannya, memberi semangat. Na~ya menatapku, seperti sedang meminta izin untuk sesuatu. Tentu saja tanpa berpikir panjang aku langsung mengangguk. Apapun akan kuberikan padanya. Walaupun itu termasuk menyuruhku terjun ke neraka sekalipun, yang akan dengan senang hati akan kulakukan demi dia.
            Terpana, aku melihatnya memeluk Eunhyuk. Namja ini pastilah sangat berarti untuknya, sehingga begitu sulit untuk ditinggalkan. Bukan dalam konteks kekasih, tapi sebagai sahabat dekat. Aku memahaminya.
            “Kau kenapa?” Sekilas aku mendengar nada kaget dalam sura namja itu. “Seperti akan pergi jauh saja,” lanjutnya lagi.
            “Kita hanya tidak tahu apa yang akan terjadi, Eunhyuk~a,” ujar Na~ya sambil tersenyum dipaksakan.
            “Kami harus pergi sekarang. Selamat bersenang-senang,” katanya sambil melambaikan tangan lalu melangkah keluar bersamaku.
            Aku menatapnya, mencoba mencari raut kesedihan itu lagi, tapi dia balas menatapku dengan tegar, walaupun tentu saja hal itu tidak akan memperbaiki keadaan. Aku akan membunuhnya sebentar lagi. Melenyapkan jiwanya.


***


HYE-NA’S POV

            Mendadak kesedihan itu menyelimutiku. Kesedihan meninggalkan semua orang yang aku cintai, walaupun hal itu sedikit pun tidak menggoyahkan keputusanku sebenarnya.
            Ji-Yoo berlari menghampiri kami dengan keanggunan tiada tara. Aku terkesima menatapnya berlari secepat itu, menilik dari hak sepatunya yang tidak mungkin kurang dari 15 cm. Gaun biru itu membalut pas tubuh rampingnya.
            “Ini kunci mobilmu, Kyuhyun~a!” serunya sambil melempar kunci bersimbol kuda jingkrak itu kepada Kyuhyun. Cirri khas setiap mobil Ferrari.
            Ji-Yoo menatapku dengan senyum lebar tersungging di bibirnya. Dia mendekat lalu memelukku erat.
            “Selamat datang, kakak ipar. Senang sekali kau mau bergabung dengan keluarga kami yang luar biasa ini!” ujarnya dengan suara yang bergetar saking senangnya.
            Dan di detik itu jugalah semua kesedihanku lenyap tak berbekas.


***


            Kyuhyun membawaku ke kebun teh itu lagi. Membantuku mendaki bukit kecil disana. Dan di saat itulah aku melihat pemandangan yang begitu indah. Lampu-lampu, mobil-mobil, dan rumah-rumah yang tampak seperti semut itu benar-benar mengagumkan.
            “Indah sekali….”
            “Lebih indah kau sebenarnya,” ujarnya dengan nada datar tapi langsung membuat detak jantungku berantakan. Belum-belum dia sudah menggodaku.
            “Kenapa kita tidak mampir ke rumah ayahmu?”
            “Aku sudah berpamitan kemarin. Mengatakan bahwa aku pergi kuliah ke New York, seperti dalam suratmu.”
            Aku tersenyum kemudian duduk di atas bangku besi seperti waktu itu.
            “Misalkan takdir itu memang ada, kalau kita bersatu kembali nanti, ayahku pasti akan mengenalimu. Lalu ayahmu, seandainya nanti kau menjadi manusia, dank au tidak mengenalinya sedikitpun saat kau berpapasan dengannya di jalan bagaimana?”
            “Semuanya berubah sesuai perubahan kita, Na~ya. Jika ada curare dalam kehidupanmu sebelumnya, semuanya akan terlupakan begitu saja.”
            “Berapa banyak orang yang amnesia kalau begitu?”
            “Mereka hanya melupakan bagian tertentu saja. Bukan semua kenangan masa lalunya.”
            Aku mengangguk paham.
            “Masih ada waktu untuk mengubah keputusanmu, Na~ya.”
            “Tinggal 30 menit. Jangan berkhayal itu akan terjadi!” sergahnya tajam.
            “Baiklah,” ujarnya mengalah.
            Sesaat kami terdiam. Aku mengamati jari-jari kami yang saling bertautan. Bersyukur betapa beruntungnya aku bisa memilikinya.
            “Boleh Tanya sesuatu?” tanyanya tiba-tiba.
            “Apa?”
            “Apa yang kau minta sebelum meniup lilin tadi?”
            Aku menarik nafas pelan. Tersenyum.
            “Aku meminta mati bersamamu,” uajrku ringan.
            “Kau gila, Na~ya!” teriaknya kaget.
            “Tenanglah! Tak usah berlebihan begitu.”
            “Bagaimana tidak? Itu sama saja artinya dengan menceburkan dirimu hidup-hidup ke dalam neraka!”
            “Tidak apa-apa, asal kau ada.”
            Dia menatapku tak percaya. Benar-benar menganggapku sinting sepertinya.
            “Kau berbuat kesalahan karena menolongku!”
            “Kalau aku tidak menolongmu, Tuhan tetap akan menjebloskanku ke dalam neraka, oppa. Kita kan harus menolong sesama.”
            “Tapi karena kau menolongku, kau juga tetap akan masuk ke dalam neraka, Na~ya!”
            “Sama saja akan jadinya?” ujarku, tak bisa dibantah.
            “Bagaimanapun, aku hanya menginginkan surga yang ada kau di dalamnya. Tidak peduli jika itu neraka sekalipun,” ucapku pelan, mencondongkan tubuhku dan mengecup bibirnya.
            Aku mendengarnya terkesiap, tak semapat lagi mencegahku. Tapi di detik yang sama aku merasakan hentakan yang begitu kuat di jantungku, seolah-olah organ itu sedang ditusuk berjuta-juta jarum tajam yang perlahan-lahan mengoyakku. Aku ingin teriak, tapi bibirku seperti terkunci di bibir Kyuhyun, tidak bisa bergerak. Aku sekilas melihat matanya yang membelalak lebar saat tubuhku diserang listrik ratusan ribu volt kemudian dibakar di saat yang bersamaan. Aku tak pernah membayangkan ada rasa sakit yang sedahsyat itu di atas dunia ini, tapi aku sedang merasakannya sekarang. Dan sesaat kemudian kesadaranku hilang….


***


KYUHYUN’S POV

            Sudah hampir 30 hari. 1 jam lagi tepatnya. Tapi dia bahkan belum terbangun juga. Ada yang ingin kukatakan padanya sebelum aku berubah menjadi manusia dan melupakan segalanya. Aku harap ada sedikit keajaiban, karena biasanya minimal para curare baru bangun tepat 30 hari setelah masa transformasi. Aku harap ada pengecualian untuk yang satu ini.
            Aku menatap wajahnya yang rupawan. Menyentuh kulitnya yang lembut. Tidak ada perubahan pada fisiknya, tentu saja. Yang berubah hanyalah kenyataan bahwa dia tidak memiliki organ tubuh apapun sekarang.
            “Na~ya… ireona (bangunlah)…” bisikkku di telinganya. Dan tetap saja tidak ada respons sedikit pun.
            Tinggal 30 menit lagi, batinku dalam hati. Kalau dia tidak bangun….
            Mendadak aku melihat kelopak matanya perlahan membuka, mengerjap-ngerjap dalam kegelapan. Matanya menatapku kagum lalu sedetik kemudian tubuhnya sudah berada dalam pelukanku. Keajaiban itu benar-benar terjadi akhirnya.
            “Aku bisa melihat semuanya!” ujarnya terpesona, mengagumi penglihatan barunya yang tajam. Itu memang salah satu kelebihan yang dimiliki semua curare. “Semuanya benar-benar jelas, bahkan dalam kegelapan!” serunya, tak bisa menyembunyikan nada takjub dalam suaranya.
            Tiba-tiba dia melepaskan pelukannya, menatapku heran.
            “Masih 20 menit lagi,” ujarku menjelaskan.
            Dia terbelalak melihatku, mengumpat pelan.
            “Selalu saja terlambat,” keluhnya.
            “Yang penting bisa,” ujarku menenangkan.
            Aku mempelajari reaksi yang terpancar di wajahnya. Memprediksi bagaimana respons yang akan diberikannya jika aku berhasil mewujudkan keinginanku.
            “Boleh aku melakukan sesuatu?” pintaku, yang sedetik kemudian diikuti anggukan kepalanya.


***

HYE-NA’S POV

            Dia menarikku berdiri, kemudian berlutut dengan satu kaki di hadapanku. Mendadak aku merasakan darah membanjiri wajahku, membuatnya memerah. Aku tahu apa yang akan dilakukannya.
            “Aku… tidak terbiasa dengan semua ini sebenarnya. Ng… jadi tolonglah… bantu aku untuk melakukannya dengan benar,” katanya.
            Aku mengangguk. Dia menggenggam tanganku dengan lembut. Belum-belum aku sudah meleleh dibuatnya.
            “Mungkin aku bukan pria yang benar-benar tepat untukmu. Bukan pria yang bisa merayu atau memujimu setiap saat. Tapi aku adalah pria ini, yang akan langsung berlutut melamarmu. Aku pria ini, yang tidak akan terkalahkan dalam hal mencintaimu. Pria yang sekali lihat langsung tahu bahwa kau adalah satu-satunya wanita yang diinginkannya.”
            “Pertemuan pertama kita mungkin sama sekali tidak berkesan untukmu, tapi sejak saat itulah rasanya sulit sekali membayangkan hidup tanpamu. Karena hidup tanpamu sama sekali bukan hidup.”
            “Aku mencintaimu, Na~ya, kalau kau belum percaya juga. Aku mencintai dirimu yang sekarang. Kalaupun berubah, kau hanya menjadi lebih dari yang sudah lebih. Untukku, kau sudah lebih dari cukup.”
            Aku tak tahu bagaimana bisa aku masih berdiri sekarang. Syukurlah aku tidak sampai terjatuh saking syoknya.
            Dia mengeluarkan kotak kecil dari dalam saku celananya lalu tersenyum menatapku.
            “Hari ini, dan ribuan hari nanti, aku akan setia menunggumu. Menunggu hari-hari indah tanpa sedetik pun terpisah darimu. Menunggu setiap pagi terbangun di sampingmu.Menunggu setiap malam tertidur dalam pelukanmu. Menunggu menua bersamamu. Sama sekali tidak keberatan jika aku harus menunggu seumur hidupku. Dan… Na~ya… aku ingin meminjam hatimu, kalau bisa untuk selamanya. Jika kau sudah siap, maukah dengan segala hormat kau menemaniku seumur hidupmu?”
            Tanpa sadar air mata sudah mengalir jatuh di pipiku. Keberuntungan seperti apa ini? Benar-benar berlebihan.
            Aku menatap matanya yang bersinar-sinar dengan sorot kebahagiaan. Aku tahu, dia benar-benar mencintaiku. Tak peduli bahwa 10 menit lagi dia akan melupakanku, dia tetap saja ingin membahagiakanku.
            Sesaat kemudian aku mengangguk, lalu dengan cepat dia memasangkan cincin itu ke jari manisku. Dia bangkit sambil tertawa lebar menatapku, membuatnya yang sudah benar-benar sangat tampan, menjadi seratus kali lebih tampan.
            Aku menatap cincin itu kagum. Benar-benar indah. Dan aku menyadari ada ukiran di sepanjang lingkarannya.
            “Plus que hier, moins que demain,” ejaku.
            Aku memandang Kyuhyun, menuntut penjelasan.
            “Derajat cintaku,” ujarnya ringan. “Lebih dari kemarin, kurang dari esok,” katanya sambil menarik tubuhku mendekat.
            Aku bisa merasakan wangi nafasnya di wajahku, tidak sabaran menunggunya mewujudkan keinginan terbesarku.
            “Jangan cari gara-gara, oppa!” desisku geram.
            Dia tertawa geli lau sedetik kemudian bibirnya sudah melumat bibirku dengan ganas. Tak terbayangkan bagaimana dia bisa bertahan selama ini. Pengendalian dirinya patut diacungi jempol.
            Aku sama sekali tidak bisa ditolerir dalam hal ini. Aku menelusupkan tanganku di helai rambutnya yang lembut, menikmati berbagai sensasi yang hadir. Bisa dibilang sama ganasnya dengan dia.
            Dia membaringkan tubuhku ke atas tempat tidur tanpa berhenti menciumku. Tapi tangannya sama sekali tidak macam-macam, hanya menelusup di rambutku, walaupun aku sama sekali tidak keberatan sebenarnya. Sepertinya dia hanya ingin lebih leluasa untuk menciumku.
            Dia melepaskanku sesaat untuk mengambil nafas. Nyengir menatapku yang sudah kacau balau karena perbuatannya. Aku sama sekali tak butuh oksigen sebenarnya, paru-paru saja tak punya!
            Aku menariknya lagi ke arahku, tapi kali ini hanya sebentar. Dia mengecup bibrku lembut lalu berbisik, “Han Hye-Na… saranghae….”
            Dan sedetik kemudian dia menghilang….


***


            “Hye-Na~ya, ireona!”
            Aku mendengar suara Ji-Yoo yang begitu semangat. Tangannya mengguncang-guncang tubuhku.
            “Mwo?” tanyaku serak sambil bangkit dan duduk menghadap Ji-Yoo.
            Ji-Yoo menatapku, mengeluarkan siulan menggoda.
            “Sudah sampai sejauh mana?” tanyanya, membuat wajahku memerah menyadari arah pembicaraannya itu.
            “Bibirmu… ehm… bengkak sekali, Hye-Na~ya. Ternyata Kyuhyun parah juga, ya!!” lanjutnya sambil terkekeh geli.
            “Dia melamarku…” ujarku lalu menjulurkan tangan kiriku padanya, menunjukkan cincin itu.
            Dia mengamatinya dengan kagum.
            “Lebih dari kemarin, kurang dari esok. Hmmmh… sebenarnya seberapa besar cintanya padamu?” katanya sambil geleng-geleng kepala.
            “Ngomong-ngomong, sebenarnya kau sudah menikah dengannya, Hye-Na~a.”
            Aku mengerutkan kening tak mengerti.
            “Ciuman dalam dunia curare berarti pernikahan, kalau kau belum tahu,” jelasnya, membuat wajahku memanas. Dan tiba-tiba saja pikiran itu melintas di benakku.
            Hye-Na… Cho Hye-Na….


***


            Aku sedang mencari-cari pena di atas meja saat mataku melihat sehelai kertas yang tergeletak begitu saja di samping tempat tidur. Aku membukanya dan langsung tersenyum menatap sederet tulisan yang tertulis di atasnya.
Sayang…
Di kehidupan selanjutnya, aku ingin menjadi belahan jantungmu lagi… lalu aku pasti akan menjadi suami yang baik yang akan kucintai…
Aku mencintaimu, Na~ya… sangat… sehingga nanti tidak akan pernah ada saat dimana kau berpikir untuk meninggalkanku…
Terima kasih, karena kau telah bersedia merelakan hari-harimu untuk menemaniku…
Maaf, aku mencintaimu….


***


            Keesokan harinya Ji-Yoo mengajariku banyak hal. Sekarang aku tinggal di rumah Kyuhyun, Ji-yoo juga pindah untuk menemaniku. Walau sebenarnya kehadiran Ji-Yoo sama sekali tidak membantu hari-hari membosankanku tanpa Kyuhyun.
            Aku sudah mahir berpindah-pindah tempat sekarang. Menyebalkan ternyata, karena kita tidak bisa muncul di tempat yang kita inginkan jika kita tidak tahu alamat lengkapnya atau kita tidak bisa mengingat dengan tepat bagaimana bentuk tempat itu. Aku juga diajarkan cara membunuh. Cara menghujamkan kuku-kukuku ke tubuh the sweetest rose. Benar-benar mengerikan!!
            Aku memilih Tokyo sebagai tujuan pertamaku. Sama seperti tempat dimana Kyuhyun menemukan organ vital pertamanya dulu. Taapi hasilnya nihil. Setiap hari seperti ini, lama-lama bisa terasa sangat membosankan.
            Sekarang aku sedang berkeliaran di jalanan Paris yang begitu ramai oleh pasangan-pasangan kekasih. Membuatku sebal saja! Aku berbalik ke arah yang berlawanan dengan jalan menuju menara Eiffel itu. Keluar masuk kafe dan restoran, berharap menemukan sesuatu. Merasa jenuh, aku memutuskan pergi ke Amerika. Sedikit menyesal karena tidak tahu alamat Robert Pattinson. Dulu berharap bertemu dengannya hanya bisa jadi khayalan, tapi sekarang saat semuanya menjadi mungkin, aku sama sekali tidak tahu dimana alamatnya! Benar-benar menyebalkan!
            Aku masih merutuk dalam hati saat tiba-tiba semburat harum mawar itu memenuhi rongga hidungku. Wanita yang sedang menggendong anak itu! Tegakah aku membunuhnya?
            Dan tiba-tiba saja hatiku mencelos. Ini baru tanggal 18….


***


            Jika aku masih punya jantung sekarang, pasti aku sudah terkena stroke saking kagetnya. Tahu tidak, Eun-Ji sedang berdiri di hadapanku!
            “Ng… hai… boleh aku masuk?” tanyanya dengan nada ramah, membuat perasaanku semakin tidak enak.
            Aku menyingkir dari depan pintu, membiarkannya masuk ke ruang tamu. Mendadak kenangan waktu itu kembali menghantamku. Saat dimana aku berpikir bahwa Kyuhyun meninggalkanku untuk bidadari ini.
            “Tidak usah takut, Hye-Na. aku sama sekali tidak akan mencelakaimu. Aku hanya ingin bicara. Boleh, kan?”
            Dia berbicara sambil tersenyum, membuatku sadar, bagaimanapun semua wanita di dunia ini berusaha untuk berdandan habis-habisan, sama sekali tidak ada gunanya jika pada akhirnya mereka semua harus berada dalam satu ruangan dengan gadis ini.
            Aku menghempaskan tubuhku ke atas sofa di depannya, mempersiapkan diri untuk mendegar segala macam bentuk caciannya.
            “Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah wanita tercantik di atas dunia ini, tidak ada satu wanita pun yang bisa menandingiku. Walaupun mereka berusaha, pada akhirnya mereka akan menyerah kalah begitu saja. Selama ini aku masih bisa tahan mendengar semua penolakan Kyuhyun oppa terhadapku, karena juga tidak ada wanita lain yang bisa menarik perhatiannya. Tapi akhirnya kau datang, membuat matanya buta pada hal lain selain kehadiranmu.”
            “Aku sangat mencintainya, Hye-Na~a. Sangat. Tapi aku sadar bahwa aku kalah. Tatapannya… caranya menatapmu seolah-olah kau adalah wanita terakhir di atas dunia ini, seolah-olah dia rela dirajam demi nyawamu, seolah-olah neraka itu adalah surga jika kau ada di dalamnya. Aku kalah, Hye-Na~a…. Untuk pertama kalinya aku menderita kekalahan oleh wanita sepertimu….”
            “Tapi kau juga mencintainya…. Kau bertingkah seolah-olah dia adalah pusat seluruh tata surya. Aku pikir awalnya hanya karena ketampannya yang keterlaluan itu, tapi di balik itu semua kau bahkan rela menyerahkan nyawamu untuk mempertahankan eksistensinya. Lagi-lagi aku terpuruk dalam kekalahan.”
            “Aku hanya ingin berterima kasih dengan sangat karena kau telah menyelamatkan nyawanya. Terima kasih, Hye-Na~a…. Terima kasih.”
            Dia menatapku dengan sorot kebahagiaan, dimana aku untuk pertama kalinya menyadari bahwa dia benar-benar adalah seorang bidadari dengan segala kesempurnan fisik maupun hatinya.
            “Mungkin kau masih bertanya-tanya dalam hati kenapa aku melepaskanmu begitu saja sedangkan dulu aku malah sudah membunuh seorang gadis untuk memuluskan jalanku mendapatkan Kyuhyun oppa. iya, kan?”
            Aku mengangguk, sedikit syok. Kyuhyun memang sudah pernah bilang bahwa Eun-Ji mempunyai kelebihan dalam hal mengorek informasi dari seseorang, tapi kalau dia tiba-tiba saja memperlihatkannya padaku seperti ini, tetap saja aku syok.
            “Aku hanya mempertahankan diri saja sebenarnya waktu itu. Ternyata gadis penjaga toko itu benar-benar terobsesi pada Kyuhyun oppa, mengikuti Kyuhyun oppa kemana-mana. Dan dia menganggap aku sebagai saingan terberatnya lalu memutuskan menyusun rencana mulia untuk membunuhku. Itu bukan masalah sebenarnya, tapi kau tahulah kalau aku sedikit sulit untuk mengontrol emosi. Aku hanya mendorongnya sedikit tapi dia malah terbang membentur dinding. Itu sedikit bisa ditolerir, kan?”
            Aku tersenyum dan mengangguk.
            “Jadi… kita sudah bisa berhubungan baik kan sekarang?” tanyaku yang langsung disambut dengan senyuman lebar di bibirnya.


***


            Aku mengajak Eun-Ji tinggal bersama kami. Seperti yang sudah kutebak sebelumnya, Ji-Yoo senang-senang saja mendapat satu teman lagi.
            “Ng… aku tidak tahu kau suka atau tidak aku tinggal disini. Kalau kau mau, aku bisa pergi,” ujar Eun-Ji saat Ji-Yoo pulang malam harinya.
            Ji-Yoo pada awalnya menatap Eun-Ji murka lalu kemudian merentangkan tangannya lebar-lebar.
            “Selamat datang,” ucapnya sambil tertawa senang saat Eun-Ji menyambut pelukannya.
            Terima kasih, oppa… karena kau aku kembali memiliki keluarga yang utuh….


***


            “Kau mau cerita tidak tentang kehidupanmu padaku?” tanyaku hati-hati pada Eun-Ji saat kami sedang makan malam. Dia yang makan sebenarnya. Aku kan belum punya usus.
            “Tanya saja,” ujarnya ringan.
            “Berapa umurmu saat berubah?”
            “10 tahun. Seorang wanita setengah baya yang mengubahku.”
            “Waktumu tinggal berapa tahun lagi?”
            “30. Masih ada tiga alat vital lagi.”
            Sesaat dia menatapku lalu tersenyum.
            “Kau takut?” Mendadak dia bertanya padaku.
            “Sedikit. Aku sudah menemukan korban pertamaku. Anaknya masih bayi, Eun-Ji~a!” erangku.
            “Menjadi seperti ini, kau harus rela bersikap egois, Hye-Na~a. jangan pakai perasaan. Kalau kau merasa tidak enak terus, kapan kau akan bertemu dengan Kyuhyun oppa coba?”
            Aku berpikir sesaat, lalu mengangguk.
            “Hai, aku pulang!” Tiba-tiba saja Ji-Yoo sudah duduk di atas kursi di depanku. Menyendok nasi banyak-banyak ke atas piringnya.
            “Kelaparan?” godaku.
            “Sangat!” ujarnya dengan mulut penuh.
            “Ayahmu baik-baik saja,” kata Ji-Yoo setelah berhasil menelan makanannya.
            “Benarkah?” sergahku tak percaya.
            Ji-Yoo mengangguk.
            “Mungkin agak sedikit syok setelah kepergianmu, tapi kuperhatikan, sepertinya dia masih bisa hidup dengan baik.”
            “Gomaweo.”
            “Yak, Han Hye-na, itu kan gunanya teman?”


***


            13 tahun berlalu. Aku sudah menemukan semua korbanku, mengubah mereka menjadi monster dengan kesadisan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Tepatnya, satu jam lagi aku akan bertemu dengan Kyuhyun. Benarkah? Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku benar-benar meragukan kemungkinan itu.
            Aku merasakan Eun-Ji meremas tanganku, mengalirkan semangat ke sekujur tubuhku. Kami sepakat untuk mengakhiri karir kami sebagai pembunuh bersama-sama. Aku menoleh ke samping, menatap Ji-Yoo
            “Semoga kita bisa bertemu lagi,” bisiknya pelan, air mata menggenangi wajah cantiknya. Terkadang aku merasa minder dikelilingi kedua gadis ini, jujur saja.
            “Dengan harapan aku tidak lagi berusaha merebut Kyuhyun oppa darimu!” gurau Eun-Ji, membuat aku dan Ji-Yoo tertawa.
            Sesaat pikiranku melantur kesana kemari. Bersyukur bahwa semua korbanku adalah perempuan. Aku tidak ingin ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku selain Kyuhyun. Tidak rela sedikitpun.
            Aku memutar-mutar cincin pemberiannya di jariku. Apakah aku benar-benar akan meluapakan segalanya?

HYE-NA’S POV


Aku terbangun saat merasakan cahaya matahari yang silau menelusup masuk lewat celah gorden di kamarku. Aku menggeliat sesaat sambil membuka mata. Tiba-tiba saja aku merasa syok melihat pemandangan di sekelilingku. Entahlah, ada yang aneh. Padahal ini kan kamarku. Sudah 17 tahun aku menghabiskan hidupku disini. Tapi sekarang rasanya seolah-olah sudah bertahun-tahun aku tidak berada disini. Ah, mungkin karena rasa pusing setelah pesta ulang tahunku semalam, membuatku sedikit kehilangan akal sehat pagi ini.


Ngomong-ngomong ulang tahun, sebenarnya aku tidak ingat apapun tentang pesta semalam. Sepertinya karena tidak ada yang menarik, jadi aku merasa tidak perlu bersusah payah untuk mengingatnya.


Aku menendang selimutku sampai jatuh ke lantai lalu bergegas ke kamar mandi. Kebutuhan manusiaku sudah sangat mendesak untuk dituntaskan.


Aku menggosok gigiku dengan tergesa-gesa, mencipratkan sedikit air ke wajahku. Merasa lebih baik, aku memutuskan untuk turun ke bawah, sarapan untuk mengisi perut.


Aku sedang menggigit roti saat bel rumahku berbunyi. Sambil mengernyit heran, mengira-ngira siapa yang datang sepagi ini, aku berjalan ke depan untuk membuka pintu.


“Appa,” ujarku tercekat kemudian menghambur memeluknya. Merasa aneh saat air mataku berusaha mendesak keluar. Perasaan rindu membuncah di dadaku, seolah-olah aku sudah tidak bertemu dengannya selama bertahun-tahun. Aigoo, kenapa aku jadi cengeng begini?


“Hai, kau ini kenapa?” tanya appa-ku bingung sambil menepuk-nepuk punggungku.


“Ani, hanya merasa senang saja karena appa sudah pulang.”
Aku menggandengnya masuk ke dalam rumah, lalu bergegas membuatkan sarapan untuknya. Sepintas aku merasa, pagi ini benar-benar aneh.


***


4 tahun kemudian….

Aku memarkirkan mobilku sembarangan di lapangan parkir kampusku. Tergesa-gesa meraup buku-buku, tas, dan laptopku. Aku mengunci mobilku lalu berlari sepanjang jalan. Aku harus menyerahkan skripsiku siang ini dan seharusnya itu sudah terjadi setengah jam yang lalu kalau kemacetan itu tidak dengan sadis menghentikanku.


Aku sedang susah payah menyeimbangkan tubuh dengan beban sebanyak ini saat tiba-tiba saja seseorang dengan kasar menabrak tubuhku. Aku merasakan jantungku berhenti berdetak seketika saat melihat laptopku terhempas ke tanah. Masih syok, aku bergegas memeriksa keadaan laptopku dan mengumpat kesal saat mendapati bahwa laptopku itu sudah tamat riwayatnya.


Kemarahan menggelegak di dadaku, dengan cepat menyentuh ubun-ubun. Aku bangkit lalu menatap si penabrakku tadi dengan tatapan tersangar yang bisa kuberikan. Sedikit mencelos saat menyadari bahwa dia… dia… OK…. Ya Tuhanku, dia tampan sekali!!!

***



KYUHYUN’S POV

Aku dengan sengaja bolos rekaman siang ini. Muak dengan segala tetek bengeknya. Memang semua ini adalah pilihanku, tapi bukan berarti aku jga harus mengorbankan seluruh waktuku, kan?


Ayahku, yang sialnya adalah pengusaha tersukses di negara ini, memaksaku untuk meneruskan kesuksesannya mengurus seluruh aset perusahaan yang tentu saja langsung kutolak mentah-mentah. Aku sama seklai tidak tertarik dengan semua itu sebenarnya. Dari dulu minatku hanya di bidang musik. Dan suka tidak suka, ayahku sama sekali tidak bisa mencegahku.


Ibuku untungnya tidak begitu banyak menuntut. Dia membiarkanku menentukan pilihanku sendiri. Dia juga yang memaksa ayahku untuk bersikap lunak terhadapku, makanya sekarang karirku bisa menanjak dengan begitu suksesnya walaupun ternyata aku tidak menyukai dampaknya terhadap kehidupanku. Yeoja-yeoja sialan itu selalu mengikutiku kemanapun aku pergi dan aku sama sekali tidak bisa menghardik mereka untuk berhenti merecokiku seperti itu. Manajerku bilang itu untuk keselamatan karirku. Huh, persetan dengan itu semua! Memangnya aku peduli!


Karena itu siang ini aku bolos rekaman dan memilih kabur ke bekas kampusku dulu. Aku pikir toh mereka semua tidak akan menyangka aku akan kabur kesini. Dan sekarang aku sedang di kantin kampuus, duduk di sudut sambil menyesap minumanku. Aku membetulkan letak kacamata hitamku dan menurunkan topiku sedikit. Sepertinya sekelompok gadis yang duduk tidak jauh dariku itu sudah memperhatikanku dari tadi. Ternyata jadi artis itu benar-benar melelahkan!


Aku sedang memperhatikan sekeliling saat tiba-tiba HP-ku berbunyi nyaring. Aku cepat-cepat mengangkatnya sebelum aku jadi pusat perhatian semua orang. Dan sesaat kemudian aku mendengar suara ibuku yang menangis terisak-isak, mengabarkan bahwa ayahku masuk rumah sakit karena serangan jantung mendadak. Bergegas aku menyambar tasku, menyampirkannya asal-asalan ke bahu lalu berlari ke lapangan parkir. Tapi baru setengah jalan tiba-tiba saja aku menabrak seorang gadis. Mataku terbelalak lebar saat semua barang bawaannya berjatuham dan laptopnya terhempas ke tanah dengan bunyi berdebam yang cukup keras. Sekalilihat aku tahu, laptop itu pasti langsung rusak.
Gadis itu dengan cepat memeriksa keadaan laptopnya, kemudian bangkit sambil menatapku bengis. Dia terperangah saat menatapku, tapi kemudian kelihatannya dia sudah bisa menguasai diri karena dia langsung melabrakku dengan suara memekakkan telinga.


“BRENGSEK KAU!!! KAU TAHU TIDAK, AKU HARUS MENYERAHKAN SKRIPSIKU SIANG INI DAN SEMUA DATAKU ADA DISINI, KAU PIKIR BAGAIMANA NASIBKU SEKARANG, HAH?!” bentaknya marah.


“Heh, agasshi, bukan salahku kan kalau ternyata kau juga tidak lihat-lihat jalan? Lagipula kalau kau tahu bagaimana perkembangan tekhnologi saat ini, kau seharusnya ingat untuk menyimpan datamu itu di flashdisk. Bukan begitu?”


“Bukan urusanmu!” sergahnya marah.


“Lalu kau mau apa? Mau aku bertanggung jawab? Sayang sekali, kesalahan bukan hanya berasal dari pihakku. Lagipula meskipun aku membelikanmu laptop yang baru, data-datamu itu tetap tidak akan kembali, kan?”


Dia menatapku sangar, seolah-olah aku ini setan, iblis, atau semacamnya. Kediamannya itu membuatku mendapat kesempatan untuk memperhatikan penampilannya dengan teliti.


Aku akui dia memiliki wajah cantik yang khas, aku belum pernah melihat gadis seperti ini sebelumnya. Yang cantik sih banyak, tapi tidak seperti dia. Tubuhnya, boleh kukatakan, benar-benar membuat iri gadis manapun. Kemeja itu membalut tubuhnya dengan pas, memperjelas lekuk-lekuk tubuhnya di tempat-tempat yang tepat. Rambut ikalnya diikat ekor kuda dan wajahnya benar-benar polos tanpa make-up. Kecantikan alami tanpa pisau bedah.


Saat memandanginya itulah tiba-tiba aku merasakan sesuatu. Rasa rindu yang aneh, seolah-olah aku sudah menunggunya sekian lama.


Aku memasukkan tanganku ke dalam saku, mencegah keinginan gilaku untuk memeluknya. Jantungku mulai berdetak tak beraturan. Apa-apaan ini?

***



HYE-NA’S POV

Aku menatapnya marah. Mencari kata-kata umpatan yang tepat untuk dilontarkan. Tapi aku malah mendapati sesuatu yang lain. Nafasku tercekat di tenggorokan, jantungku mulai mencoba melompat keluar dan keringat dingin mulai membasahi tubuhku.


Otakku tak bisa berpikir dengan cepat saat menyadari keberadaan rasa rindu yang meluap-luap menghujam dadaku. Ada apa ini? Aku kenapa?


Aku melihatnya menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Dia menatapku aneh, mengernyitkan dahi, kemudian tiba-tiba saja dia bergegas pergi. Masuk ke mobil Ferrari convertible hitam yang diparkir di sudut lalu menancap gas dalam-dalam.


Aku masih terperangah menatap kepergiannya yang tiba-tiba itu saat aku sadar apa yang terjadi. SKRIPSIKU!!!! Bagaimana ini?

***


Aku mendengus kesal sepanjang perjalanan pulang. Dosenku memberiku waktu 2 bulan untuk menyelesaikan skripsi itu. Yang benar saja! Aku menghabiskan 5 bulan terakhir untuk membuatnya, dan sekarang aku harus mengulangnya lagi?! Sial, sial, sial!!! Gara-gara dia!!!!!!


Aku memukul setir dengan sekuat tenaga, tidak mempedulikan rasa sakit yang menyerang setelah itu, mengumpat-umpat saat lampu merah menyala. Kios majalah di tepi jalan menarik perhatianku. Ada majalah yang memajang foto namja sialan itu!


Aku mengaduk-aduk tasku mencari dompet dan bergegas turun dari mobil.


“Ambil saja kembaliannya,” ujarku karena lampu hijau kembali menyala dan pengemudi lain sudah memencet klakson mobil mereka gara-gara mobilku yang menghalangi jalan.
Aku sampai di rumah 10 menit kemudian. Masuk ke rumah seraya membolak-balik majalah yang aku beli tadi.


Oh, jadi namanya Cho Kyuhyun? Penyanyi?


Aku merutuki kebiasaanku yang tidak pernah tertarik untuk menonton TV selama ini. Kalau tidak aku pasti sudah mengenalinya tadi! Sial!


Aku meraih HP dari dalam tasku yang berdering nyaring. Tersenyum senang saat melihat siapa yang meenelepon.


“Hai!” seruku, yang disambut tawa dari seberang sana.


“Hye-Na~ya, ada waktu tidak?”


“Kenapa? Mau traktir aku makan malam, ya?” godaku sambil membaca tagline berita tentang penyanyi brengsek itu.


“Yah, begitulah. Bisa?”


“Jemput ya jam 7.”


“OK!”
Aku memutuskan hubungan telepon, mencelos saat menyadari sesuatu yang aneh. Namanya Cho Kyuhyun? Kenapa rasanya aku sudah mengenalnya begitu lama?


***


KYUHYUN’S POV

Aku membuka pintu kamar rawat ayahku dengan ragu-ragu, karena tiba-tiba saja perasaan tidak enak menyergapku. Sepertinya ayahku itu akan mengambil kesempatan karena penyakitnya itu menjebakku. Dan kalau sudah begitu aku mana bisa menolak coba?


Berusaha acuh, aku melangkah masuk dan mendapati kedua orang tuaku sednag bicara serius. Pembicaraan mereka mendadak terhenti saat menyadari kedatanganku.


“Ayo kesini, Kyuhyun~a!” pinta ibuku, member tanda agar aku menghampiri mereka.


“Bagaimana appa?” tanyaku sambil berdiri di samping tempat tidurnya.
“Eomma-mu ini,” ujarnya kesal lalu melanjutkan, “Penyakitku cuma kambuh sesaat tapi dia bersikeras membawaku ke rumah sakit. Menyebalkan!” sungutnya.


Aku tersenyum mendengar keluhannya. Sepertinya pikiran burukku tadi salah.


“Kyuhyun~a, eomma ingin membicarakan sesuatu denganmu.”
Aku mengangguk. Curiga dengan nada bicaranya.


“Appa-mu ini sudah tua, tidak baik baginya jika kerja lembur setiap malam, bolak-balik ke luar negeri. Eomma tidak pernah meminta sesuatu darimu selama ini, tapi kali ini harus, Kyuhyun~a.”
Aku mendelik menatapnya. Eomma-ku? Eomma menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak kusukai?


“Eomma tidak menyuruhmu mengelola perusahaan. Eomma hanya ingin memberimu satu pilihan lagi. Umurmu sudah 22 tahun, sudah cukup untuk mengarungi bahtera rumah tangga, tidak ada salahnya kan jika kau menikah dan punya anak? Anakmu nanti bisa meneruskan perusahaan. Kami berdua sudah tua, Kyuhyun~a, tidak ada yang tahu kapan kami akan meninggalkanmu. Kami….”


“Tunggu… tunggu!!!” potongku marah. “Aku menikah? Dengan siapa? Ibu kan tahu aku….”


“Ibu sudah menyiapkan calon untukmu. Anak sahabat kami. Sejak kalian lahir, kami memang sudah berencana menjodohkan kalian berdua. Kau pasti akan menyukainya.”
Aku terbelalak menatap ibuku. Bagaimana mungkin dia jadi sinting begini? Menikah? Demi Tuhan, aku baru 23 tahun! Yang benar saja!


”Ini fotonya,” ujar ibuku sambil menyodorkan selembar foto.
Aku mengambilnya dengan enggan lalu menatap wajah calon istriku itu. Dan tiba-tiba saja rasa rindu yang aneh itu kembali menyergapku….
Aku menatap ibuku sambil tersenyum, kemarahanku tadi menguap entah kemana.


“Aku setuju. Dengan syarat satu bulan lagi kami menikah.”

***


“APA?! KAU AKAN MENIKAH?!” teriak Ji-Yoo, manajerku, dengan syok.
Aku membekap mulutnya dengan tanganku. Dasar yeoja!


“Heh, kau ini sedang di puncak karir, Cho Kyuhyun! Kalau kau menikah karirmu bisa hancur!”


“Bukan urusanku!” ucapku cuek sambil mengambil kentang goreng dari piring lalu menggigitnya.
Kami berdua sedang berada di sebuah kafe, membicarakan keputusan gilaku untuk menikah. Aku tertawa kecil dalam hati, membayangkan reaksi calon istriku nanti tentang perjodohan ini.


“Lagipula sejak kapan kau tertarik dengan hal ini? Setahuku kau malah sama sekali tidak tertarik dengan gadis manapun. Dan gadis ini, kau hanya melihat tampangnya dari foto, kau kan tidak tahu dia bagaimana, jadi mana mungkin kau memutuskan untuk menikah dengannya!” ujarnya dengan kecerewetan tiada tara.


Aku menatapnya heran. Umurnya sudah 21, tapi sifatnya seperti ibu-ibu paruh baya.


“Yang akan menikah kan aku, kenapa jadi kau yang rebut?”


“Kau ini! Coba pikirkan bagaimana perasaan fans-fansmu itu kalau mereka tahu kau akan menikah! Mereka bisa meninggalkanmu begitu saja tahu!”


“Oh, benar-benar bagus! Aku bisa bebas merdeka sekarang!” ujarku puas.
Ji-Yoo geleng-geleng kepala menatapku.


“Sinting!” desisnya geram.
Aku tersenyum lalu bangkit berdiri.


“Aku capek! Pulang dulu, ya!” pamitku sambil mengacak-acak rambutnya.


“Oh, terkutuklah kau Kyuhyun!” serunya marah.

***


HYE-NA’S POV

Aku menatap kekasihku itu dengan perasaan bersalah. Bagaimana mungkin selama satu jam terakhir ini aku membanding-bandingkannya dengan namja brengsek yang kutemui siang tadi itu?!


Dulu aku pikir aku adalah yeoja paling beruntung sedunia karena memiliki pacar setampan ini, tapi sekarang aku malah menyadari bahwa ketampanannya itu tidak sampai sepersepuluh dari ketampanan penyanyi brengsek itu. Dulu aku pikir aku sangat menyukainya, tapi bahkan perasaan itu tidak ada apa-apanya dengan rasa rindu yang membuncah di dadaku seperti siang tadi.


Ada apa ini sebenarnya? Apa yang salah dengan otakku?


“Hye-Na~ya, waeyo? Kau gelisah sekali dari tadi,” ujar Eunhyuk cemas.


“Tidak. Tidak ada apa-apa,” sahutku gugup.


Aku memalingkan wajahku ke sudut kafe, terkesiap saat mendapati Kyuhyun yang sedang mengacak-acak rambut seorang yeoja cantik sambil berlalu pergi. Aku terkejut dengan perasaan cemburu yang tiba-tiba menyerangku. Aku benar-benar sudah gila!


“Hyukkie~a, maaf, aku harus pulang sekarang. Aku tiba-tiba ingat ada sesuatu yang harus kukerjakan. Annyeong!”


Aku tergesa-gesa mengikuti Kyuhyun yang sudah menghilang dari balik pintu. Tidak memedulikan panggilan Eunhyuk sama sekali. Tadi aku bawa mobil karena Eunhyuk tak sempat menjemputku. Aku memasukkan kunci ke kontak lalu menancap gas dalam-dalam.
Oh, peduli setan dengan perasaan itu, dia harus bertanggung jawab terhadap skripsiku! Batinku dalam hati.


15 menit kemudian dia membelokkan mobil Ferrari-nya ke pelataran parkir sebuah apartemen mewah. Aku menjaga jarak agar dia tidak curiga, lalu dengan sigap melompat turun dari mobil setelah dia menghilang dari balik pintu masuk.


I get you, devil! geramku.

***


Aku berdiri di depan pintu apartemennnya setelah memata-matainya dengan susah payah agar tidak ketahuan. Kaget saat mendapati bahwa pintunya sama sekali tidak terkunci. Dasar namja tolol!
Mengenyampingkan harga diri, aku melangkah masuk, mengagumi interior apartemennya yang benar-benar mewah. Aku melongok ke kamarnya yang kosong. Dengan nekat menjelajahi kamarnya yang tertata rapi.


“Kyuhyun hyung!!!”
Aku mendengar seseorang memanggil nama namja itu. Ketakutan, aku berlari masuk ke kamar mandi, menutup, dan menguncinya dari dalam. Aku baru berbalik saat menyadari bahwa aku sednag tidak sendirian di kamar mandi itu.


Kami berdua saling bertatapan dengan syok. Tapi bukan salahku jika mataku jelalatan menatap tubuhnya yang hanya dibalut handuk dari pinggang sampai lutut. Tubuhnya memang kurus, tapi berbentuk.


Dia tidak berkata apa-apa, tapi dia melangkah mendekatiku dengan ekspresi yang tak terbaca. Dan sesaat kemudian dia sudah menarik tubuhku ke bawah shower yang langsung mengucurkan air dengan deras, membasahi tubuhku.


“Kyuhyun hyung!!!” Suara tadi terdengar lagi.


Aku baru akan membuka mulut untuk melayangkan protes saat tiba-tiba saja dia sudah membekap mulutku dengan bibirnya sendiri.


Demi Tuhan, apa yang dia lakukan?!!

***



KYUHYUN’S POV

Aku menatapnya syok. Bagaimana mungkin dia ada disini?


Aku menarik tubuhnya ke bawah shower lalu menghidupkannya sehingga air mengucur deras membasahi kami berdua. Aku tidak bisa berpikir jernih lagi untuk menyelesaikan situasi ini saat mendengar suara adikku berteriak-teriak memanggilku dari luar. Sepertinya gadis ini ketakutan sehingga memutuskan untuk masuk kesini.


Aku melihatnya membuka mulut untuk memprotes tindakanku, tapi hal yang terjadi sedetik kemudian benar-benar di luar kendaliku. Bukan mauku jika dia kelihatan begitu menggoda!
Aku merasakan dia terkesiap kaget saat aku menciumnya. Dia berniat mengangkat tangannya untuk memukulku tapi dengan cepat aku mengunci tangan itu di belakang tubuhnya.


Apa-apaan aku ini? Aku bukan tipe namja yang mencium seorang gadis sembarangan. Ini bahkan adalah ciuman pertamaku. Tapi aku merasa seolah-olah ini sudah sepantasnya terjadi, seolah-olah aku sudah menunggunya terlalu lama. Aku bahkan tidak lagi mendengar suara adikkku yang berteriak-teriak.

***



HYE-NA’S POV

Sepertinya aku terkena serangan jantung. Aku bisa merasakan tangannya yang mencengkeramku erat, nyaris kasar, berbanding terbalik dengan bibirnya yang mencium bibirku dengan begitu lembut, seperti memuja.


Tadi aku memang berniat memukulnya, tapi sesaat kemudian hal lain memenuhi otakku. Hasrat yang tiba-tiba saja menyeruak keluar.


Aku benar-benar merasa jijik terhadap diriku sendiri saat tangaku terjulur untuk memeluknya, membalas ciumannya dengan sepenuh hati. Seperti tak punya rasa malu, aku menelusupkan tanganku ke rambutnya, menariknya semakin mendekat.


“Kyuhyun hyung, kau mandi, ya? Ya sudahlah, aku beli makanan dulu!”


Aku mendengar suara tadi lagi, tapi sama sekali tidak mengacuhkannya. Aku juga tidak menyadari tubuhku yang menggigil kedinginan karena air yang sudah membuatku basah kuyup. Sebenarnya aku sudah tidak memedulikan apa-apa lagi sekarang.


Aku sudah nyaris gila saat sebuah keinginan melintas di benakku. Aku ingin memeluknya seperti ini selamanya. Apakah aku sudah lolos tes masuk rumah sakit jiwa?


Kami memisahkan diri dengan nafas terengah-engah. Dengan cepat aku menyadari apa yang terjadi lalu memeluk tubuhku yang rasanya sudah tidak karuan.


“Sudah terlambat, agasshi!” ejeknya, dengan seenak hati menatap tubuhku dengan begitu intens. Pakaianku sudah basah semua dan itu membuat seluruh lekuk tubuhku tercetak jelas.


“BRENGSEK KAU!!!” teriakku.


“Oh, memangnya siapa yang tadi membalas ciumanku dengan begitu semangat?”
Aku mendorong tubunhya, menolak mentah-mentah keinginan kuat untuk memeluk tubuh itu lagi. 


Astaga, ada apa dengan otakku?


Aku melangkah keluar kamar dengan air yang menetes-netes dari sekujur tubuhku. Aku membuang jauh-jauh maksud awalku datang kesini, memutuskan untuk tidak berurusan dengannya lagi. Tapi mendadak langkahku terhenti saat dia mencengkeram tanganku dari belakang.


“Mau apa kau kesini?”


“Aku ingin kau bertanggung jawab dengan skripsiku, tapi lupakan saja, aku tidak mau lagi berurusan denganmu!” sergahku kasar.


“Oh, ya? Tapi sepertinya sebentar lagi keinginanmu itu tidak akan terwujud, agasshi. Kau akan bertemu lagi denganku. Secepatnya.”

***


Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur. Pastinya setelah aku mengganti bajuku yang basah kuyup tadi. Aku berguling gelisah, semuanya terasa serba salah.


Sesaat aku menyentuh bibirku, membayangkan kejadian satu jam yang lalu. Menyesali tindakan bodohku yang bisa-bisanya kehilangan kendali seperti itu. Pacarku sendiri bahkan tidak pernah aku izinkan untuk menciumku, tapi aku malah dengan begitu bernafsunya membalas ciuman namja brengsek yang sama sekali tidak aku kenal itu!


Saat memikirkan hal itu, entah kenapa secara refleks aku menyentuh cincin perak yang melingkar manis di jariku. Cincin aneh yang entah sejak kapan bisa ada di jariku. Seingatku saat aku terbangun di pagi hari setelah pesta ulang tahunku yang ke-17 waktu itu, cincin ini sudah ada. Aku sudah bertanya kepada semua orang, tapi tidak ada yang tahu bagaimana aku bisa memiliki cincin itu.


“Lebih dari kemarin, kurang dari esok.”
Itu terjemahan tulisan yang diukir di sekeliling cincin tersebut. Benar-benar membingungkan, karena aku sama sekali tidak mengerti maksudnya. Jujur saja, sejak pagi itu aku merasakan hidupku berlanjut dengan berbagai keanehan. Seolah-olah aku ini amnesia atau semacamnya….


***


KYUHYUN’S POV

Sejak satu jam yang lalu, untuk yang keseribu kalinya aku memutar ulang ciuman tadi di benakku. Lagi dan lagi. Terheran-heran kenapa otakku bisa jadi sekotor ini.


Ayahku sudah pulang dari rumah sakit tadi. Merasa bingung dengan kedatanganku ke rumah dan menyambutnya dengan sikap yang ramah, tidak seperti biasa. Oh, tentu saja, kan gara-gara dia aku bisa menikah dengan gadis itu.


Aku meraih HP dari atas meja di samping tempat tidurku, menghubungi nomor rumahku. Beberapa detik kemudian terdengar nada sambung yang langsung berubah menjadi suara lembut ibuku setelah itu.


“Eomma, bisa tidak besok kita ke rumah Hye-Na?” tanyaku dengan semangat begitu menggebu-gebu.


“Bisa saja. Kau ini aneh sekali Kyuhyun~a, kenapa kau tiba-tiba jadi semangat seperti itu?”


“Hanya ingin cepat-cepat punya istri saja, memangnya tidak boleh?”
Terdengar tawa dari seberang sana, membuat wajahku memerah.


“Baiklah, eomma akan menghubungi appa-nya.”

***



HYE-NA’S POV

“Hye-Na~ya, appa mau bicara sebentar.”
Langkahku terhenti saat mendengar nada serius dalam suaranya. Aku berbalik lalu duduk di hadapannya.


“Ada apa, appa?” tanyaku penasaran.
Ayahku berdeham pelan kemudian menatapku.


“Kau sudah besar, Hye-Na~ya.”


“Lalu?”

“Sudah saatnya menikah.”
Aku melongo menatap ayahku. Menikah?


“Tapi Eunhyuk belum melamarku, appa. Mungkin sebentar lagi.”


“Tidak, tidak. Bukan dengan Eunhyuk,” ujarnya sambil geleng-geleng kepala.


“Maksud, appa?” sergahku, langsung saja dikelilingi aura tak enak.


“Eommamu dan appa punya sahabat saat SMA dulu. Kami sepakat akan menjodohkan anak kami kalau berlawanan jenis. Lalu anak mereka lahir. Laki-laki. 2 tahun sebelum kau lahir. Dan sekarang kami rasa kalian berdua sudah cukup umur untuk menikah. Kami….”


“Shireo!” seruku marah. “Aku tidak sudi hidup dengan laki-laki yang bahkan belum pernah aku lihat tampangnya sekalipun. Kalau ayah memaksaku menikah, baik, aku akan menikah. Tapi hanya dengan Eunhyuk!” ujarku sengit sambil bangkit dari kursiku.


“Kau mau kemana, Hye-Na~ya?”


“Pergi kencan!” kataku kesal.


“Appa melarangmu pergi kemanapun mala mini! Keluarga mereka akan sampai 10 menit lagi, Hye-Na~ya!”


“Oh, bagus sekali! Appa seenaknya memberitahuku bahwa aku akan dijadikan menantu oleh seseorang hanya 10 menit sebelum mereka datang melamar? Bagus sekali! Appa benar-benar menyebalkan!” teriakku habis kesabaran.


Aku bergegas keluar tanpa menghiraukan panggilannya sedikitpun. Sialnya, pagar rumahku dikunci dan aku yakin 100% bahwa ayahku itu yang menyembunyikan kuncinya. Nekat, aku memutuskan untuk memanjatkan pagar rumahku yang tinggi itu. Aku baru saja melompat keluar, berpikir bahwa aku sudah sukses besar untuk keluar dari rumah, tapi tiba-tiba saja seseorang menangkap tubuhku dari bawah.


Aku berbalik untuk melihat siapa namja brengsek yang kurang ajar itu dan….


“APA YANG KAU LAKUKAN DISINI?!” teriakku dengan suara yang begitu memekakkan telinga. Syok berat.


Dia hanya diam dan dengan seenak perutnya membopongku seperti sedang membawa patung manekin. Dia menggendongku hanya dengan satu tangan, seolah-olah beratku Cuma 10 kg, bukan 57.
Dia menekan bel rumah di samping pagar dan appaku muncul beberapa saat kemudian, terburu-buru membukakan pagar. Aku meronta-ronta dalam gendongannya, menendang kesana kemari, tapi dia tetap saja tidak bereaksi apa-apa. Benar-benar sial!


Ayahku melongo menatap kami berdua dan terkesiap saat mendapati aku membalas tatapannya dengan sadis.


Namja paling brengsek sedunia itu, yang mulai detik ini aku yakini sebagai orang yang akan ditunangkan dengaku, menggotongku masuk ke dalam rumah, tidak memedulikan sumpah serapah yang keluar dari mulutku. Aku bahkan sudah menyebutkan seluruh isi kebun binatang padanya, tapi dia sepertinya benar-benar bebal dengan kelakuanku.


“Han Hye-Na, jaga cara bicaramu!” bentak appaku.


“Peduli setan!” umpatku. “Dan kau, cepat lepaskan aku!” salakku pada namja itu. Tapi dia malah menolak menatapku dan berbicara pada appaku.


“Ajjushi, orang tua saya akan menyusul 5 menit lagi, terjebak macet di jalan. Sebelum itu, boleh tidak aku bicara sebentar dengan Hye-Na?”
Appaku mengangguk lalu meninggalkan kami berdua. Baru saja aku keluar dari ruang tamu, dia langsung melempar tubuhku dengan kasar ke atas sofa.


“Sialan kau!” teriakku sengit sambil mengusap-usap bagian tubuhku yang terasa nyeri.


“Kau pernah diajarkan sopan santun tidak, sih?” tanyanya seraya mengambil tempat di sampingku. Secara refleks aku memundurkan tubuhku sejauh mungkin darinya.


“Aku belajar, tapi tidak untuk namja brengsek seperti kau!”
Dia menatapku tajam, membuatku lagi-lagi kehilangan kendali atas tubuhku. Kemudian aku merasakan hal itu lagi. Rasa rindu yang begitu purba. Aku sama sekali tak bisa menjelaskannya…. Lagipula yang benar saja! Masa aku merindukannya!


“Aku penasaran padamu,” ujarnya tiba-tiba. “Aku yakin kita tidak pernah bertemu sebelumnya, tapi rasanya… di kehidupan lalu aku seperti memiliki hubungan yang begitu intens denganmu. Yah, yang benar saja! Kau bukan tipeku, agasshi!” lanjutnya meremehkan.
Aku berusaha menatapnya sesadis mungkin walaupun hatiku sedikit berbunga-bunga mendengar ucapannya tadi. Ternyata dia juga memiliki perasaan yang sama sanehnya denganku.


“Dengar Cho Kyuhyun,” ujarku penuh tekanan. Aku memejamkan mataku sesaat, mencoba menjernihkan pikiran. Aku merasakan kepuasan yang aneh melandaku saat aku menyebut namanya. Ini benar-benar gila! “Siapapun kau, dulu ataupun sekarang, aku sama sekali tak berminat sedikitpun untuk menghabiskan hari-hariku dengan suami sepertimu! Jadi lebih baik kau batalkan saja perjodohan ini sekarang juga!”

***


KYUHYUN’S POV

Yang benar saja! Aku tidak akan membatalkan pernikahan hanya karena yeoja ini menolak untuk kunikahi.


“Asal kau tahu saja, aku juga sama tidak tertariknya denganmu. Tapi ini juga menyangkut keberlangsungan hidupmu sendiri, Hye-Na~ya.”


“Apa maksudmu?”


“Yah, aku dijodohkan denganmu untuk mendapat keturunan yang akan menjadi pewaris perusahaan ayahku.”
Dia menatapku syok.


“KETURUNAN?!” teriaknya dengan wajah murka. “AKU SAMA SEKALI TIDAK SUDI DISENTUH OLEHMU!”


“Aku juga tidak sudi menyentuhmu,” ujarku dingin.
Dia melemparkan tatapan jijik ke arahku sambil berusaha menenangkan diri.


“Oke, teruskan,” pintanya.


“Melihat reaksimu tadi, sudah dipastikan kita tidak akan memperoleh keturunan. Yah, menurutku penderitaan dengan menikahimu saja itu sudah lebih dari cukup, jadi aku sama sekali tidak akan menuntut apa-apa, asal kau tidak memperburuk imejku saja di depan wartawan.”


“Memangnya kau tidak bisa mengurus perusahaanmu sendiri?”


“Aku tidak tertarik jadi pengusaha. Aku hanya punya dua pilihan, menikah denganmu atau berhenti menjadi penyanyi. Dan tentu saja aku memilih yang pertama.”


“Dengan merelakan seumur hidupmu menikah dengan orang yang sama sekali tidak kau cintai?”


“Jika aku sednag sial mungkin aku bisa menyukaimu,” ujarku enteng.
Dia menatapku marah tapi memilih melempar pertanyaan lain.


“Lalu apa hubungannya denganku?”


“Ayahku memiliki 30% saham di perusahaanmu.”
Aku tidak melanjutkan penjelasanku tapi dia dengan cepat mengerti kemana arah pembicaraan ini.


“Sial!” umpatnya pelan.


“Jadi?”


“Oke, oke, baik! Dengan syarat sedikitpun kau tidak boleh menyentuhku lagi!”

***


HYE-NA’S POV

“Memangnya aku tidak mahir mencium, ya?” tanyanya sambil memegang pipiku, memaksaku menatap matanya.


Terlalu mahir, jawabku dalam hati.


Aku memalingkan wajahku lalu dengan salah tingkah menjauh darinya.


Dia tertawa kecil dengan tampang yang jelas-jelas menggodaku. Aku tidak tahu harus berbuat apa saat tiba-tiba bel rumahku berdering menyelamatkanku.


Aku menghela nafas lega sambil bergegas membuka pintu. Kyuhyun mengikuti, tertawa-tawa di belakangku.


“Calon mertua datang,” bisiknya di telingaku.


Aku mendelik menatapnya, memutar kunci lalu membuka pintu. Sepasang suami istri separuh baya berdiri berdampingan, tersenyum ramah kepadaku. Melihat mereka aku mau tidak mau juga balas tersenyum. Mereka kelihatannya baik sekali, tidak seperti anak mereka yang menyebalkan ini.


“Annyeonghaseyo, ajjushi, ajjumma, silahkan masuk!” ujarku sambil menyingkir untuk memberi jalan.
Ibu Kyuhyun merangkulku, menggiringku masuk bersama mereka. Sekilas aku terkesima dengan wajah keibuannya. Sepertinya perjodohan ini tidak akan seburuk yang aku kira.


Kami duduk di meja makan. Aku merutuk di dalam hati, kenapa aku harus mendapat tempat di samping Kyuhyun? Dan yang paling sial adalah aku jadi tidak bisa makan karena terlalu sibuk meredakan detak jantungku yang menggila.


Aku meliriknya dari sudut mataku dan langsung terkesiap saat mendapatinya juga melakukan hal yang sama. Dia tampak kaku dan gelisah. Matanya menatapku heran dan sedetik aku merasa yakin dia sama gilanya denganku.

***



KYUHYUN’S POV

Aku mengaduk-aduk makananku tanpa selera, sibuk bertanya-tanya dalam hati seberapa hebatnya gadis ini sampai bisa membuatku tidak waras seperti ini. Kenapa seolah-olah dia mendadak jadi bagian penting dalam hidupku? Seolah-olah aku begitu merindukannya. Seolah-olah aku telah mencintainya seumur hidupku.


“Kyuhyun sepertinya sudah tidak sabar untuk menikahimu, Hye-Na~ya, makanya dia meminta kami cepat-cepat datang kesini untuk melamarmu.”
Aku mendelik menatap ibuku. Membuatku malu saja.


“Bagus itu!” ujar ayah Hye-Na sambil tersenyum lebar ke arahku. Aku membalas senyumnya dan beralih menatap Hye-Na, penasaran dengan reaksinya. Dia balas memandangku. Wajahnya begitu datar tanpa ekspresi.


“Jadi kalian mau langsung menikah atau tunangan dulu?” Tanya ibuku tiba-tiba.


“Menikah,” ujar Hye-Na di luar perkiraanku.
Aku berusaha membaca raut wajahnya, tapi tetap saja tidak ada reaksi apapun di wajahnya.


“Bagaimana kalau bulan depan? 3 minggu sepertinya cukup,” kata ibuku mendadak bersemangat.
Ayahku mengangguk setuju.


“Bagaimana, Hye-Na~ya?” tanya ayahnya.

“Terserah. Aku ikut saja.”


***



HYE-NA’S POV

Mereka sudah pulang sekitar setengah jam yang lalu, tapi aku masih saja duduk terpekur di atas ranjangku. Melayangkan pikiran ke tahun-tahun sebelumnya. Saat Eunhyuk mengungkapkan perasaannya terhadapku di depan murid satu sekolahan saat malam pesta dansa kelulusan…. Betapa dalam perasaanku dulu padanya….


Dulu? Aku bahkan tidak tahu kenapa aku menggunakan kata dulu untuk perasaanku padanya. 

Memangnya sekarang kenapa? Perasaanku sekarang kenapa? Atau aku memang tidak pernah punya perasaan apa-apa terhadapnya?


Jauh dalam lubuk hatiku, aku tahu aku tidak pernah mencintainya. Seolah-olah hatiku sudah dipesan untuk seseorang. Seolah-olah aku sedang menunggu seseorang datang untuk mengambil hatiku.
Aku mulai 100% yakin bahwa aku pasti amnesia, bahwa aku melupakan sesuatu yang paling penting dalam hidupku. Tapi apa? Karena kalau namja itu memang orang terpenting dalam hidupku, dia pasti akan mengenaliku, kan? Masa dia juga amnesia?


Appaku mengetuk pintu kamarku dari luar.


“Masuk,” ujarku.


Beliau membuka pintu lalu masuk ke dalam dan duduk di sampingku. Dia mengusap rambutku pelan, membuatku tidak tahan untuk tidak menyurukkan wajahku di dadanya. Memeluknya erat-erat. Aku suka sekali wangi tubuh appaku. Sangat khas.


“Kau yakin, Hye-Na~ya?”
Aku mendongakkan kepala, menatapnya lalu mengangguk.


“Anak baik. Tapi kenapa kau cepat sekali berubah pikiran? Apa karena dia tampan?” canda appaku, membuatku tertawa kecil.


“Salah satunya,” ujarku.


“Lalu yang lain?”


“Yang lain? Entahlah. Rasanya aneh. Aku ingin saja menikah dengannya.”
Appaku tersenyum lalu menepuk-nepuk punggungku lembut.


“Eunhyuk bagaimana?”
Aku menghela nafas mendengar nama itu disebut. Aku sudah memikirkannnya dari tadi tapi tetap saja tidak ada jalan keluar.


***


Aku menunduk, pura-pura memperhatikan jariku yang saling bertaut. Aku takut sekali mendengar reaksi Eunhyuk setelah aku memberitahunya bahwa aku akan menikah dengan orang lain. Dia tidak bertanya dengan siapa dan aku juga tidak berniat memberitahunya dengan siapa aku akan menikah. 


Dia hanya diam dan itu membuatku gila!


“Aku mohon bicaralah,” pintaku setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan.


“Kau mau aku bicara apa? Kau mau aku melepaskanmu? Kau tahu aku tidak akan sanggup, Hye-Na,” ujarnya dengan nada begitu putus asa.


Aku mengangkat wajah untuk menatapnya, mencelos saat menyadari kekagumanku dulu menghilang begitu saja, seolah-olah perasaan itu tidak pernah singgah sedikitpun.  Yang ada sekarang hanyalah rasa tidak enak hati karena aku harus melukai perasaannya.


Dia dulu pernah dihukum karena terlambat saat hari pertama kuliah hanya karena aku meninggalkan atribut OSPEK-ku di rumah dan dia rela menjemputnya demi aku. Dia pernah memberikan makalahnya untukku hanya karena aku lupa membuatnya sehingga dia harus membuat tugas itu dua kali lipat sebagai hukuman. Dia mengisikan kertas ujianku saat aku lupa kalau hari itu ada kuis mendadak, sampai-sampai dia mendapat nilai terendah di kelas karena ujiannya sendiri tidak selesai. Dia rela tidak tidur semalaman untuk menemaniku mengobrol di telepon, padahal waktu itu aku tahu dia kelelahan karena siangnya dia harus membantu bibinya mengurus pernikahan sepupunya. Dan masih ada banyak lagi pengorbanannya untukku. Untuk keegoisanku.


“Kau mencintainya?” tanyanya tiba-tiba.


“Sama sekali tidak.”


“Lalu?”


“Aku hanya harus menikah dengannya, Eunhyuk~a.”


“Tapi kenapa, Hye-Na~ya?” sergahnya.
Aku menggeleng. Aku sudah memutuskan dia tidak perlu tahu alasannya. Alasan sintingku.


“Kau mau aku melepaskanmu?” tanyanya lagi.
Perlahan aku mengangguk.


“Baiklah.”
Nada suaranya terdengar biasa-biasa saja, tapi aku tahu betapa hancurnya dia. Aku bangkit berdiri. 


Memangnya apa lagi yang aku harapkan disini selain tambah menyakiti hatinya?


“Aku pergi,” pamitku lalu melangkah keluar dari kafe, meninggalkannya sendirian.
Apa aku akan mendapatkan karma?
Sesampainya di mobil HP-ku berbunyi nyaring, menandakan ada sms masuk.
Tetaplah bersinar, jagi~ya…. Jaga dirimu baik-baik….

-Eunhyuk-

***



KYUHYUN’S POV

Aku mendongak saat mendengar pintu apartemenku dibanting keras oleh adikku. Aku melempar majalah yang sedang kubaca ke atas meja lalu mendelik ke arahnya.


“Kau kenapa?”


Dia menghempaskan tubuhnya ke atas sofa dengan wajah suntuk, tidak mengacuhkan pertanyaanku. Kelihatan sekali kalau dia sedang patah hati.


Aku ingat betapa dia dulu menyanjung-nyanjung gadis yang menjadi pacarnya 4 tahun terakhir ini. Gadis itu cantiklah, baiklah, dan berbagai hal lain yang membuatku sangat penasaran dengan gadis yang begitu dicintainya itu. Dia bersikap seakan-akan gadis itu baru turun dari kahyangan. Seorang biudadari yang menjelma menjadi rakyat jelata. Dan seperti kisah cinta tragis lainnya, dia sedang merana sekarang.


“Masih tersisa tempat untuk menerima kabar buruk tidak?” tanyaku.
Dia mengangkat wajahnya lalu menatapku heran.


“Kau memang tidak pernah menceritakan hal-hal yang baik padaku!” ujarnya sewot.


“Aku akan menikah.”
Kali ini dia menatapku kesal.


“Itu berita bagus, tolol! Kau akan menikah sedangkan aku ditinggal kawin oleh pacarku sendiri!”


“Oh, kasihan sekali kau!”


“Aku penasaran sekali dengan namja itu! Aku mendapatkannya dengan susah payah tapi namja itu dengan begitu mudah bisa menikah dengannya.”


“Memangnya kalau bertemu dengannya kau mau apa?”


“Berlutut di hadapannya agar dia menyerahkan lagi bidadari itu padaku.”


HYE-NA’S POV

Aku mengamati satu persatu berpuluh-puluh baju pengantin yang berderet di hadapanku. Siang ini aku sedang mencari baju pengantin yang akan aku pakai nanti, ditemani oleh… ehm, calon ibu mertuaku. Demi Tuhan, dia baik sekali! Aku bahkan boleh memanggilnya eomma.


“Kau mau gaun pengantin yang bagaimana, Hye-Na?”


“Bagaimana kalau eomma saja yang memilihkan?” usulku sambil menggandeng tangannya lalu menariknya ke bagian sudut toko, tempat berbagai gaun pengantin yang paling baru berjejer rapi.


Dia tersenyum senang lalu mulai sibuk memilihkan gaun yang cocok untukku. Aku menatapnya, membayangkan betapa senangnya jika aku punya eomma. Kyuhyun beruntung sekali….


Dan saat aku memikirkannya itulah dia tiba-tiba saja muncul di hadapanku. Dia berjalan ke arah kami, membuat pikiranku mulai melantur kesana kemari.


Dia tampan sekali siang ini. Kemeja putih itu membalut pas tubuhnya yang atletis dan kacamata hitam itu… sebenarnya dia bisa terlihat setampan apa?


“Sudah selesai belum?” tanyanya setelah berhadap-hadapan dengan kami.


“Kau ini! Dasar!” gerutu eommanya.


“Aku harus membawanya sekarang, eomma!” protesnya.


“Memangnya mau kemana?” tanyaku heran.


“Kau pikir apa pendapat wartawan jika tahu aku tiba-tiba menikah? Mereka bisa berpikir bahwa aku menghamilimu. Kita akan membuat konferensi pers sekarang.”
Wajahku memerah mendengar ucapannya barusan. Namja ini benar-benar tidak tahu basa-basi sepertinya.


“Kyuhyun~a, sopan sedikit kalau bicara!” tegur eommanya.


“Gaunnya belum dapat juga?” tanyanya tanpa mengacuhkan perkataan eommanya sedikitpun.
Aku menggeleng.


“Dasar yeoja!” gerutunya. Dan tiba-tiba saja dia sudah menarik sehelai gaun pengantin lalu menyodorkannya ke arahku.


“Suka tidak?”


“Terlalu mewah,” ujarku dengan wajah semerah kepiting rebus. Apa-apaan dia?


“Tapi kau kan tahu bahwa ini bagus! Kau pikir aku tidak bisa membaca isi kepalamu?!” sergahnya lalu memberikan gaun itu ke pelayan toko.
Bagaimana dia tahu bahwa aku naksir sekali dengan gaun itu? Masa dia benar-benar bisa membaca pikiran?


“Tidak perlu dicoba dulu? tanya pelayan toko ittu sambil menatap Kyuhyun kagum. Berani sekali dia!


“Aku tahu ukurannya. Bungkus saja!”


“Kau!” geramku.


“Hmmfh… kalian ini ada-ada saja!” gerutu eomma Kyuhyun sambil melangkah keluar toko meninggalkan kami berdua.


“Eomma pulang dulu, Hye-Na~ya! Semoga konferensin persnya sukses!” serunya.

***



Aku menatap kaca dengan muram, memasrahkan wajahku dipreteli oleh tukang salon. Huh, mau konferensi pers saja harus dandan segala! Menyebalkan!


Aku melirik pakaian yang sekarang aku kenakan. Gaun terusan selutut berwarna hijau lembut. Sebenarnya menurutku sia-sia saja dia berusaha mendandaniku seperti ini, toh wajahku memang sudah tidak memadai. Lagipula kalau dia malu dengan penampilanku mengapa tidak cari yeoja lain saja?

“Sudah selesai, agasshi!” Suara itu membuyarkan lamunanku dan seketika saja aku menatap bayangan seorang perempuan cantik yang terpantul di kaca. Gadis itu cantik sekali, dengan polesan make-up yang tidak terlalu kentara. Lalu aku tersadar bahwa yeoja itu aku! Aku!


Aku berbalik saat melihat pantulan wajah Kyuhyun di belakangku, merasa sennag karena dia sejenak tertegun melihat penampilanku. Tapi dia sama sekali tidak berkomentar apa-apa dan malah menarik tanganku ke sudut ruangan lalu menyuruhku duduk di atas sofa.


“Kapan kau ulang tahun?” tanyanya tiba-tiba


“M… mwo?”


“Kita harus jaga-jaga, jangan sampai mereka curiga.”


“15 Juli 1989.”


“Aku 3 Februari 1987. Makanan dan minuman favoritmu?”


“Aku pemakan segala, kalau kau mau tahu!” ujarku sewot.
Dia hanya mengangkat bahu tak peduli.


“Ya sudahlah, lebih baik nanti kau diam saja. Arasseo?”

***


“Bisa ceritakan bagaimana pertemuan kalian?”
Itu pertanyaan pertama.


“Aku menabraknya di kampus. Laptopnya hancur, padahal dia harus menyerahkan skripsi siang itu. Lalu dia marah-marah padaku. Merecokiku setiap hari. Mengikutiku kemana-mana. Tapi lama-lama aku jadi terbiasa dengan kehadirannya. Kebetulan juga bahwa ternyata kami sudah dijodohkan sejak kecil. 
Dia menolak mentah-mentah tentu saja, sedangkan aku baru sadar bahwa sejak saat itu rasanya sulit sekali membayangkan hidup tanpa dia. Karena hidup tanpa dia… sama sekali bukan hidup.”
Terdengar suitan dan tepukan dimana-mana. Heran, kenapa dia tidak main drama saja? Aku kan tahu sekali bahwa kehadiranku malah membuatnya merana.


“Lalu sejak kapan kau memutuskan untuk menikahinya?”


“Sejak aku menabraknya waktu itu. Mungkin kalian tidak percaya, tapi… hanya sekali lihat aku langsung tahu bahwa yeoja inilah yang akan menjadi ibu dari anak-anakku. Yeoja inilah yang akan menua bersamaku. Setiap hari aku diliputi kecemasan bahwa dia akan menemukan namja lain yang lebih baik dariku, namja yang akan ikut menangis jika dia bersedih dan akan berusaha membahagiakannya setiap hari, sedangkan dia tidak tahu bahwa tidak ada namja manapun yang bisa mencintainya sebaik aku. Aku harus cepat mengambil keputusan sebelum namja itu datang dan merusak segalanya. Karena itu aku melamarnya.”


“Jadi dia tidak hamil?”


“Tidak. Yang benar saja! Kami sudah berhubungan cukup lama. Kalian saja yang tidak tahu. Lagipula kami sudah cukup umur untuk menikah.”


“Lalu bagaimana dengan karirmu?”


“Aku ingin orang menyukai laguku. Bukan statusku.”
Aku menatapnya kagum. Dari mana dia mendapat semua kosakata itu? Ngomong-ngomong dia tampan juga kaalau pakai jas.


“Nah, Hye-Na~ya, kenapa kau setuju menikah dengan Kyuhyun? Apa karena dia terkenal?”
Aku terdiam sesaat. Mencari kata-kata yang tepat.


“Bukankah sudah jelas sekali? Wanita bodoh mana yang akan melewatkan seorang Cho Kyuhyun?”

***


Mobil Kyuhyun sedang melaju kencang di jalanan saat melodi kesukaanku mengalun dari tape mobilnya.


“Kau juga suka lagu ini? Aku mendengarnya setiap malam tapi sampai sekarang masih tidak tahu juga siapa penyanyi dan judul lagunya,” ceplosku.
Dia tertawa kecil sambil menatapku kasihan.


“Itu laguku, Hye-Na~ya. Masa kau tidak tahu?”
Aku memalingkan wajahku menahan malu. Sial, bodoh sekali aku!


“Judulnya Benda Hidup Tercantik Di Jagad Raya, Hye-Na~ya,” ujarnya geli.


“Kau yang membuatnya?” tanyaku berusaha terdengar tidak peduli.


“Siapa lagi?” Dia balik bertanya.
Dia maasih tertawa-tawa saat mobilnya berhenti di depan rumahku.


“Kau bisa diam tidak?” geramku kesal. Aku membuka pintu mobil lalu menghempaskannya sekuat tenaga setelah aku berada di luar.


Kyuhyun menurunkan kaca mobilnya, menatapku dengan tampang serius.


“Ngomong-ngomong Hye-Na~ya, aku lupa bilang. Kau cantik sekali malam ini.”
Dan jantungku langsung berhenti berdetak.”


***



KYUHYUN’S POV

Aku masih saja tertawa geli di sepanjang perjalanan pulang. Gadis itu lucu sekali. Sekaligus cantik.
Aku mendandaninya bukan karena dia jelek atau apa, tapi karena aku ingin dia terlihat lebih percaya diri, agar dia sadar bahwa dia tidak sejelek apa yang diperkirakannya selama ini. Tapi ternyata dia jauh lebih cantik dari perkiraanku.


Aku membelokkan mobilku ke lapangan parkir apartemen. Tersenyumpada satpam jaga lalu cepat-cepat naik ke atas. Aku sudah capek sekali.


“Kau sudah pulang?” tanya adikku tanpa mengalihkan tatapannya dari TV.


“Mengherankan sekali kenapa seseorang selalu menanyakan hal itu kepadamu padahal sudah jelas-jelas kau ada di rumah,” ejekku.


“Basa-basi, tolol!” sungutnya.
Aku nyengir lalu membuka kulkas untuk mengambil minuman.


“Pemarah sekali! Kau masih stress, ya?”


“Dan kau kelihatan ceria sekali malam ini. Kau darimana, sih?”


“Konferensi pers.”


“Oh,” ucapnya paham. “Kelihatannya calon istrimu ini istimewa sekali sampai kau jadi seperti itu!”


“Mungkin. Yang jelas dia cantik sekali.”


“Tapi masa sih kau menyukainya? Cepat sekali. Setahuku kalian berdua kan dijodohkan.”
Aku hanya mengangkat bahu mendengar pertanyaannya.


“Lagipula kenapa sih kau menyetujui perjodohan ini? Masalah perusahaan kan sudah diputuskan bahwa yang akan mengurusnya.”


“Sepertinya eomma dan appa tidak mau begitu saja membiarkanku enak-enakkan.”


“Oh, ya? Dan ternyata calon istrimu kebetulan juga tidak mengecewakan, begitu? Beruntung sekali!” ejeknya.


“Kau mau kuberi saran tidak? Lebih baik kau lupakan gadis itu lalu mulailah mencari calon istri untuk dirimu sendiri. Aku tidak mau kau merecokiku terus!”


“Sialan kau!” ujarnya sambil melemparkan bantal sofa ke arahku.

***



HYE-NA’S POV

Ibu mertuaku menelepon tadi pagi, memintaku datang ke rumahnya siang ini, yang dengan senang hati langsung aku turuti. Maka disinilah aku sekarang, di rumah yang begitu besar dan mewah ini, sehingga aku sempat berpikir bahwa negeri dongeng itu memang ada dan Kyuhyun itu adalah pangeran berkuda putihnya.


Eommaku – boleh kan aku memanggilnya seperti itu?- sekarang sedang menghidangkan secangkir teh untuk kami berdua. Dia mengajakku ngobrol di gazebo yang terletak di taman belakang rumahnya. Pemandangan disini indah sekali. Dari kejauhan tampak danau yang mengalir tenang, dikelilingi pohon-pohon yang daunnya mulai berguguran. Taman yang besarnya nyaris menyamai lapangan golf ini dibuat berbukit-bukit, membuatku merasa bahwa mereka tidak perlu bersusah-payah pergi liburan.


“Bagus sekali bukan?” tanyanya yang langsung kubalas dengan anggukan.


“Sebenarnya eomma tidak pernah berencana untuk menuntut perjodohaan ini kepada ayahmu, tapi eomma sudah lelah, Hye-Na~ya. Maaf, karena eomma sudah merenggut masa depanmu dengan cara seperti ini. Keadaan Kyuhyun sudah cukup mengkhawatirkan eomma. Umurnya sudah 22 tahun tapi belum sekalipun eomma mendengar dia dia menjalin hubungan dengan wanita manapun. Dia seperti merasa sudah cukup dengan hidupnya. Tapi dia tidak pernah terlihat hidup, Hye-Na~ya. Dia jarang tersenyum, tertawa pun tidak pernah.”


“Lalu eomma memberitahukan perjodohan ini padanya. Tahu bahwa dia akan memberontak. Tapi saat dia melihat fotomu, entah kenapa dia jadi begitu bersemangat dan saat itulah eomma merasa ini akan berhasil. Dia hidup. Tak pernah terlihat semanusiawi sekarang. Dia menatapmu, Hye-Na~ya, dan cara dia menatapmu itu seolah-olah dia baru melihat surga untuk pertama kalinya. Mungkin kau tidak sadar, tapi eomma selalu memperhatikan. Dia memang selalu membentak-bentakmu, tapi itu adalah pertanda bahwa dia memperhatikanmu. Bahwa dia peduli. Dan itu sudah cukup bagiku.”
Aku terpana menatapnya. Masa sih Kyuhyun seperti itu? Perasaan dia selalu menatapku dengan ekspresinya yang ketus dan dingin itu.


“Nah, itu dia!”
Aku menoleh lalu melihatnya berjalan ke arah kami. Hari ini dia memakai baju kaus putih sederhana yang entah kenapa bisa membuatnya terlihat semakin tampan.


“Memangnya kau tidak ada konser atau apa? Masa kau di rumah setiap hari?” tanyaku heran.


“Sekarang memang tidak ada, tapi minggu depan jadwalku penuh. Jadi lebih baik kau memanfaatkan waktuku sebaik-baiknya sekarang.”


“Aku?”


“Memangnya kau tidak mau mengajakku kencan?” tanyanya sambil mencomot kue dari atas piring lalu memasukkannya ke dalam mulut, sedangkan aku terperangah kaget mendengar ucapannya.
Ibunya malah tertawa geli lalu memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.


“Bagaimana kalau kita nonton? Atau mungkin kau mau pergi ke suatu tempat?” tanyanya lagi dengan nada yang terkesan tidak peduli.
Aigoo… aigoo!!! Aku bisa gila!


“Ya sudah, nonton saja kalau begitu,” putusnya lalu menarik tanganku pergi.
Oh, kupikir aku tidak akan rela cuci tangan hari ini.


***


Dia memakai kacamata hitam dan topi putih untuk menyamarkan wajahnya, tapi kupikir itu akan sia-sia saja. Dia terlalu mencolok, terlalu tampan untuk dilewatkan. Dan benar saja, sekelompok gadis yang sedang menunggu film diputar pun langsung menunjuk-nunjuknya dengan penuh semangat. Seseorang dari mereka mendekat ke arah kami lalu member tanda agar teman-temannya juga mendekat.


“Kyuhyun oppa, kami boleh minta foto bersama, ya?”
Kyuhyun mengangguk lalu dengan pasrah digilir kesana kemari untuk difoto. Kemudian setelah itu jadi begitu banyak gadis yang mengerubunginya. Aku memutuskan untuk menyingkir, tapi entah bagaimana dia tahu, karena tiba-tiba saja dia sudah menarik tanganku mendekat ke arahnya.


“Maaf, aku harus pergi dulu. hari ini jadwal kencanku. Tidak apa-apa, kan?” tanyanya sambil menyunggingkan senyumnya yang sudah pasti langsung membuat wanita manapaun rela melakukan apa saja untuknya.


Para gadis itu mengangguk dan sesaat kemudian Kyuhyun sudah menggandengku masuk ke bioskop yang sudah dibuka. Kami mendapat tempat tepat di tengah-tengah ruangan, strategis sekali untuk menonton. Tapi belum sampai 30 menit film diputar, aku sudah tidak tahan lagi untuk memprotes tindakannya.


“Kau ini kenapa?” desisku, merasa risih karena dari tadi dia bukannya menonton film tapi malah menonton aku!


“Hanya menatapmu, memangnya tidak boleh?” ujarnya enteng.
Ya Tuhan, lama-lama aku bisa jatuh cinta padanya!


***


Sepulang dari bioskop dia membawaku ke sebuah restoran mewah yang aku yakin harga makanannya seporsi kecil pasti ratusan ribu.


“Ini terlalu berlebihan, Kyuhyun~a,” bisikku.


“Ini diluar perkiraanmu,” katanya sambil menarikkan kursi untukku lalu memanggil pelayang yang datang membawakan buku menu.


Takut-takut aku melirik sedikit buku menu itu dan harga yang tertara disana jelas membuatku kaget. Dan Kyuhyun malah menertawakanku.


Aku menutupi wajahku dengan  buku menu itu lalu berbisik pada Kyuhyun.


“Ini murah sekali! Bagaimana kalau aku saja yang traktir?” tawarku.


“Malam ini milikku, Hye-Na~ya.”


“Tapi kan kau sudah mentraktirku nonton.”


“Tolong jangan membuat egoku terluka, Hye-Na~ya. Aku laki-laki.”


“Oke, oke! Kau ini dikasih enak malah tidak mau!” sungutku.
Aku menyebutkan pesananku lalu pelayan itu pergi. Merasa salah tingkah, aku memutar-mutar gelas di hadapanku.


“Oh, ada satu kejutan lagi,” ujarnya sambil bangkit berdiri.


“Kau mau kemana?”


“Hanya mau menunjukkan caraku. Aku tidak mau kau kehilangan sesuatu yang seharusnya kau miliki jika perjodohan ini tidak terjadi,” katanya penuh rahasia lalu pergi menghilang entah kemana.
Sesaat kemudian aku melihatnya sudah duduk di atas panggung yang disediakan khusus untuk penampilan musik live. Dia memegang gitar lalu mulai memetik senar-senarnya. Aku mendeangar teriakan dari meja sebelah, gadis-gadis di restoran ini mulai berteriak-teriak memanggil nama Kyuhyun. Sebenarnya seberapa terkenalnya sih dia? Huh, sepertinya mulai besok aku harus menonton TV.


Love, oh baby, my girl
Geudaen naui jeonbu 
Nunbushige areumdaun naui shinbu
Shini jushin seonmul
(Cinta, oh sayang, gadisku
Kau adalah segalanya bagiku
Pengantinku yamg cantik mempesona
Kau adalah hadiah dari Tuhan)


Haengbokhangayo
Geudaeui ggaman nuneseo nunmuri heurejyo 

Ggaman meori pappuri doel ddaeggajido
Naui sarang naui geudae
Saranghal geosul na mengsehalgeyo
(Apakah kau bahagia?
Air mata jatuh dari mata hitammu
Sekalipun rambut hitammu memutih
Cintaku, kau cintaku
Aku bersumpah aku mencintaimu) 


Geudaereul saranghandaneun mal
Pyeongsaeng maeil haejugo shipeo
Would you marry me?
Neol saranghalgo akkimyeo saragago shipeo
(Mengatakan bahwa aku mencintaimu 
Adalah apa yang ingin kulakukan setiap hari dalam hidupku
Maukah kau menikah denganku?
Mencintaimu dan menghargaimu, aku ingin hidup dengan cara ini)


Geudaega jamideul ddaemada

Nae pare jaeweojugo shipeo
Would you marry me?
Ireon naui maeum heorakhaejullae
(Aku ingin kau bersandar di bahuku
Setiap saat kau tertidur
Maukah kau menikah denganku?
Akankah kau memberi izin pada hatiku ini?)


Pyeongsaeng gyeote isseulge, I do….
Neol saranghaneun geol, I do….
Nungwa bigawado akkyeojumyeonseo, I do….
Neoreul jikyeojulge, my love….
(Aku akan berada di sampingmu di sepanjang sisa hidupku, aku bersedia….
Untuk mencintaimu, aku bersedia…. 
Tanpa menghiraukan salju dan hujan, aku akan berada disana untuk melindungimu, aku bersedia….
Biarkan aku menjadi satu-satunya pelindungmu, cintaku….) 


Hayan dressreul ibeun geudae 
Tuxedoreul  ibeun naui moseup 
Balgeoreumeul matchumyeo geodneun uri 
Jeo dainimgwa byeore, I swear 
Geojitmal shireo uishim shireo 
Saranghaneun daui gongjo, stay with me
(Kau memakai gaun pengantin putih
Aku memakai tuksedo
Kita berjalan serempak
Menuju bintang dan bulan, aku bersumpah
Tanpa kebohongan, tanpa kecurigaan
Gadisku tersayang, tetaplah bersamaku)


Uriga naireul meogeodo 
Useumyeo saragago shipeo
Would you marry me? 
Naui modeun nareul hamkke haejullae?
(Meskipun kita menua
Aku ingin hidup dengan terus tersenyum setiap hari
Maukah kau menikah denganku?
Apakah kau mau menghabiskan sisa hidupmu bersamaku?)


Himdeulgo eoryeowodo, I do….
Neul naega isseulge, I do….
Uri hamkehaneun manheunnaldongan, I do….
Maeilgamsahalge, my love….
(Melewati penderitaan dan kesulitan, aku bersedia….
Aku akan selalu berada di sampingmu, aku bersedia….
Begitu banyak hari yang akan kita habiskan bersama, aku bersedia….
Setiap hari hatiku akan selalu bersyukur, cintaku….) 


Oraejeonbuteo neoreul wihae junbihan 
Nae sone bitnanun banjirul badajwo
Oneulgwa gateun maemuro jigeume yaksok gieokhalge 
Would you marry me?
(Aku telah menyiapkan cincin ini untukmu sejak lama
Tolong ambil cincin yang bersinar ini dari tanganku
Aku akan mengingat janji yang kita bagi dengan perasaan yang sama
Maukah kau menikah denganku?) 


Naega geudaeyege deuril geoseun sarangbakke eobjyo 
Geujeo geuppuningeol bojalgeoteobjyo 
Seotulleoboigo manhi bujokhaedo
Naui sarang naui geudae jikyeojulgeyo 
(Satu-satunya hal yang bisa kuberikan padamu hanya cinta 
Hanya itu hal yang paling berharga yang aku punya
Aku tahu aku kekurangan dalam segala tapi tidak dengan cintaku
Aku akan memperlihatkannya dan aku akan melindungimu)


Hangajiman yaksokhaejullae 
Museunil isseodo 
Uri seoro saranghagiro geuppuniya
Nawa gyeorhonhaejullae, I do….
(Janjikan satu hal padaku
Tak peduli apapun yang terjadi
Kita akan tetap saling mencintai dan akan tetap seperti itu
Maukah kau menikah denganku? Aku bersedia….)


(Super Junior – Marry U)



Aku baru tahu bahwa suaranya bagus sekali. Aku sudah membuat reencana untuk membeli semua albumnya besok. Aku tidak mau jadi calon istri yang memalukan lagi!


Dia meletakkan gitarnya lalu meraih mikrofon.


“Maaf mengganggu acara makan malam kalian semua. Lima menit lagi kalian boleh melanjutkan. Han Hye-Na, aku tidak akan berbasa-basi dulu padamu. Aku akan memberimu tiga pilihan. Pilihan pertama, katakana iya dan kita segera menikah. Pilihan kedua, kau katakana tidak, lalu aku akan memaksamu mengatakan iya dan kita segera menikah. Pilihan ketiga, jika kau butuh waktu untuk memikirkannya, aku akan memberimu waktu satu hari untuk berpikir dan kita segera menikah. Bagaimana?”
Aku nyaris frustasi sekarang. Bukan hal aneh jika sebentar lagi aku jadi gila. Semua orang menatapku, membuatku merasa semakin gelisah.


“Kau hanya perlu mengangguk atau menggeleng, Hye-Na~ya,” ujarnya dengan nada geli.
Aku mendelik padanya lalu mengangguk. Aku tidak mau terlalu lama jadi pusat perhatian seperti ini.


Dia melangkah ke arahku kemudian duduk lagi di meja kami.


“Yakin kau tidak melupakan sesuatu?” ejekku.


“Sama sekali tidak,” katanya sambil merogoh saku jinsnya lalu mengulurkan sebuah kotak kecil ke arahku.


“Aku tidak mungkin melupakan hal terpenting, kan?” ujarnya.


“Ini… terlalu berlebihan,” keluhku.
Dia mengacuhkan ucapanku kemudian mengeluarkan cincin dari kotak itu.


“Tanganmu, Hye-Na~ya….”
Secara refleks aku mengulurkan tangan kiriku, lupa bahwa di jari manisnya sudah melingkar cincin lain.


“Maaf,” gumamku seraya menarik lepas cincin itu.


“Tunggu,” cegahnya. “Boleh aku lihat?”
Aku menatapnya bingung tapi tetap menyerahkan cincin itu padanya.


“Ini dari siapa?” tanyanya.
Aku mengangkat bahu.


“Mungkin aneh, tapi aku bahkan tidak tahu bagaimana bisa cincin itu ada padaku. Tapi karena aku suka ya aku pakai saja. Kenapa memangnya?”


“Entahlah. Rasanya aku pernah melihat cincin ini sebelumnya.”
Dia mengembalikan cincin  itu padaku lalu memasangkan cincin baru ke jari manisku.


“Suka tidak?”
Aku memperhatikan cincin pemberiannya. Emas putih dengan berlian yang membuatnya kelihatan begitu mewah. Hiasan rumit melingkari berlian itu. Kemudian aku mengangguk.


***


Aku memandang pantulan bayanganku di cermin. Tersenyum malu saat menyadari bahwa pipiku memerah dan dan mataku berbinar-binar bahagia. Bagaimana mungkin ibunya berpikir bahwa anaknya memiliki kelainan padahal dia sudah berhasil menawan hatiku habis-habisan?


Aku menatap cincin baru di jari manisku. Mengecupnya seperti orang gila. Cincin aneh itu sudah aku pasang lagi di jari manis tangan kananku, karena entah kenapa aku menganggap cincin itu sebagai symbol penting dalam kehidupan masa laluku, sebelum Kyuhyun masuk dan mempeorak-porandakannya.

Oh, Ya Tuhan, pernikahan ini benar-benar konyol!


***



KYUHYUN’S POV

“Bagaimana kencan istimewamu tadi?” selidik adikku saat aku baru melangkahkan kaki masuk ke ruang tamu.


“Kau tahu dari mana?”


“Eomma.”


“Menyenangkan.”


“Aku jadi penasaran seperti apa wajahnya.”


“Kenapa tidak kau lihat saja di TV atau majalah?”


“Aku tak punya banyak waktu. Kau kan tahu aku sedang sibuk menyelesaikan skripsi.”


“Oh, tapi tentunya kau punya waktu untuk menggangguku,” ejekku.


“Itu merupakan kesenangan bagiku, hyung. Aku tidak mau merana sendirian.”
Aku menghempaskan tubuh di sampingnya, menatap layar laptopnya yang sudah dipenuhi banyak tulisan.


“Kapan kau masuk kerja, Pak Direktur?” tanyaku sok peduli.


“Setelah kau kawin.”


“Dan itu berarti lusa?”


“Yah, cepat sekali bukan?”
Lusa? Aku akan menikahinya lusa? Aku tidak bisa membayangkan bisa secantik apa dia nanti di hari pernikahan kami….


***


EUNHYUK’S POV

Aku menyampirkan jasku asal-asalan. Bukan rahasia lagi jika aku tidak suka memakai pakaian resmi. Appa sudah mewanti-wantiku soal ini, dia bilang memangnya aku mau pakai baju kaus saat masuk kerja nanti?


Aku berusaha memasang dasiku seraya berjalan memasuki gedung hotel tempat pernikahan kakakku akan digelar.


Langkahku mendadak terhenti di depan pintu masuk. Sama sekali tidak memedulikan orang-orang yang menabrakku karena hal ini. Mataku tertumbuk pada tulisan yang terpajang di depan pintu itu.
Cho Kyuhyun dan Han Hye-Na? Hye-Na?


Brengsek! Pasti ada kesalahan! Kenapa aku tidak bisa menarik kesimpulan atas semua ini? Hye-Na yang tiba-tiba akan menikah, Kyuhyun hyung yang menyetujui perjodohannya. Kenapa aku tidak bisa emnghubungkan semuanya?


Bergegas aku menghambur masuk, tidak peduli tatapan bingung orang-orang yang melihat tingkahku. Gadisku akan menikah dengan hyungku sendiri? Aku tak akan membiarkannya!

***


HYE-NA’S POV

Aku ditinggal sendirian di ruangan ini setelah aku selesai dirias. Gaun pilihan Kyuhyun ternyata benar-benar pas di tubuhku. Dari tadi aku malah tidak ada henti-hentinya mengagumi diri sendiri, bertanya-tanya dalam hati bagaimana pendapat Kyuhyun nanti.


Tiba-tiba pintu ruang gantiku dibuka dengan kasar, sehingga terbanting dengan suara keras. Aku berbalik dan mendapati Eunhyuk berdiri di hadapanku, menatapku dengan sangar.


“Berani-beraninya kau menikah dengan hyungku!” teriaknya murka sambil menyentakkan tanganku, membuatku meringis kesakitan.


“Hyung?” tanyaku tak mengerti.


“Ya, dia itu hyungku! Kyuhyun itu hyungku! Sial!”
Informasi itu terserap di benakku. Refleks aku mengatupkan tanganku ke mulut sebagai reaksi terkejut.


“Oh, bagus! Jadi dia belum memberitahumu?” tukasnya sambil mengguncang-guncang tubuhku.
Lalu pemahaman baru terlintas di benakku. Aku menyakitinya…. Lagi. Seolah-olah belum cukup aku merajamnya, kemudian aku malah mendorongnya masuk ke dalam jurang penuh binatang buas.


“Mianhae. Mollayo,” ujarku lirih.
Dia menatapku dengan raut wajah putus asa kemudian mengguncang-guncang tubuhku lagi. Aku berusaha untuk tidak meringis kesakitan, karena aku memang pantas mendapatkannya. Aku bahkan tidak akan marah kalau dia menamparku atau mencaciku dengan segala macam makian yang dia tahu.


“Hentikan, Hye-Na~ya, kau harus membatalkan pernikahan ini. Masih ada waktu,” pintanya frustasi.


“Aku tidak bisa.”


“APANYA YANG TIDAK BISA?!” teriaknya dengan suara menggelegar, mencengkeram bahuku lebih keras. Aku tidak akan heran kalau tanganku sudah memar-memar sekarang.


“Enyahkan tanganmu dari tubuh gadisku!”
Aku memiringkan wajahku sedikit, memandang melewati bahu Eunhyuk. Dia berdiri di sana. Satu kakinya ditumpangkan ke kaki lain dan tangannya bersedekap di depan dada. Berkebalikan dengan posisi berdirinya yang tampak santai, ekspresinya tampak begitu kaku. Rahangnya mengeras dan matanya berkilat-kilat marah. Dia berbicara dengan suara yang begitu tenang dan lembut, tapi itu malah membuat kata-katanya terdengar lebih mengancam.


“Sekarang,” tegasnya.
Eunhyuk melepaskan cengkeramannya lalu berbalik menghadap Kyuhyun.


“Dunia ini kecil sekali bukan? Berkisar di tempat yang sama,” gumam Eunhyuk. Aku bisa mendengar kepedihan dalam suaranya dan rasa bersalah itu menghantamku lagi dengan telak.


“Apa aku perlu berlutut di hadapanmu untuk membuktikan ucapanku dulu?”
Kyuhyun seperti tersentak mendengar ucapan Eunhyuk. Dia menatap adiknya itu dengan kalut. Eunhyuk melangkah mendekati Kyuhyun lalu berhenti di sampingnya.


“Kurasa tidak. Jaga saja dia baik-baik untukku. Maaf, tapi aku minta tolong carikan alasan yang cukup masuk akal untuk eomma, aku rasa aku tidak sanggup melihatnya. Dan… Hye-Na~ya… semoga bahagia….”
Kata-katanya tersusun kacau, menggambarkan kegalauan hatinya. Sekilas dia menepuk bahu 


Kyuhyun pelan lalu beranjak keluar dari ruangan.


Kyuhyun menatapku. Lama sekali. Aku tidak bisa membaca ekspresinya. Baru beberapa menit kemudian dia mendekat dan memegangiku, membuatku tersadar bahwa tubuhku terasa sedikit limbung.
Dia menatapku tepat di manik mata, kemudian berbicara dengan suara lambat.


“Aku bisa… membatalkan pernikahan ini… kalau… kalau kau… mau. Aku tidak tahu kalian berdua…. Dia sangat mencintaimu, Hye-na~ya. Aku akan merasa sangat bersalah jika menyakiti hatinya.”


“Tidak,” desisku. Aku merasa mataku mulai basah, tetesan air mulai berusaha mendesak keluar. 

“Bagaimana… bagaimana denganmu… kau bisa….”


“Perseran dengan semua orang!” potongnya sambil mengacak-acak rambutnya frustasi. “Aku sudah menghancurkan hubungan kalian…. Aku….”


“Tidak… tidak!” sergahku.
Dia mendongak, mengerjapkan mata sesaat untuk memfokuskan pandangan.


“Pernikahannya bisa ditunda satu jam lagi. Jernihkan dulu pikiranmu, aku tidak mau kau menyesal,” putusnya.


“Tidak. Aku tidak apa-apa, oke? Kita sudah tinggal selangkah lagi, aku tidak mau merusaknya,” isakku dan sesaat kemudian tangisku meledak. Aku sudah menyakiti hati Eunhyuk dan hal itu membuatku depresi.


“Sudahlah, Hye-Na~ya. Tidak apa-apa.”
Cepat-cepat aku menghapus air mataku, melirik cermin untuk memastikan bahwa make-upku tidak luntur. Aku menarik nafas panjang, berusaha menenangkan diri.


“Aku sudah baikan. Kita keluar sekarang.”
Dia tampak enggan memenuhi permintaanku, tapi aku bersikeras menarik tangannya keluar ruangan. Aku bisa. Aku harus bisa. Aku tidak mau mengecewakan appaku.


***



KYUHYUN’S POV

Aku meliriknya cemas. Kekhawatiran melandaku bagai air bah. Aku merasa sangat egois. Kenapa aku tak pernah bertanya apakah dia punya pacar atau tidak? Selama ini aku hanya sibuk memikirkan keinginanku sendiri. Tidak pernah memikirkan apa yang dia inginkan.


Mereka berdua saling mencintai dan aku merusaknya hanya karena keenggananku untuk memimpin perusahaan. Apa-apaan aku ini?


“Aku jamin perusahaan appamu tidak akan bangkrut jika kita tidak jadi menikah,” bujukku.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.


“Kau pikir bagaimana pendapat semua orang jika kita membatalkan semuanya? Appku? Orang tuamu?”
Dalam hati aku membenarkan ucapannya. Tapi berusaha mengintimidasi, aku memegangi kedua sisi wajahnya dengan tanganku, menatapnya dalam-dalam.


“Sekitar setahun setelah kita menikah, kau boleh meminta cerai padaku. Kapan saja kau mau. Toh pernikahan ini cuma menuntut pewaris keturunan. Kau bisa bilang aku mandul atau semacamnya, aku sama sekali tidak keberatan.”
Tawa frustasi keluar dari sela-sela bibirnya.


“Oke… oke… terserah kau saja. Jadi bagaimana kalau sekarang kau pergi, karena pengantin pria kan seharusnya tidak menemui pengantin wanita.”


Aku mengangguk, melepaskan tangannya yang masih berada dalam genggamanku. Oh, apakah aku sudah bilang? Dia mempesona sekali hari ini. Membutakan.

***



HYE-NA’S POV

Aku merasakan semua orang menatapku, menjadikanku pusat perhatian saat aku melangkah tegang ke tempat Kyuhyun berdiri. Acara pernikahan taddi pagi berlangsung sukses dan tidak ada terlalu banyak orang, hanya ratusan mungkin. Tapi sekarang? Apakah lima ribu orang itu sebanyak ini? Sekilas aku malah menyadari dengan ngeri bahwa ini bahkan belum mencapai setengahnya.


Aku berkonsentarasi menatap Kyuhyun yang sudah menungguku di ujung ruangan. Latar belakang ribuan kelopak bunga yang menjuntai, membuat pemandangan ini semakin dramatis. Daun-daun indah yang berguguran di sepanjang jalan menemani langkahku. Apa tema pesta ini? Musim gugur yang melingkupi para tamu? Sekaligus musim semi yang dihadirkan di sekitar tempat berdiri pengantin?
Dia tampan sekali. Berapa kali lagi aku harus terkejut saat mendapatinya menjadi lebih tampan dan lebih tampan lagi?


Tapi anehnya dia juga balas menatapku dengan sorot kagum yang sama. Seolah-olah aku ini bidadari dan dia memenangkan taruhan untuk mendapatkanku. Dia begitu mempesona sekaligus begitu terpesona.


Aku sempat menyesal karena tidak melirik kaca tadi saking tegangnya menanti momen ini. Dan sekarang semuanya terasa begitu kekanak-kanakan.


Memanfaatkan kesempatan, aku melirik cermin yang diapasang menutupi dinding, memantulkan semua keramaian ini. Dan aku terkesiap kaget mendapati bahwa aku bahkan puluhan kali lebih cantik daripada tadi pagi. Gaun putih ini mewah sekali dan dandananku terasa begitu pas dengan wajahku yang berseri-seri bahagia.


Tinggal tiga langkah lagi menuju Kyuhyun dan konsentrasiku langsung terpecah saat melihat senyum kemenangan yang tersungging di bibirnya. Aku memegangi ayahku erat-erat, takut dengan berbagai kesalahan yang mungkin saja terjadi. Takut aku terserimpet gaunku sendiri dalam ketergesaanku menggapai tangannya.


Sekilas aku teringat peristiwa 10 jam yang lalu saat kami mengucapkan janji pernikahan. Saat itu aku merasa seolah-olah dia sudah benar-benar jadi milikku. Suamiku. Kawan hidupku.


Sekarang dia mengulurkan tangannya ke arahku dan aku menyambut uluran tangannya itu dengan senyum bahagia. Oh, masa bodoh apapun yang dipikirkannya nanti. Aku tidak keberatan kalau dia berpikir bahwa aku ini wanita genit yang begitu cepat berpindah hati. Persetan dengan itu semua! Yang jelas sekarang aku berada di sampingnya. Aku yang mendapatkannya.


Para wartawan berebut meemotret kami berdua, sedangkan kami mulai sibuk meladeni antrian para tamu yang datang untuk menyalami kami. Seperti tidak ada habis-habisnya, aku terus menyalami mereka, tersenyum sampai sekitar satu jam kemudian. Saat antrian sudah mulai berkurang dan para tamu mulai riuh menikmati hidangan, aku menghempaskan tubuh ke atas kursi. Kelelahan.


Kyuhyun menyodorkan segelas air padaku yang langsung kusambut dengan rasa penuh terima kasih. Saat itulah seorang gadis mungil melangkah lincah mendekati kami. Dia manis sekali. Dan menilik dari wajahnya, dia seumuran denganku.


“Annyeong!” sapanya ramah seraya merangkul dan mencium pipiku.


“Choi Ji-Yoo imnida, manajer Kyuhyun,” ujarnya sambil melempar tatapan kesal ke arah Kyuhyun. 

“Kenapa kau tidak mengenalkannya padaku?” tuntutnya.


“Sekarang kan kau sudah kenal,” jawab Kyuhyun cuek.


“Huh, kau ini! Ya sudahlah, aku cari makan dulu, awas saja kalau makanannya tidak enak, kuhabisi kau!” serunya ke arah Kyuhyun lalu melambai kepadaku kemudian berlalu dari hadapan kami.


“Dia menyenangkan sekali,” gumamku terpesona.


“Tapi terkadang juga menyebalkan,” timpal Kyuhyun.
Aku menatap gadis itu lagi untuk beberapa lama, dia benar-benar penuh semangat. Bergerak lincah kesana kemari menyapa semua orang.


“Kau tidak naksir padanya?” selidikku.
Kyuhyun menggeleng, raut wajahnya menunjukkan bahwa dia menganggap pertanyaanku tadi konyol sekali.


“Dia naksir Eunhyuk.”
Aku menatap Kyuhyun, membuatnya tersadar sudah kelewatan.


“Maaf, aku lupa,” gumamnya pelan.


“Lupakan.”

***



Music familier mengalun merdu. Lagu kesukaanku. The Carpenters, Close To You. Beberapa tamu mulai bergerak ke tengah ruangan, berdansa dengan pasangannya masing-masing. Dan tiba-tiba saja Kyuhyun sudah berdiri di hadapanku, membungkuk sopan seraya mengulurkan tangan..


Dengan tegas aku menggeleng kuat-kuat.


“Aku tidak bisa,” elakku.


“Aku bisa,” ujarnya, menatap mataku dalam-dalam lagi. Dan lagi-lagi seperti biasa, dengan mudahnya aku tertawan.


“Kau curang!” tuduhku.
Dia nyengir dengan tampang polos lalu membantuku melangkah dengan segala keribetan gaun ini. Orang-orang member jalan agar kami bisa lewat.


“Pegang tanganku,” katanya mengarahkan.


Aku menurut lalu dia meraih tangan kiriku untuk diletakkan di bahunya. Tapi konsentrasiku lebih terfokus ke diriku sendiri agar tidak terengah-engah akibat dampak keberadaan tangannya di pinggangku.


Dia pedansa yang hebat dan dia sabar sekali mengarahkan gerakanku.


“Sejak kapan di pernikahan ada acara dansa-dansa segala?” protesku dengan suara rendah.


“Entah. Ini kan ide eomma. Dia suka pesta pernikahan anak temannya dan ingin menirunya.”
Kami terdiam lagi. Aku pikir aku harus memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya. Aku menghirup wangi tubuhnya dalam-dalam. Seperti wangi cologne, tapi bercampur lagi dengan wangi lain yang lebih pekat, wangi tubuhnya sendiri, dan aku benar-benar menyukainya.


“Kau sudah baikan?” tanyanya tiba-tiba.


Setengah sadar aku mengangguk. Musiknya sudah berganti dengan musik lain. Instrumental megah yang tidak kuketahui judulnya, tapi indah sekali. Kami berdua terus berdansa. Aku bahkan setengah yakin bahwa dia tidak sadar musiknya sudah berubah, karena dia dari tadi hanya menunduk menatapku.


“Ngomong-ngomong, eomma dan appa memberikan tiket bulan madu untuk kita.”
Aku mendongak menatapnya dan baru menyadari bahwa hal itu merupakan suatu kesalahan, karena lagi-lagi aku terperangkap dalam tatapannya.


“Eh, kemana?” tanyaku nyaris sinting.


“Paris,” ujarnya tak yakin. “Aku bisa membatalkannya kalau kau mau. Biar aku yang bicara pada eomma dan appa.”


“Jangan!” cegahku, lalu cepaat-cepat meralat sebelum dia berpikir yang tidak-tidak, “Kau pikir kapan lagi aku bisa kesana? Gratis lagi!”


Dia tertawa kecil melihat tingkahku.


“Hati-hati Nyonya Cho, kau hanya pergi berdua denganku.”


“Oh, ya? Lalu kenapa?” tantangku.


“Kau yakin bisa menjaga diri dari pesonaku?”


“Sialan kau!”

***



EUNHYUK’S POV

Aku menonton acara TV di hadapanku dengan tatapan nanar. Entah setan apa yang merasukiku sampai sanggup menonton resepsi pernikahan mereka yang diliput besar-besaran oleh seluruh stasiun TV. Aku merasa limbung saat melihat mereka berdua berdansa, melihat bagaimana cara Kyuhyun menatap Hye-Na, melihat bagaimana Kyuhyun menyentuh Hye-Na dengan kelembutan sedemikian rupa seolah-olah gadis itu adalah Kristal seharga milyaran won yang gampang pecah.
Mau tidak mau aku dengan sangat terpaksa mengakui… dia mencintai Hye-Na… lebih daripada aku, bahkan sebelum dia sempat menyadarinya.
***
KYUHYUN’S POV

Sudah lewat tengah malam saat kami sampai di rumah. Setelah segala macam tetek bengek pernikahan dan konferensi persnya akhirnya kami bebas juga.
“Jangan bangunkan dia. Gendong saja. Dia pasti capek sekali,” bisik eommaku lalu turun dari mobil bersama appa.
Aku melirik Hye-Na yang sedang tertidur pulas di jok mobil. Wajahnya polos sekali seperti malaikat jika sedang tidur seperti itu….
Aku turun dari mobil lalu membuka pintu penumpang dan menggendongnya turun dengan hati-hati. Eommaku membiarkan pintu rumah terbuka lebar untuk memudahkanku lewat. Aku menendangnya sampai tertutup kemudian menaiki tangga sampai ke lantai atas.
Aku membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur pelan-pelan, berusaha agar dia tidak terbangun. Aku menarik selimut untuk menyelimuti tubuhnya lalu merapikan anak-anak rambutnya yang berantakan, menyelipkannya ke belakang telinga.
Aku mendengarkan nafasnya yang teratur, mendengarkan detak jantungnya. Aku bahkan tidak tidur semalaman karena memperhatikannya!
***
HYE-NA’S POV

Aku terbangun keesokan harinya saat sinar matahari mulai menyelinap masuk lewat jendela kamar. Aku menggeliat sesaat, membuka mata lalu mengerjap bingung mendapati ruangan dimana aku berada sekarang.
Hye-Na babo, bisikku pada diri sendiri. Kau sudah menikah sekarang.
Aku mengedarkan tatapanku ke sekeliling, terpaku sesaat pada pintu kaca besar yang terbuka ke balkon, lalu beralih lagi ke dalam kamar yang super luas ini. Semua peralatan elektronik seperti TV, DVD, home theatre, kulkas mini, computer, dan rak-rak berisi beratus-ratus VCD dan DVD lagu-lagu tersusun rapi di kamar ini. Aku menatap foto Kyuhyun yang dipigura besar di dinding lama-lama. Ngomong-ngomong dimana dia?
Aku bangkit lalu membuka pintu di sudut kamar. Bahkan kamar mandinya begitu besar.
Aku membersihkan diri secukupnya, berharap aku tidak bau-bau amat karena tidak mandi. Aku kan tidak tahu dimana dia meletakkan pakaian-pakaianku.
Setelah merasa sedikit segar, aku turun ke bawah mencarinya. Dia sedang duduk sendirian di kursi meja makan, sama sekali tidak menyentuh sarapannya.
“Pagi,” sapaku.
Dia mendongak lalu tersenyum. Aku membalas senyumnya seraya menarik kursi dan duduk di hadapannya.
“Pagi sekali kau bangun,” selidikku.
Aku mendapati ekspresi gugup di wajahnya lalu menyadari sesuatu, ada lingkaran hitam di bawah matanya.
“Kau tidak tidur semalaman?” tanyaku.
Kegugupannya semakin menjadi-jadi. Dia mengacak-acak rambutnya gusar lalu menatapku.
“Aku… eh… belum terbiasa dengan… ng… kehadiranmu. Jadi… maaf, tapi… aku laki-laki. Agak sedikit sulit bagiku. Kuharap kau mengerti.”
Aku mengangguk lalu pura-pura sibuk mengoleskan selai kacang ke permukaan rotiku, berusaha menyembunyikan wajahku yang sudah memerah.
***
Siang harinya kami bertiga sudah duduk di ruang keluarga sambil menonton TV. Aku baru saja selesai mandi setelah aku menanyakan kepada Kyuhyun dimana letak pakaianku. Ternyata dia sudah menyusunnya ke dalam lemari karena tadi malam dia sedang tidak ada kerjaan untuk mengalihkan perhatian katanya, membuat wajahku lagi-lagi memerah.
Appa Kyuhyun masih di kantor dan baru pulang satu jam lagi saat makan siang. Eomma sedang memasak di dapur bersama pembantunya. Tadinya sih aku berniat membantu, tapi eomma melarangku, alasannya aku pengantin baru, jadi belum boleh melakukan apa-apa. Aku sih bersyukur karena hal ini, aku saja tidak bisa membedakan mana yang garam dan mana yang gula. Mungkin bisa, kalau aku mencobanya satu per satu.
“Ngomong-ngomong, kapan kalian akan pergi berbulan madu? Bagaimana kalau lusa? Minggu depan kan kau harus konser keluar negeri, Kyuhyun~a.”
“Terserah saja,” katanya kedengaran tidak peduli. Dia malah sibuk memuntir-muntir rambutku ke jarinya, membuatku sedikit kehilangan fokus.
“Eomma, aku pulang!” Terdengar seruan dari pintu depan. Aku tersentak kaget dan Kyuhyun juga ikut membeku di sampingku. Itu suara Eunhyuk.
Dia masuk ke dalam ruangan lalu duduk di samping eomma sambil tersenyum lebar.
“Kau ini! Kenapa kemarin tidak datang, hah?” seru eomma pura-pura marah.
“Aigoo, eomma! Memangnya Kyuhyun hyung tidak bilang? Aku kemarin pagi datang, tapi tiba-tiba ada temanku yang kecelakaan, jadi aku ke rumah sakit.”
“Tidak. Eomma tidak sempat menanyainya. Kau ini, kan malamnya kau bisa datang!”
“Tidak bisa, eomma. Keluarganya sedang di luar kota, jadi aku yang menjaganya. Aku kan tidak mungkin meninggalkannya. Kalau dia kenapa-napa bagaimana?”
“Kau ini! Banyak sekali alasan! Ya sudah, cepat kenalan dengan kakak iparmu!”
Eunhyuk menatapku lalu tersenyum.
“Aku sudah kenal. Kami dulu satu SMA dan sekarang satu kampus. Benar kan, kakak ipar?”
Aku mengangguk. Benarkah dia sudah pulih secepat itu?
“Oh, bagus itu! Bagaimana, Hye-Na? dia dulu tidak kenal, kan?”
Aku menggeleng dengan senyum dipaksakan.
“Ya sudahlah, eomma mau lihat masakan dulu. kalian mengobrollah.”
Eomma menghilang ke balik pintu, meninggalkan kami bertiga dalam keadaan canggung. Eunhyuk yang terlebih dahulu memecah kesunyian.
“Aku sudah tidak apa-apa. Tenang saja!”
Aku masih tidak berkata apa-apa saat tiba-tiba saja Ji-Yoo datang.
“Hai semua!” serunya, riang seperti biasa. Dia duduk di sampingku, lalu menatap Eunhyuk terang-terangan.
“Kau disini juga?”
Eunhyuk tersenyum lalu mengangguk.
“Aku akan pindah kesini. Mungkin Kyuhyun dan Hye-Na mau pindah ke apartemen dalam waktu dekat?”
Kyuhyun mengangguk. Yah, aku bisa memahaminya. Kalau disini terus, bisa-bisa dia tidak tidur setiap malam, lagipula lama-lama eomma bisa-bisa curiga.
“Tidak, tidak!”
Tiba-tiba saja eomma sudah kembali lagi seraya melayangkan tatapan marah kepada anaknya.
“Kalian belum boleh pindah pokoknya! Eomma kan masih mau bersama Hye-Na! Nanti sehabis kalian bulan madu, kau akan sibuk tur kesana kemari, masa kau mau meninggalkan Hye-Na sendirian di apartemen?”
“Tapi eomma….”
“Tidak! Tidak bisa pokoknya! Dan kau Eunhyuk~a, kau tinggal saja dulu di paartemen hyungmu, daripada dibiarkan kosong begitu saja. Lagipula kan lebih dekat dari kantor.”
Aku tersenyum dalam hati. Eomma mengerikan sekali kalau sednag marah seperti itu. Lagipula aku lebih suka disini. Masih ada eomma dan appa yang akan melindungiku. Daripada di apartemen, bisa-bisa Kyuhyun macam-macam.
Tidak, mungkin saja bukan Kyuhyun. Bisa jadi malah aku yang hilang kendali….
***
EUNHYUK’S POV
“Hei, Eunhyuk, kau mau menunjukkan padaku tempat-tempat yang bagus tidak? Aku ada tugas kuliah. Soal fotografi kau kan jagonya!”
Aku menatap Ji-Yoo, berpikir sesaat lalu mengangguk.
“Makan dulu! Eomma kan sudah capek-capek masak!” sergah eommaku.
Kami beraanjak ke meja makan. Appa baru saja pulang, jadi kami semua sudah lengkap.
Aku mengambil tempat di depan Hye-Na. hal bodoh sebenarnya karena membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku jadi membayangkan bagaimana jika seandainya dialah yang menjadi istriku. Aku pasti akan menjadi namja paling beruntung sedunia. Sebelum berkhayal terlalu dalam, aku langsung berusaha menyingkirkan pikiran itu jauh-jauh.
“Bagaimana, Hye-Na? suka tinggal disini?” tanya appaku.
“Lumayanlah, appa. Tapi rasanya rumah ini terlalu besar.”
“Hahaha… bisa saja! Oh ya, bagaimana rencana bulan madu kalian?”
“Lusa kami berangkat,” jawab Kyuhyun.
“Bagus itu! Nanti kalau perginya berdua, pulangnya harus bertiga!”
Aku tersedak demi mendengar ucapan itu. Cepat-cepat aku menyambar air lalu meneguknya sampai tandas. Aku bisa merasakan Hye-Na menatapku dengan perasaan tidak enak.
“Makanya kalau makan jangan buru-buru!” ujar ibuku sambil mengusap-usap punggungku pelan.
“Ji-Yoo~a, kau sudah selesai belum? Bagaimana kalau kita pergi sekarang?”
Seolah menyadari situasi, Ji-Yoo mengangguk lalu berpamitan dnegan mereka semua.
“Hati-hati di jalan,” pesan eommaku.
***

Aku mengamati Ji-Yoo yang sedang asyik bergerak kesana kemari untuk mengabadikan gambar bangunan-bangunan tua. Tapi lagi-lagi aku terjebak dalam kenanganku bersama Hye-na dulu disini. Saat dia bersedia menemaniku menghabiskan waktu seharian untuk memotret. Diam-diam sebenarnya aku malah keasyikan mengambil fotonya. Aku menghabiskan dua rol film waktu itu.
Aku kembali fokus  saat Ji-Yoo menghempaskan tubuhnya di sampingku. Dia menenggak air putih dari botol minumnya lalu menyeka keringatnya.
“Kau kuat sekali,” ujarnya tiba-tiba.
Aku mengernyitkan kening bingung.
“Kalau aku jadi kau, aku pasti akan merana dalam beberapa minggu ke depan. Aku jadi heran sebenarnya, bukankah kau sangat mencintai Hye-Na? Saking cintanya kau bersikeras mempertahankan hubungan kalian selama 4 tahun padahal kau tahu dia sama sekali tidak mencintaimu. Tapi sekarang kau malah sembuh dengan begitu cepatnya.”
Aku terkesiap mendengar ucapannya.
“Aku mengamatimu tahu! Oh, sudahlah, jangan pura-pura bodoh seperti itu!” serunya saat melihat tampang tololku. “Masa sih kau tidak tahu bahwa aku menyukaimu? Aku kan selalu mengikutimu secara diam-diam selama ini!”
Aku tidak bisa berkata apa-apa saking kagetnya.
“Ah, tidak usah dipikirkan! Santai saja! Tapi kau harus menjawab pertanyaanku tadi. Kenapa aku bisa sembuh begitu cepat? Siapa tahu aku bisa mempelajarinya darimu.”
“Aku hanya menyadari… bahwa ada orang lain yang akan mencintai Hye-Na lebih daripada aku. Yang bersedia menghabiskan hidupnya untuk membahagiakan gadisku. Maka aku melepaskannya….”
“Hanya begitu?”
“Ya, cintaku hanya sesederhana itu. Asal dia bahagia, itu saja sudah cukup. Aku suka caranya tersenyum kepada Kyuhyun. Dia bahagia. Mereka memang belum sadar, tapi lihat saja nanti, pasti tidak ada yang bisa mengalahkan cinta mereka.”
“Oh, kedengarannya mudah sekali. Tapi aku rasa itu pasti akan sangat sulit untuk dilakukan.”
“Memangnya kau mau mempelajarinya untuk apa?”
“Untuk melupakanmu,” ujarnya enteng sambil menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Dia tersenyum dan cahaya matahari yang menyusup lewat celah-celah dedaunan memantul di wajahnya.
“Bagaimana kalau tidak usah saja? Berusahalah sedikit lagi, siapa tahu kau bisa menawanku?”

HYE-NA’S POV

Jangan tanya apa-apa padaku tentang Paris! Aku benar-benar buta tentang Negara satu ini. Yang kutahu hanya menara Eiffel saja. Pengetahuanku benar-benar payah!
Kami baru saja sampai di hotel mewah yang sudah disewakan eomma Kyuhyun untuk kami. Presidental suite room. Hotel ini berbintang lima, jadi bisa saja harga sewa kamarnya per malam mencapai ratusan juta dan kami akan menginap disini selama dua hari. Astaga!
“Ini terlalu berlebihan! Berapa ratus juta yang dihabiskan eomma dan appa untuk bulan madu ini?” protesku.
“Tak usah khawatir. Kami punya terlalu banyak uang yang tidak tahu mau dikemanakan. Jadi ini saja belum seberapa.”
“Kau kan bisa memberikannya pada orang yang membutuhkan!” sungutku.
“Sudah. Lagian kenapa sih hanya seperti ini saja kau sudah heboh seperti itu?”
“Ani.”
Aku sudah kehabisan bahan pembicaraan dan mulai kelimpungan sekarang. Kami hanya tinggal berdua dan hal ini amat sangat mengganggu kenyamananku.
“Kau mau tidur denganku atau tidak?” tanyanya tiba-tiba.
Aku bisa merasakan darah mengalir deras ke wajahku. Apa-apaan dia?
“Bisa tidak sih kau berhenti berpikiran kotor seperti itu? Aku hanya menanyakan apa kau keberatan atau tidak tidur seranjang denganku karena kalau iya aku bisa tidur di sofa,” ujarnya sambil menatapku sinis.
“Eh… tidak. Tidak… apa-apa. Ini kan kau yang bayar,” kataku salah tingkah. Mukaku mau ditaruh dimana?
Tidak tahu apa yang harus dilakukan, aku mengambil pakaian dari koper yang kubawa lalu memutuskan untuk mandi. Itu lebih baik agar aku bisa mendinginkan isi kepalaku yang kotor ini!
***
KYUHYUN’S POV

Aku melihatnya masuk ke kamar mandi dengan tergesa-gesa. Setelah memastikan bahwa dia akan berlama-lama di dalam sana, aku mulai membenamkan wajahku ke dalam kedua belah tanganku. Bukan salahku jika aku berpikiran yang tidak-tidak, aku kan laki-laki normal. Lagipula namja mana yang tahan sekamar dengan seorang yeoja yang berstatus istrinya yang sah tapi tidak diperbolehkan menyentuhnya?
Sekitar 15 menit kemudian dia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah sehabis keramas. Wangi sabunnya menyebar- kemana-mana, membuatku hilang akal.
“Kau sudah selesai? Aku juga mau mandi,” ujarku, berusaha sekuat tenaga untuk menekan rasa gugup yang melandaku.
Aku melihatnya mengangguk lalu tanpa pikir panjang aku menyambar pakaian di bagian paling atas dalam koperku dan masuk ke dalam kamar mandi.
Hari ini benar-benar gila!
***
HYE-NA’S POV

Aku mendengarnya naik ke atas tempat tidur di sampingku, menahan nafas saat wangi tubuhnya mulai merasuki indera penciumanku. Aku berusaha untuk tidur dari tadi tapi tetap saja tidak berhasil. Mungkin karena tadi siang aku ketiduran di pesawat.
“Kau besok mau kemana?” tanyanya.
“Terserah, aku ikut saja. Aku kan tidak tahu apa-apa disini,” jawabku, memutuskan untuk tidak berbalik ke arahnya, karena aku yakin sekali kalau sampai itu terjadi, aku akan kehilangan kendali dan memeluknya.
“Kita ke museum saja. Atau mungkin kau mau melihat Sungai Seine?”
“Asal malamnya kita ke Eiffel, aku akan mengikutimu kemanapun.”
“Dasar yeoja!” gumamnya. Allu kami terdiam lagi.
“Kyuhyun~a, aku tidak bisa tidur. Bagaimana kalau kau bernyanyi untukku?”
“Aku tidak mau nyanyi gratisan,” sahutnya.
“Ah, kau ini pelit sekali. Aku kan istrimu,” rajukku.
“Aku tidak haapal lagu nina bobo.”
“Lagu apa saja. Lagumu juga boleh.”
Sesaat diam, lalu akhirnya dia mengalah dan menyanyikan sebuah lagu untukku.
Mencintaimu seperti mencintai alam dengan seluruh makhluk hidupnya….
Memilikimu seperti memiliki dunia beserta seluruh isinya….
Menginginkanmu seperti menginginkan surga dengan segala kenikmatannya…
Menyayangimu seperti menyayangi diri sendiri dengan setiap kekurangan maupun kelebihannya….
Merindukanmu seperti merindukan oase di tengah beribu fatamorgana di padang pasir yang begitu tandusnya…
Sehingga kehilangan dirimu seperti kehilangan nyawa dengan beribu siksa yang menerpa sukma….

“Itu lagu baru?” tanyaku penasaran.
“Ne.”
“Kapan kau menciptakannya?”
“Beberapa… hari yang lalu.”
“Bagus sekali! Hei, bagaimana kalau kau nyanyikan lagu yang lain?”
“Kau ini cerewet sekali! Aku bernyanyi untukmu agar kau tidur, bukan merecokiku!”
“Bagaimana kalau lagu Benda Hidup Tercantik Di Jagad Raya saja?”
***
Kami berdua berjalan di sepanjang trotoar yang juga penuh dengan orang-orang yang akan pergi ke tujuannya masing-masing. Mereka berbicara bersamaan dengan bahasa yang sama sekali tidak kumengerti. Tadinya aku bahkan hampir mengira mereka ingin kumur-kumur.
“Pegang tanganku, kalau kau hilang bagaimana?”
Dengan wajah memerah aku mengulurkan tanganku lalu menggandengnya.
“Kau tahu tidak, pasti banyak sekali yeoja-yeoja yang iri denganku kalau mereka melihat aku gandengan tangan denganmu.”
“Kau kan istriku, jadi sudah sewajarnya.”
Aku tidak mendengar perkataannya, aku malah mendelik kea rah beberapa orang gadis yang lewat, yang dengan terang-terangan menatap Kyuhyun dengan sorot mata kagum. Tidak disini, tidak di Korea, selera semua orang sama saja!
“Lain kali kalau jalan denganku lebih baik kau pakai baju gembel saja!” ujarku geram.
“Kenapa?” tanyanya heran.
“Jangan bodoh! Kau tidak lihat apa kalau mereka semua terpesona padamu?”
Dia tertawa mendengar ucapanku. Dasar namja menyebalkan!
“Tapi pemilik sahku itu kan kau,” ujarnya. Dan tiba-tiba saja dia sudah merangkul pundakku.
Aku sedang berbunga-bunga saat sebuah suara lembut berteriak memanggil nama Kyuhyun. Kami berbalik dan seketika aku melihat jelmaan bidadari yang sesungguhnya. Gadis itu cantik sekali… membuatku 100% yakin tidak ada secuil pun cacat di tubuh indahnya. Senyumnya mengembang, membuatnya tampak seribu kali lebih cantik.
Aku melirik Kyuhyun, penasaran dengan yeoja yang sekarang sudah berdiri di hadapan kami ini. Tapi lagi-lagi wajhnya hanya datar-datar saja.
“Kyuhyun oppa, annyeonghaseyo! Aku tidak menyangka kita akan bertemu disini. Kau tambah tampan, ya!” serunya sambil memeluk tubuh Kyuhyun.
Sabar, Hye-Na! Sabar!
Aku berusaha menenangkan diriku. Tapi mana mungkin aku bisa tenang kalau suami jadi-jadianku dipeluk yeoja secantik ini!
Gadis itu melepaskan pelukannya kemudian ganti melirikku.
“Dia siapa?”
“Kenalkan, ini istriku,” ujar Kyuhyun sambil mempererat pelukannya di pundakku.
Aku bisa melihat raut wajah tidak percaya dan merendahkan di mata gadis itu. Sesaat dia melirikku dengan tatapan tidak suka lalu menatap Kyuhyun menuntut penjelasan.
“Apa-apaan ini? Mana mungkin yeoja ini istrimu? Setidaknya kau bisa mencari yeoja lain yang setara denganku, bukan yang seperti ini!” teriaknya marah.
“Terserah kau sajalah. Yang pasti aku sudah menikah. Oh, dan maaf, aku tidak sempat mengundangmu.”
Gadis itu memasang tampang merajuk kemudian merenggut tangan Kyuhyun dari genggamanku.
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Sebagai ganti rasa bersalahmu karena tidak mengundangku!”
“Kau tidak lihat aku sedang jalan-jalan dengan istriku?”
“Ya sudah, bawa saja dia! Bagaimana kalau kita makan? Aku yang traktir!”
Dia menarik tangan Kyuhyun sehingga aku dengan sangat terpaksa mengikuti langkah mereka dari belakang. Ini memang sudah sangat keterlaluan, tapi aku bisa apa? Aku kan tidak mau tersesat di kota besar seperti ini sendirian!
Mereka berdua terus saja berjalan walaupun Kyuhyun sesekali masih melirikku cemas. Tapi aku rasa itu hanya karena dia takut aku hilang dan kalau itu terjadi dia pasti tidak tahu bagaimana mempertanggung-jawabkannya kepada appaku.
Akhirnya mereka berbelok masuk ke salah satu restoran mewah, dan sudah tentu aku mengikuti mereka. Tapi….
“I’m sorry, Miss, you can’t come in. because in this place, you can’t wear jeans and slipper if you are a lady,” ujar penjaga restoran itu seraya mencegat langkahku.
Hanya gara-gara aku pakai jins dan sandal jepit aku tidak boleh masuk? Kesabaranku sudah habis sekarang!
***
KYUHYUN’S POV

Aku merasa tidak nyaman dengan kehadiran yeoja ini. Benar-benar menyebalkan! Ditambah lagi dia menarikku masuk ke dalam restoran mewah tanpa menanyakan pendapatku dulu.
Aku menoleh ke belakang mencari Hye-Na, tapi gadis itu tidak ada. Seketika kecemasan langsung melandaku. Kemana dia?
“Oppa, kau mau kemana?” teriak gadis sialan itu saat aku berlari meninggalkannya. Aku sama sekali tidak menghiraukan panggilannya sedikitpun, yang ada di otakku hanyalah bagaimana aku bisa menemukan Hye-Na secepatnya. Ada dimana dia?
“Do you see a girl who wear T-Shirt and jeans? She walks behind me, do you see her?” tanyaku kacau kepada pria Perancis penjaga pintu.
“Yes, Sir, I forbid her to come in because of her clothes.”
“Where did she go?”
“To that way, Sir.”
Pria itu menunjuk kea rah jalan raya tempat orang-orang berlalu-lalang. Aku bergegas mencarinya seraya bertanya kepada beberapa orang. Aku hampir putus asa saat tiba-tiba aku melihat seorang gadis mirip Hye-Na. Aku berlari menghampirinya tapi langsung kecewa lagi saat menyadari aku menemukan orang yang salah.
HP-ku bordering nyaring. Aku melirik nama si penelepon lalu mengangkatnya dengan hati dongkol.
“Waeyo, eomma?” tanyaku ketus.
“Kenapa kau? Kau bertengkar dengan Hye-Na?”
“Lebih parah dari itu. Dia hilang. Sudah dulu ya, aku mau mencarinya sekarang,” ujarku sambil menutup flap HP lalu melanjutkan pencarianku.
Cho Hye-Na, kemana kau?
***
HYE-NA’S POV

Hari sudah hampir malam dan aku mulai kelaparan. Aku duduk di atas sebuah kursi taman yang terletak di dekat menara Eiffel. Aku sudah nyaris ketakutan sekarang. Bagaimana kalau Kyuhyun tidak mau mencariku dan memutuskan untuk bersenang-senang dengan gadis itu? Lalu aku bagaimana? Ini sudah jauh sekali dari hotel dan aku tidak punya cukup uang untuk naik taksi. Walau ada pun aku tetap tidak bisa pulang ke hotel karena aku bahkan tidak tahu nama hotel tempat kami menginap. Bodoh sekali aku ini!
Kesialan yang lebih parah adalah HP-ku sedang di-charge di hotel dan walaupun aku berusaha menghubunginya juga tidak bisa. Aku tidak hapal nomor HP-ku sendiri!
Aku mulai meratapi ketololanku yang terlalu cepat emosi sehingga pergi meninggalkan restoran itu. Mau kembali juga percuma, aku tidak ingat jalannya.
Aku mengamati orang-orang yang lewat di depanku. Berharap seandainya aku adalah mereka. Dan tanpa sadar aku sudah menangis sesenggukan. Aku ini benar-benar menyedihkan.
Malam benar-benar datang dan semuanya menjadi gelap. Cahaya paling terang hanya berasal dari menara Eiffel. Keadaan ini terasa snagat mencekam untukku, tidak peduli sebanyak apapun orang yang beralu-lalang.
Seakan kesialan ini masih belum cukup, tiba-tiba petir datang menyambar-nyambar lalu tetesan air hujan mulai jatuh membasahi tanah. Aku sama sekali tidak bergerak dari tempatku. Tidak masalah jika aku mati disambar petir, toh tidak aka nada yang emmedulikanku. Biar Kyuhyun dibunuh oleh appaku kalau beliau tahu!
“Hye-Na?”
Aku mendnegar suara familier itu, berpikir aku hanya berhalusinasi sehingga aku tidak berniat mengangkat wajahku yang terbenam di antara lututku yang tertekuk.
“Hye-Na~ya?”
Kali ini ada seseorang yang mengguncang-guncang tubuhku, membuatku terpaksa mendongak menatapnya.
Aish, kalau ini mimpi, ini sempurna sekali. Dia tidak mungkin terlihat setampan ini.
“Hye-Na~ya!” desaknya, mulai kesal denganku yang malah melongo menatapnya.
“Apa?” tanyaku tolol.
“Kau mau mati kedinginan disini?”
Cepat-cepat aku menggeleng.
“Ya sudah, cepat berdiri! Kita pulang.”
Aku mencoba bangkit lalu langsung terduduk lagi saat mendapati kakiku kram karena duduk dalam posisi yang sama selama beberapa jam.
“Huh, kau ini! Ayo naik!” ujarnya, tiba-tiba saja sudah jongkok di depanku. Setengah malu aku melingkarkan tanganku di lehernya, kemudian dia memegangi kakiku agar tidak terjatuh.
Aku membenamkan wajahku di pundaknya, menghirup nafas disana. Perasaan lega mulai menyelimutiku seiring dengan wangi tubuhnya yang memenuhi rongga hidungku.
Saat dia menyetop taksi aku mulai tersadar, perasaan marah tadi bahkan sudha menghilang entah kemana.
***
Aku menyandarkan kepalaku ke jok kursi dengan nyaman. Aku melihat Kyuhyun yang melepas jaketnya llau memakaikannya ke tubuhku yang basah kuyup. Bahkan dengan rambut basah seperti itu dia masih terlihat seperti model iklan shampoo.
“Kenapa kau kabur seperti tadi? Aku panik tahu! Aku keliling kota mencarimu seharian!” omelnya.
“Gadis itu siapa?” tanyaku tak mengacuhkan ucapannya.
“Dia Eun-Ji.”
“Mantan pacarmu?”
“Dia menyukaiku. Aku sudah menolaknya berkali-kali. Awalnya sih aku masih sopan, tapi lama kelamaan dia mulai menjengkelkan. Aku sudah menghardiknya berkali-kali tapi dia tetap saja mengejarku.”
Jadi… gadis tadi sainganku? Aigoo, Hye-Na, saingan? Memangnya apa yang kau pikirkan?
“Dia kan cantik,” komentarku.
“Sifatnya tidak.”
“Kau kenal dia dimana?”
“Dia teman SMA-ku dulu lalu dia melanjutkan sekolah fashion kesini.”
Oh, sempurna sekali! Gadis itu benar-benar tanpa cacat, walau sikapnya amat sangat menjengkelkan!
“Dengar,” ujar Kyuhyun sambil memegangi wajahku dnegan kedua tangannya. “Tidak peduli apapun yang terjadi, kau jangan pernah lagi meninggalkan aku seperti tadi. Kalaupun aku yang meninggalkanmu, kau harus tetap menungguku di tempat asal agar aku bisa menjemputmu. Aku tidak sanggup lagi menanggung kecemasan seperti tadi. Rasanya tidak enak, Hye-Na~ya.”
***
Keesokan harinya kami memutuskan untuk pulang ke Korea. Bukan kemauan kami sebenarnya, tapi eomma. Dia sepertinya khawatir sekali dengan keselamatanku dan kelihatannya dia tidak ingin lagi aku menghilang dari pengawasannya. Kami menuruti kemauannya hanya karena sudah lelah mendengar ceramahnya di telepon semalam. Dia sendiri yang menjemput kami di bandara bersama Ji-Yoo.
“Hye-Na~ya!” serunya sambil memelukku, allu mengamati keadaanku. Setelah dia memastikan bahwa aku baik-baik saja, dia mulai mengomeli Kyuhyun.
“Kau ini1 lain kali jaga istrimu baik-baik! Arasseo?”
Kyuhyun hanya mengangguk pasrah lalu menoleh ke arah Ji-Yoo dan segera sibuk membicarakan pekerjaannya.
“Eh, Hye-Na~ya, bulan madumu berhasil tidak? Bagaimana? Kapan kau akan member eomma cucu?”
Aku memasang tampang minta tolong ke arah Kyuhyun, tapi lagi-lagi dia hanya nyengir menatap kesialanku. Menyebalkan!
***
“Kau mau kemana?” Tanya Kyuhyun heran saat keesokan paginya aku sudah menjinjing tas dan laptop ke ruang makan.
“Kampus. Mau mencari bahan skripsi!” ujarku ketus seraya menyendok nasi goreng ke piringku.
“Salahmu sendiri, masa kau tidak menyimpannya ke flash-disk.”
“Aish, kau ini benar-benar!”
“Aduh, kalian ini, tidak baik kalau pagi-pagi sudah bertengkar. Kalian kan pengantin baru!” tegur eomma yang baru saja muncul setelah mengantarkan appa ke pintu depan.
“Kau mau kemana, Hye-Na~ya?”
“Ke kampus, eomma,” jawabku.
“Heh, Kyuhyun~a, antarkan dia!”
“Tidak usah, eomma, aku kan bisa bawa mobil,” tolakku, memikirkan keributan yang akan terjadi kalau Kyuhyun sampai muncul di kampusku.
“Sekalian saja. Aku juga mau ke studio, jadi kita searah,” kata Kyuhyun, membuatku menghembuskan nafas kesal.
***
“Berhenti disini saja. Kau tidak usah turun,” kataku seraya membuka pintu mobil lalu melangkah turun.
Dia menurunkan kaca mobil, nyengir ke arahku.
“Kau takut mereka mengerubungiku, ya? Pencemburu sekali,” ejeknya.
“Brengsek kau!”
***
Aduh, bagaimana ini? Kenapa komputernya rusak tiba-tiba?
Aku nyaris panic menyadari seluruh dataku hilang tiba-tiba. Aku sedang malas memakai laptop, makanya aku memutuskan memakai komputer Kyuhyun di kamar. Tadi aku tidak sengaja menekan sesuatu dan tiba-tiba saja semua file hilang. Masa aku harus mengulang semuanya lagi dari awal? Andwae!!!
“KYUHYUN~A!!!!” teriakku panik. “KYUHYUN~A!!!!”
“Apa? Kau ini berisik sekali!” omelnya, lalu mendekat ke arahku.
“Lihat, dataku hilang semua!” keluhku.
Dia meraih mouse lalu sibuk meng-klik sana-sini. Pikiran baru mulai memenuhi otakku. Masa bodoh dengan data itu, keselamatan jantungku lebih penting dari apapun sekarang!
Aku masih duduk di atas kursi, sedangkan dia entah sengaja atau tidak meletakkan kedua tangannya di sisi kanan dan kiri tubuhku. Wajahnya dekat sekali sehingga aku bisa mendengar tarikan nafasnya. Wangi tubuhnya hanya semakin memperparah keadaan.
Aku menoleh ke arahnya. Mencari masalah saja sebenarnya karena di saat yang bersamaan dia juga mendongak menatapku.
“Kau klik saja disini lalu….”
Aku tidak lagi menangkap ucapannya. Yang aku tahu hanyalah desah nafas kami yang smeakin memburu dan entah siapa yang memulai duluan tiba-tiba saja bibirnya sudah melumat bibirku.
Aku benar-benar parah dalam hal ini. Aku mendekatkan tubuhku, mengalungkan lenganku ke lehernya. Mungkin karena terlalu banyak yang aku tahan-tahan selama ini, aku malah jadi kehilangan kendali sekarang.
“Hati-hati, sayang,” gumamnya saat aku menciumnya dengan ganas. Tapi berkebalikan dnegan ucapannya, tangannya malah meraihku semakin dekat.
Hahahaha… kalau aku tidak salah perkiraan, aku adalah yeoja pertama yang diciumnya. Mengherankan sekali, karena dia adalah pencium yang hebat.
Ciuman kami awalnya lambat, intens, tapi masih dalam taraf kewajaran, namun mendadak malah semakin ganas dan parah, lalu….
“Ehm, maaf, eomma mengganggu, hanya mau memberitahu kalau makan malam sudah siap. Tapi sepertinya kalian sudah sibuk, jadi teruskan saja. Eomma kan juga mau cepat-cepat punya cucu. Nanti kalau lapar kalian turun saja.”
Seketika aku tersadar bahwa cara tubuhku menempel ke tubuh Kyuhyun sama sekali tidak pantas untuk dilihat. Cepat-cepat aku menjauh darinya dengan wajah memerah menahan malu.
Eomma mengedip sambil tersenyum lebar ke arah kami lalu kembali menutup pintu, meninggalkan kecanggungan di antara kami berdua.
“Ehm, aku pikir aku… lapar…. Kau… mau ikut?” tanyanya gugup.
“Nanti saja,” ujarku serak.
Dia keluar dari kamar, membuatku bebas mengekspresikan ketololanku. Kepalaku masih pusing akibat ciuman tadi, tapi rasa Maluku lebih mendominasi. Kalau eomma tadi tidak datang, lalu apa yang terjadi?
***
KYUHYUN’S POV

Aku menutup pintu kamar pelan lalu duduk menggelesor di lantai. Baru juga beberapa hari aku sudah kehilangan kendali seperti ini. Tapi tentu saja aaku dalam keadaan tidak terkontrol jika dia begitu dekat seperti tadi.
Tidak bisa terbayangkan apa yang akan terjadi akalu eomma tidak datang. Bisa-bisa aku malah menidurinya!
***
“Loh, kenapa kau turun sendirian? Hye-Na mana?” Tanya eomma saat aku memutuskan untuk ikut maakan malam dengan mereka. Aku tidak lapar sebenarnya, tapi akan jauh lebih baik jika aku tidak dekat-dekat Hye-Na sekarang.
“Dia… masih di atas,” ujarku dnegan wajah memerah.
“Ah, eomma tadi mengganggu, ya? Maaf, maaf. Lain kali kalau kalian sedang begitu eomma tidak akan mengganggu lagi.”
Yah, aku harap ada lain kali.
***
HYE-NA’S POV

Aku berbaring gelisah di atas tempat tidur, sibuk memikirkan apa yang akan kulakukan jika Kyuhyun kembali ke kamar. Pura-pura sudah tidur? Memejamkan mata saja aku tidak bisa. Lagipula itu kekanak-kanakan sekali!
Belum sempat aku memutuskan, pintu kamar sudah terbuka dan Kyuhyun melangkah masuk. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Benar-benar memalukan!
Aku mendengarnya berbaring di sampingku, tahu bahwa dia juga tidak bisa tidur sama sepertiku. Aku mulai mencoba menghitung domba untuk membuatku bosan dan tertidur, tapi semua itu sia-sia belaka.
“Yang tadi itu… kalau kau tidak suka, lupakan saja…. Maaf kalau aku lepas kontrol,” ujarnya tiba-tiba dengan suara pelan.
“Ne, aku bisa mengerti. Mungkin tadi itu… hanya pengaruh… hormone,” sahutku, masih berbaring memunggunginya.
Tidak sampai sedetik dia sudah membalikkan tubuhku dan menatapku tajam.
“Oh, jadi kau pikir yang tadi aku lakukan itu hanya terdorong nafsu? Begitu? Sepertinya kau harus bisa membedakan, Cho Hye-Na, mana yang nafsu, mana yang tidak!” bentaknya dengan mata yang berkilat-kilat menahan marah.
Belum sempat aku berpikir jernih, dia sudah menciumku lagi dengan kekasaran yang tidak termaafkan. Dia mneyentakkan tubuhku, menarik pinggangku mendekat. Belum siap dengan itu semua, aku hampir terkena serangan jantung saat lidahnya menelusup masuk ke dalam mulutku dan tangannya menjelajah tidak sopan di balik bajuku.
Tapi secepat hal itu terjadi, secepat itu pula dia menyelesaikannya. Aku masih setengah sadar saat dia mendorong tubuhku menjauh, bangkit berdiri, dan memandangku marah.
“Itu nafsu, kalau kau belum tahu!” ujarnya geram.
“Aku sudah bisa membedakannya sekarang!” semburku tak kalah marah.
Kami bertatapan murka selama beberapa saat lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia berbalik keluar, membanting pintu dengan kasar. Aku harus menahan diri sekuat tenaga untuk tidak melempar sesuatu, berbalik menyumpahi diri sendiri yang bisa-bisanya menikmati ciuman barusan!
***
Aku terbangun pagi harinya, menyadari bahwa Kyuhyun tidak tidur disini malam tadi. Kegalauan mulai menyelimutiku, pertanda bahwa hari ini akan berjalan buruk.
Benar saja, saat aku berangkat ke kampus, eomma memberitahuku bahwa Kyuhyun sudah pergi ke Jepang untuk menjalani tur keliling Asia-nya. Aku bertanya kenapa Kyuhyun tidak berpamitan terlebih dulu kepadaku, dan eomma memberitahu alasan manis yang diberikan Kyuhyun padanya. Dia tidak mau mengganggu tidurku. Hah, ini pasti gara-gara pertengkaran besar kami semalam.
Kemudian aku mulai panik sendiri memikirkan bagaimana aku harus hidup hari ini dan untuk satu minggu ke depan. Seperti katanya dulu, hidup tanpanya sama sekali bukan hidup….
***
KYUHYUN’S POV

Pesawat yang akan membawaku ke Jepang baru saja lepas landas. Menerbangkanku pergi meninggalkan hidupku. Cih, hidup? Picisan sekali kedengarannya.
Aku teringat kejadian semalam saat aku lagi-lagi lepas kontrol. Wajar saja menurutku, kan dia yang mencari gara-gara duluan. Nafsu? Hah, yang benar saja! Kalau aku mengikuti nafsuku, dia sudah tidak perawan lagi sekarang!
Ngomong-ngomong tentang hidup, aku harus mulai mencari cara untuk bertahan hidup selama satu minggu ke depan. Aku menatap selembar foto di tanganku. Foto pernikahan kami yang mengabadikan kecantikannya yang tidak terjamah.
“Istri Anda cantik sekali,” ujar seorang pramugari yang sekarang berdiri di sampingku dengan senyum ramah tersungging di bibirnya.
“Ah, gomaweo,” sahutku, balas tersenyum padanya.
“Anda mau kopi?”
***
HYE-NA’S POV

Aku melangkah gontai di sepanjang lorong kampus, sama sekali tidak bernafsu untuk melakukan apapun. Sama sekali tidak memperhatikan apapun.
“Hye-Na~ya!”
Setengah malas aku mengangkat kepala untuk melihat siapa yang memanggilku barusan. Eunhyuk.
“Oh, annyeong!” sapaku tanpa semangat.
“Wo… kakak iparku sayang, wae geurae? Aneh sekali!” serunya seraya merangkul pundakku. Aku bisa membedakan pelukan ini dengan pelukannya yang dulu. ini hanyalah sekedar pelukan persahabatan.
Dia menarikku ke taman kampus, mendudukkanku di atas kursi. Aku mneurut saja, toh aku sudah kehabisan energi untuk menolak.
“Mau bercerita padaku?”
Ah, peduli setan, aku juga tidak sanggup menahannya sendirian. Maka sedetik kemudian aku sudah mencerocos tanpa jeda. Mengeluarkan semua unek-unekku.
“Dia itu keterlaluan sekali! Ini sudah hari ketiga tapi dia masih belum menghubungiku juga! Aku tahu dia marah, memangnya aku tidak, tapi aku ini kan istrinya, tidak peduli aku mneyukainya atau tidak, dia menyukaiku atau tidak. Apa dia sebegitu sibuknya sampai tidak sempat meluangkan waktu semenit saja untuk menghubungiku? Hanya untuk mengatakan basa-basi bahwa dia baik-baik saja juga tidak apa-apa!”
***
EUNHYUK’S POV

Aku mendengarkan semua curhatannya dengan penuh perhatian. Menyakitkan memang, tapi aku tahu aku bisa menghadapinya.
Kyuhyun tidak menghubunginya, itu khas dia sekali. Sesaat aku malah curiga, dia menikmati hal itu. Menilik dari sifatnya, dia hanya ingin membuat Hye-Na merindukannya.
Oh, tentu saja aku tidak akan emmbantunya menjelaskan semua ini. Aku masih sakit hati padanya.
“Kau seperti tidak tahu Kyuhyun hyung saja. Aku sendiri heran kenapa kau tidak memikirkan kemungkinan terburuk atas semua ini. Kau yakin dia tidak selingkuh?” godaku, menikmati reaksi wajahnya yang langsung berkerut marah.
“MWO?!”
“Lain kali Hye-Na~ya, cobalah untuk menonton TV atau membuka internet. Suamimu itu kan artis. Kau tidak tahu kalau Eun-Ji sudah pulang? Kau tahu Eun-Ji, kan?”
Melihat wajahnya yang memucat aku sudah tahu jawabannya.
“Aku lihat di internet, tidak sengaja juga sebenarnya, disana heboh berita tentang mereka berdua. Diamna ada Kyuhyun disitu ada Eun-Ji. Gadis itu mengikutinya terus-terusan. Walaupun sebenarnya akku tidak menyukai tabiat gadis itu, tapi namja mana yang tahan jika terus-menerus disodori gadis secantik itu? Lama-lama Kyuhyun bisa menyerah.”
Dia mematung saking syoknya. Dalam hati aku tahu hyung-ku itu sama sekali bukan jenis namja seperti itu. Disbanding gadis di hadapanku ini, Eun-Ji sama sekali tidak ada apa-apanya. Aku hanya ingin mempersulit keadaan Kyuhyun saja sebenarnya.
Hahahaha… jahat sekali aku ini!
***
HYE-NA’S POV

Eun-Ji datang? Eun-Ji? Mimpi buruk apa ini? Ini bahkan lebih dari sekedar mimpi buruk. Mereka berdua bersenang-senang sedangkan aku merana sendirian disini, berharap dia mengasihaniku!
Aku ini bodoh sekali! Tolol!
***
“Hai, Hye-Na~ya! Kau sudah pulang?” sapa eomma saat aku melangkah masuk ke ruang makan. Aku mengangguk, mengambil air dari kulkas, menuangkannya ke dalam gelas lalu meminumnya dalam sekali teguk.
“Kau kelihatannya stress sekali? Kenapa? Kau bisa cerita pada eomma.”
Aku tidak akan bisa bercerita padanya. Yang menyebabkan ini kan anaknya sendiri.
“Ani. Hanya masalah skripsiku, eomma.”
“Oh, begitu. Oh iya, tadi Kyuhyun menelepon. Aneh sekali, setiap dia menelepon kesini kau selalu sedang tidak ada di rumah. Tadi eomma menyuruhnya menelepon ke HP-mu saja, apa dia sudah melakukannya?”
“Ani,” ujarku. Dasar sialan!
“Biar eomma yang memarahinya nanti. Seolah masalah yang sati itu belum cuku saja! Berani-beraninya dia berkeliaran dengan yeoja lain seperti itu! Keterlaluan!”
Bahkan eomma saja sudah tahu!
“Itu kan hanya memperburuk imej-nya sendiri. Dari dulu eomma sudah bilang, jangan berhubungan dnegan yeoja itu, eh sekarang dia malah membawanya ke depan umum. Kalau dia melakukannya sebelum menikah sih masih wajar, tapi kan dia sudah menjadi seorang suami sekarang. Anak itu benar-benar!”
“Eomma, aku ke kamar dulu,” potongku, tidak sanggup lagi menampung semuanya.
***
EUNHYUK’S POV

Aku mengangkat HP-ku yang terus-menerus bordering dari tadi. Tersenyum saat tahu bahwa Ji-Yoolah yang menelepon. Sepertinya sebentar lagi aku bisa menyukainya.
“Yeoboseyo, Eunhyuk~a!” serunya penuh smenagat setelah aku memencet tombol terima di HP-ku.
“Annyeong. Apa kabar?”
“Oh, tidak terlalu baik sebenarnya. Para wartawan ini benar-benar menyebalkan, mengikuti kami terus-terusan. Belum lagi si parasit yang satu itu, menempel terus-menerus seperti lintah.”
“Parasit?”
“Ne, yeoja sialan bernama Shin Eun-Ji itu! Kyuhyun bahkan sudah pindah hotel beberpa akali untuk menjauhinya, tapi sepertinya dia tidak mudah menyerah. Aku jadi mengkhawatirkan Hye-Na.”
“Oh, aku baru saja berbicara dengannya. Memanas-manasinya tepatnya. Sekarang aku rasa di sedang bersemedi untuk mengutuk Kyuhyun,” ujarku sambil tertawa.
“Kau ini mencari masalah saja!” semprotnya. “Kyuhyun stress sekali akhir-akhir ini. Imej-nya sedang tidak baik di mata publik. Tapi kau tahulah, dia sama sekali tidak peduli. Aku sudah menyuruhnya menelepon Hye-Na untuk menjelaskan, tapi dia tidak mau melakukannya. Kau tahu apa yang dilakukannya setiap hari? Menatap foto pernikahan mereka. Aku pikir dia sudah nyaris gila sekarang.”
“Aku juga heran. Si Kyuhyun itu seperti bisa bernafas saja tanpa Hye-Na. Hye-Na juga sama saja, gengsinya terlalu tinggi untuk menelepon duluan.”
“Dia kan yeoja!” bela Ji-Yoo.
“Hei, kapan kau pulang?” tanyaku.
“Kenapa? Kau tidak mungkin merindukanku, kan?” godanya.
“Sedikit banyak iya,” akuku.
Dia terdiam selama beberapa saat.
“Hei, kau masih disana, kan?” tanyaku cemas.
“Ah… ne… ne,” sahutnya kacau. “Kau nyaris membuatku terkena serangan jantung. Sudah dulu, ya! Sepertinya aku sesak nafas. Sial!”
Aku tertawa lagi saat mendengar nada putus dari seberang. Dia benar-benar lucu, blak-blakan. Sekaligus mengangumkan.
***
HYE-NA’S POV

Sudah satu minggu sekarang. Aku berusaha tenang, tapi tetap saja tidak bisa. Aku sudha melakukan berbagai macam cara bahkan aku sudha memutuskan untuk menginap di rumah appaku, tapi tidak berhasil juga. Ya sudahlah, kalau dia pulang nanti aku tidak akan mengacuhkannya.
Aku membereskan barang-barangku yang bertebaran di atas meja perpustakaan dalam rangka membantuku mengalihkan pikiran. Aku memutuskan untuk pulang saja sekarang. Toh tidak ada lagi yang bisa dilakukan disini.
Aku berbaur dalam kerumunan para mahasiswa yang juga berjalan menuju gerbang. Melangkah menjauhi keramaian di hadapanku.  Lebih baik aku cari jalan lain saja. Lagian kenapa sih mereka itu? Apa yang mereka kerumuni?
“Hye-Na~ya!”
Aku mendengarnya! Kagum bagaimana perasaan nyaman itu langsung meliputiku dengan seketika. Suara familier yang sudah kuimpikan selama berhari-hari.
Aku berbalik. Merasakan kebutuhan untuk menatapnya, menghirup udara kehidupan lagi. Kerumunan itu menyebar, sehingga sekarang aku bisa melihatnya. Tentu saja wajah itu masih terlihat begitu tampan. Begitu mempesona. Lalu aku merasakan luapan kemarahan itu menguap begitu saja. Dengan begitu mudahnya, seakan-akan memang tidak pernah ada sebelumnya, digantikan dnegan rasa rindu yang meluap-luap, membuat nafasku tercekat.
Sekarang aku malah berusaha menahan diri untuk tidak menghambur ke dalam pelukannya. Aku melangkah perlahan ke arahnya, mengamati ekspresi yang tergambar di wajahnya. Aku tidak bisa membaca apa-apa, dia selalu bisa menyembunyikan perasaannya dariku.
Dia menyambut tanganku yang terulur ke arahnya dengan sebuah rangkulan erat yang sarat depresi, membuat tubuhku sedikit terangkat.
Kerumunan mahasiswa tadi terkesiap melihatnya. Gosip baru lagi bagi mereka. Cho Kyuhyun yang terkenal dingin ternyata sangat frontal dalam mengekspresikan emosinya.
Tapi aku sama sekali tidak memedulikan apa pendapat mereka. Masa bodoh jika mereka menganggapku tolol karena sudah jelas-jelas Kyuhyun selingkuh di belakangku. Yang aku tahu hanyalah tangannya yang masih memeluk pinggangku dan wajahnya yang terbenam di pundakku.
“Hai,” bisiknya. “Aku merindukanmu.”
Dan aku hanya butuh itu.
***
KYUHYUN’S POV

Aku menghirup wangi yang menguar dari tubuhnya. Bersyukur karena aku sudah bisa menghirup udara lagi sekarang. Bersyukur karena aku bisa menatap wajah yang ada dalm genggamanku ini.
Aku mneyentuh setiap bagian dari wajahnya. Matanya, hidungnya, pipinya, memastikan bahwa dia baik-baik saja. Setelah puas, aku membuka pintu mobil, menyuruhnya masuk. Lallu beberapa detik kemudian mobilku sudah meluncur keluar dari pelataran kampus.
“Bagaimana kau bisa melihatku tadi? Kan ramai sekali!”
Aku terdiam sesaat. Benar, bagaimana? Aku hanya melihat rambutnya sekilas dan langsung saja yakin bahwa itu dia.
“Entahlah,” jawabku.
Kami terdiam lagi selama beberapa saat.
“Kau tidak mau bertanya apa-apa lagi padaku?” tanyaku penasaran.
“Kau mau aku bertanya apa?” tanyanya balik.
Aku tertawa frustasi. Aku tidak pernah tahu apa yang dipikirkannya.
“Eun-Ji misalnya?” pancingku.
“Kau bilang kau tidak tertarik padanya, jadi aku percaya saja. Kalau sekarang kau tertarik ya itu urusanmu.”
Aku setengah mati penasaran sekarang bagaimana jalan pikirannya. Apa dia benar-benar sama seklai tidak keberatan aku jalan dnegan yeoja lain? Hal ini benar-benar membuatku sengsara!
“Kapan kau pulang?” tanyanya.
“Baru saja. Dari bandara aku langsung kesini,” jawabku ketus.
“Lalu mobil ini?”
“Eunhyuk yang mengantarnya.”
“Tumben.”
“Dia menjemput Ji-Yoo.”
“Oh,” gumamnya sambil memalingkan wajah ke jendela.
Aku nyaris meledak sekarang! Dia sama sekali tidak cemburu padaku tapi malah bereaksi seperti itu saat tahu Eunhyuk dekat dengan yeoja lain? Menyebalkan!
***
“Sudahlah eomma, aku kan sudah aku tidak punya hubungan apa-apa dengan gadis itu! Berhenti merecokiku seperti itu!” teriakku kesal.
Hye-Na sudah naik ke atas, kelihatannya sengaja meninggalkanku berdua dengan eomma. Aku rasa dia sedang tertawa senang sekarang mendengarku dimarahi eomma.
“Tapi kau kan tidak tahu bahwa istrimu stress mendengar itu semua! Dia nyaris tidak makan berhari-hari, dua hari yang lalu dia bahkan pulang ke rumah appanya.”
Stress gara-gara aku? Yang benar saja! Melihat reaksinya tadi dia bahkan tidak memedulikan perbuatanku sama sekali. Palingan dia stress karena Eunhyuk sedang menjalin hubungan dengan Ji-Yoo.
“Oke, oke, aku akan minta maaf padanya. Tapi sekarang aku capek, aku mau istirahat,” selaku seraya naik ke atas.
Aku membuka pintu kamar, mendapatinya sedang membaca novel di atas tempat tidur.
“Dua hari lagi kita pindah ke apartemenku.”
“Terserah saja,” ujarnya tak peduli tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya dari buku bacaan itu.
“Kenapa sih kau tidak ada bosan-bosannya membaca buku itu berkali-kali?”
“Karena Edward Cullen juga tidak pernah bosan mencintai Bella. Dia suami terbaik yang pernah ada. Paling menawan, paling brilian, paling mengerti dan paling penuh cinta.”
“Itu hanya novel, Hye-Na.”
“Anggap saja nyata. Kau jangan merusak imajinasiku!” serunya kesal.
“Kalau kau mau suami seperti itu, menikah saja dengannya!” bentakku marah.
“Oh, tentu saja, aku lebih suka suami vampir daripada namja tidak bermoral sepertimu!”
“Jadi aku tidak bermoral, begitu?”
“Oh, kau baru tahu? Kasihan sekali!” ejeknya.
“Baik, begitu rupanya. Kenapa kau tidak minta cerai saja sekalian?”
Dia berdiri murka di hadapanku, menatapku marah.
“Aku masih bisa pakai akal sehat. Aku mneyayangi eommamu bahkan lebih daripada kau sendiri!” teriaknya lalu berbalik meninggalkan kamar.
Oh, jadi begitu? Dia bertahan hanya karena eomma? Apa aku sebegitu menyedihkannya?
***
Perang dingin ini berlangsung pada hari berikutnya. Eomma merecokiku terus-menerus, menyuruhku meminta maaf pada Hye-Na. memangnya ini salahku?
Untung saja keesokan harinya aku bisa pindah dari rumah itu, diiringi perpisahan menyayat hati antara eomma dan Hye-Na. Menjijikkan!
“Sering-seringlah datang kemari, temani eomma. Dan kau Kyuhyun, jangan terus-terusan mengganggu Hye-Na. kasihan dia!”
“Bela saja terus!” seruku kesal sambil memasukkan koper-koper ke dalam mobil. Eunhyuk membantuku. Dia baru saja pindah kesini kemarin.
Setelah semuanya selesai, aku naik ke dalam mobil, memencet klakson keras-keras, mengakhiri acara tangis-taangisan mereka. Aku menggertakkan gigi melihat Eunhyuk mengacak-acak rambut Hye-Na. Sial!
Hye-Na masuk ke dalam mobil sambil melambaikan tangannya kea rah eomma dan Eunhyuk.
“Perpisahan yang mesra sekali!” ejekku sambil menginjak pedal gas. “Seolah-olah kau akan pindah ke Antartika saja.”
Dia mendelik ke arahku lalu memalingkan wajah, memilih mengacuhkan ucapanku.
***
HYE-NA’S POV
Kami menempati kamar terpisah sekarang, yang hanya semakin memperparah keadaan. Dia pergi pagi dan pulang larut malam. Kadang-kadang dalam satu hari aku bahkan tidak melihat wajahnya. Membuatku sengsara saja! Sudah cukup aku tidak mendengar suaranya, masa melihat wajahnya juga tidak bisa?
Sampai pada suatu pagi dia mendatangi kamarku.
“Bagaimana kalau hari ini kita gencatan senjata? Aku membutuhkanmu,” ujarnya.
Selama kata butuh dilibatkan, aku tidak peduli yang lainnya.
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Ng… hari ini ada pesta untuk merayakan peluncuran album baruku sekaligus ulang tahun perusahaan dan kurasa akan lebih baik kalau kau ikut. Untuk memperbaiki imej-ku.”
Imej. Hanya untuk itu ternyata.
“Apa aku harus dandan?”
“Ya, sebaiknya. Aku jemput kau jam 7. Aku harus mengikuti acara lain siang ini.”
“Terserah,” ucapku, berusaha terkesan tidak peduli.
***
Aku menelepon Ji-Yoo, meminta bantuannya. Untung saja dia tidak punya pekerjaan siang ini.
Dia datang jam 4 sore, membawa dua helai gaun. Satu untuknya dan satu untukku, beserta peralatan make-upnya yang sangat lengkap.
“Kau mau berangkat bersama kami?” tanyaku menawarkan.
“Tidak. Eunhyuk akan menjemputku,” ujarnya tersipu.
Aku tersenyum. “Beruntung sekali Eunhyuk bisa mendapatkanmu,” komentarku.
“Dengan sedikit kesabaran tentunya,” guraunya seraya mengulurkan gaun berwarna peach ke arahku. Aku beranjak ke kamar mandi, mengganti bajuku.
“Cantik sekali!” serunya saat aku sudah berada dalam sudut pandangnya lagi.
Setelah itu dia mulai sibuk merias wajah standarku. Memolesnya di sehgala tempat. Dia membiarkan rambut ikalku tergerai lepas, memberikan sentuhan jepitan bunga yang manis di atasnya.
“Luar biasa!” ujarnya sambil tersenyum puas, mengagumi hasil karyanya sendiri.
“Aku tidak secantik itu, kau tahu!” protesku malu.
“Itu kan menurutmu! Tunggu sampai Kyuhyun melihatnya!”
***
Seperti janjinya, Kyuhyun menjemputku tepat jam 7. Dan seperti biasa, dia juga tidak berkomentar apa-apa melihat penampilanku. Ji-Yoo berangkat 15 menit yang lalu, dijemput Eunhyuk tentunya.
Aku meliriknya sekilas. Dia selalu terlihat sangat tampan jika memakai jas. Warna hitam itu terlihat sangat kontras di kulitnya yang putih. Menyilaukan.
Dua puluh menit kemudian dia membelokkan mobilnya masuk ke pelataran gedung hotel berbintang lima, membukakan pintu untukku lalu mengulurkan tangannya untuk kugandeng. Seandainya hubungan kami tidak seperti ini, aku pasti sudah menjadi yeoja paling bahagia di seluruh dunia.
Aku berjalan susah payah dengan sepatu berhak 15 sentiku. Dasar Ji-Yoo, apa dia mau membunuhku?
Tidak seperti biasa, dia sama sekali tidak kelihatan tidak sabar denganku. Sesekali dia malah memegangiku saat aku kesusahan menaiki tangga, sedangkan aku memilih berkonsentrasi agar tidak terengah-engah karena sentuhannya.
Ramai sekali di dalam dan ada begitu banyak artis yang datang. Mereka tampak mewah dan gemerlapan, membuatku merasa tidak seharusnya aku berada disini.
“Jangan gugup. Tenang saja, aku tidak akan melepaskanmu,” bisiknya di telingaku. Bukannya tenang, hembusan nafasnya malah membuyarkan konsentrasiku.
Aku nyaris menangis saat melihat Eun-Ji melangkah anggun ke arah kami. Sia-sia saja aku berdandan habis-habisan, mendekati kecantikannya pun tidak.
“Hai, Kyuhyun oppa! bagaimana kalu kita berdansa? Musiknya bagus, kesukaanmu, kan?” ujarnya dnegan suara lembut, membuat namja manapun pasti akan terpesona olehnya. Tapi tidak kali ini, aku tidak akan membiarkan itu terjadi.
“Maaf, kalau kau belum tahu juga, aku akan memperjelasnya. Kyuhyun milikku. Jadi kalau kau mau berdansa dengannya, kau harus minta izin dulu padaku. Tapi kurasa tidak usah saja, toh aku tidak akan pernah sudi menyerahkannya padamu,” ujarku tajam.
Aku bisa mendengar Kyuhyun tertawa pelan di sampingku, merangkul pinggangku dari belakang. Aku bisa merasakan semua orang menatap kami, bahkan aku pikir para wartawan itu hampir meledak saking senangnya bisa mendapat berita baru.
Kyuhyun membungkuk, meletakkan dagunya di atas bahuku. Dia masih tertawa.
“Kau dengar, kan?” ujarnya sennag. “Istriku melarangku. Jadi sudahlah, menyerah saja,” lanjutnya, membuat Eun-Ji berbalik dan meninggalkan kami dnegan marah.
“Gomaweo,” bisiknya, membuatku terkesiap saat dia mengecup pipiku kilat. Oh, jangan besar kepala, Hye-Na, batinku memperingatkan diri sendiri. Dia hanya ingin memperbaiki imejnya saja!
***
Kami pulang hampir tengah malam. Aku melepaskan sepatuku, menjinjingnya dnegan tangan kiri. Kyuhyun membukakan pintu untuk kami. Merasa salah tingkah, aku baru akan memutuskan untuk langsung masuk ke kamarku, saat tiba-tiba saja dia sudah mencekal tanganku.
“Apa maksud perkataanmu tadi?” tanyanya sambil menatapku tajam.”
“Yang mana?” Aku balik bertanya bingung.
“Bahwa aku milikmu. Bahwa kau tidak sudi menyerahkanku pada siapapun.”
“Eh, itu… hanya agar dia tidak terus-terusan mengganggumu,” jawabku gugup.
“Dengar Hye-Na,” uajrnya tajam seraya menyentakkan tanganku, mendorongku sampai tersudut ke dinding. “Kau tahu? Aku memang tidak membabi-buta pada perasaanku. Aku mampu menahannya jika aku memang harus melakukannya. Tapi smeua itu tidak lantas menjadikanku sebagai namja baik-baik. Mungkin kau menganggapku gila, atau mungkin juga aku sudah gila. Tapi tahukah kau sudah berapa kali aku membayangkan memelukmu? Ratusan! Walaupun aku tidak berusaha melakukannya dengan yeoja lain saking putus asanya. Jadi lain kali, lebih baik kau berhati-hati jika ingin memanas-manasi aku, mengerti?”
“Memanas-manasi bagaimana?” gagapku, merasa gugup dengan posisi kami yang terllau dekat.
“Bersikap seolah-olah kau memberiku kesempatan, seolah-olah kau memang menginginkan aku.”
“Kesempatan apa?” tanyaku bingung. Aku bahkan nyaris tidak bisa berpikir waras sekarang.
Dia tidak menjawab, tapi malah menundukkan wajahnya ke arahku. Dengan dua tangan dia meraih wajahku, nyaris dengan kasar, dan tiba-tiba saja dia sudah menciumku, bibirnya yang tidak mau berkompromi melumat bibirku.
Benar-benar tidak ada alasan untuk perilakuku. Jelas-jelas mestinya aku tahu bahwa aku seharusnya mendorong tubuhnya. Tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bereaksi seperti dulu. Bukannya tetap diam dengan aman, lenganku malah terangkat dan memeluk erat pinggangnya.
Bibirnya menciumku dnegan lebih ganas, tangannya menyelusup masuk ke dalam helai rambutku dan mendekap wajahku erat-erat. Aku membalas ciumannya, jantungku berdebar-debar tidak berirama saat nafasku memburu, berusahaa mencari oksigen. Aku bisa merasakan tubuhnya yang menempel di tubuhku. Tangannya meraba wajahku, membuatku benar-benar kehilangan kendali atas diriku sendiri.
Satu tangannya meluncur menuruni punggungku, mendekapku lebih erat lagi ke dadanya. Lidahnya menjelajahi lekuk bibirku dengan lembut. Dia mengangkat tubuhku dari lantai agar tidak perlu bersusah payah membungkuk untuk menciumku.
Kemudian pikiran baru mulai melintas di benakku. Ini tidak mungkin berhenti hanya sampai disini. Kami hanya berdua, tidak ada yang akan menghentikan kami. Tidak dia ataupun aku.
Dia meraupku ke dalam gendongannya. Bibirnya masih menciumiku dengan antusias. Aku bisa mendengarnya membuka pintu kamar. Jantungku mulai berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
Aku mendengar suara kain robek. Apa itu gaunku? Atau kemejanya? Aish, memangnya aku peduli?

HYE-NA’S POV

Aku terbangun kaget keesokan harinya saat menyadari ranjang di sampingku sudah kosong. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku, merasakan luapan kegembiraan yang menggebu-gebu di sekujur tubuhku. Lalu sedikit rasa malu.
Aku meraih secarik kertas yang tergeletak di atas bantal.
Maaf, aku ada acara pagi ini, sengaja tidak mau membangunkanmu. Ah… dan terima kasih untuk malam terindah dalam hidupku….

-Kyuhyun-

Aku tersenyum membca kaliamt terakhir dalam suratnya. Manis sekali….
***
KYUHYUN’S POV

Aku menghembuskan nafas pelan. Aku tidak ada pekerjaan yang terlalu penting sebenarnya pada hari ini, aku hanya merasa harus meninggalkannya karena tidak tahu harus berkata apa saat dia terbangun nanti.
Bagaimana kalau dia menyesal? Bagaimana kalau ternyata dia sama sekali tidak sudi hal itu terjadi? Aku sama sekali tidak siap dengan semua penolakannya nanti.
***
HYE-NA’S POV

Aku mengangkat HP-ku yang dari tadi terus menerus berdering nyaring. Tersenyum saat tahu siapa yang menelepon.
“Hai,” ujarku gugup, teringat lagi tentang kejadian semalam.
“Hai. Bisakah kau memesan makanan dari restoran untuk mala mini? Untuk sekitar 20 orang. Eomma tadi menelepon, katanya hari ini ada acara kumpul keluarga dan mereka ingin melkaukannya dia apartemen kita.”
Aku tersenyum sinting, menyukai caranya menggunakan kata kita.
“Baiklah.”
“Ya sudah. Annyeong!”
Telepon di seberang terputus begitu saja. Aku mengerutkan kening, kenapa dia jadi aneh seperti itu?
***
Eomma, appa, Eunhyuk, dan Ji-Yoo sudah datang. Appaku menyusul beberapa menit kemudian. Kami semua sibuk menyiapkan ruangan, menata makanan di atas meja. Aku mulai agak panik sekarang, kenapa Kyuhyun belum datang juga?
Dia baru datang sekitar jam 8, saat semua orang sudah berkumpul. Setelah ganti pakaian, dia bergabung dengan kami. Meminta maaf atas keterlambatannya.
Aku menatapnya dari seberang ruangan. Sweater biru dan celana jins putih itu membuatnya tampak amat sangat tampan. Tapi ada yang salah sepertinya. Dari tadi tidak pernah sekalipun dia menatap ke arahku.
Kepercayaan diriku mulai runtuh. Apa dia menyesal karena melakukannya?
Salah seorang bibi Kyuhyun yang sedikit sinis hanya semakin memperburuk keadaan.
“Lihat, sepertinya kalian ini aneh. Kurasa perjodohan berakibat tidak baik bagi mereka. Mereka tidak cocok jadi suami istri. Coba pikir, bagaimana mungkin gadis ini belum hamil sampai sekarang? Atau jangan-jangan kau masih perawan?” selidiknya ke arahku. “Apa Kyuhyun tidak sudi menyentuhmu?”
“Young-Ri, jaga bicaramu!” tegur eomma marah.
Aku bangkit berdiri.
“Maaf, kurasa kalian butuh tambahan minuman, biar kuambilkan,” ujarku, lalu menghilang ke arah dapur.
Aku bersandar pada meja dapur. Mencoba menenangkan diri. Sesaat kemudian Kyuhyun sudah muncul di hadapanku. Aku menunduk, menolak menatapnya.
“Gwaenchana?” tanyanya khawatir.
Aku mendongak, menatapnya kesal.
“Bagaimana mungkin aku tidak apa-apa?” ujarku ketus.
Dia mendekat, memegangi lenganku. Aku menepisnya dengan kasar.
“Tidak perlu repot-repot mencemaskanku. Dari tadi kau sama sekali tidak mau melihatku, kan? Kenapa? Apa aku menijikkan?” semburku marah.
Dia menatapku tajam. Aku mnedengar suara-suara mendekat.
“Belum apa-apa mereka sudah bertengkar!” seru Young-Ri ajjumma.
“Kupikir kita harus memperlihatkan sesuatu,” ujar Kyuhyun seraya mendudukkanku ke atas meja sehingga wajahku sejajar dengannya. Aku terkesiap saat dia menciumku, bertepatan saat ajjumma masuk ke dapur.
“Dasar anak muda!” gumamnya lalu pergi meninggalkan kami. Tapi aku tidak memedulikannya. Aku malah sibuk memikirkan tentang ciuman ini. Ciuman ini aneh. Dingin. Seolah-olah dia dengan sangat terpaksa melakukannya.
Dia mendorongku, menegakkan tubuhnya dengan kaku.
“Terima kasih,” gumamnya.
“Sama-sama!” ujarku ketus.
***
Keesokan paginya aku memutuskan untuk berbicara padanya. Aku sudah memikirkannya semalaman, berusaha mencari jawaban, tapi tak mendapatkan apa-apa.
Aku membuka pintu kamarnya. Kosng. Aish, dia bahkan tidak mau bertemu denganku.
Satu minggu lewat dengan keadaan yang sama. Aku nyaris gila dengan ini semua. Pada malam ke-7, aku memutuskan untuk menunggunya pulang. Ini benar-benar sudah kelewatan. Tengah malam aku mendengar pintu masuk terbuka. Aku menghidupkan lampu, mendapatinya terkesiap kaget saat melihatku.
“Aku mau bicara,” ujarku dingin.
“Ini sudah malam, Hye-Na~ya. Besok saja,” elaknya.
“Oh, dan besok subuh-subuh kau sudah pergi lalu baru pulang lewat tengah malam. Kau pikir aku tidak tahu isi otakmu?!”
“Oke, kau mau apa?” tanyanya, terpaksa mengalah.
Aku terdiam, mencari kata-kata yang tepat.
“Kau menyesal dengan apa yang terjadi malam itu.”
Dia menatapku dengan raut wajah frustasi.
“Menyesal? Dan kau tidak?” teriaknya.
“Dan kenapa aku harus menyesal?” Aku membalikkan pertanyaannya.
“Bukan hal aneh kalau kau berpikir bahwa tidak seharusnya kau tidur denganku. Karena aku bukan namja yang pantas untukmu mungkin? Kau kan tidak menyukaiku.”
“Oke, kita harus melalui tahap pura-pura ini. Aku sama sekali tidak menyesal tidur denganmu. Jelas?”
“Sekarang memang tidak, allu bagaimana kalau kau hamil? Kau akan meneriakiku karena membuat tubuhmu membesar, melahirkan anak yang sama sekali tidak kau inginkan.”
“Aku bukan gadis seperti itu! Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan tapi bisa-bisanya kau menuduhku seperti itu! Mungkin kau yang menyesal karena meniduriku, dilanda ketakutan bahwa kau akan menjadi seorang ayah di saat karirmu sedang menanjak, bahwa seorang anak hanya menambah sesak hidupmu saja!” teriakku.
Dalam sekejap dia sudah berdiri di hadapanku, menarikku ke dalam pelukannya.
“Kita harus melewati semua kepura-puraan ini, kan?” gumamnya. “Aku sudah bilang bahwa itu malam terindah dalam hidupku, aku sama sekali tidak keberatan menjadi ayah asalkan itu berasal dari rahimmu. Aku hanya ketakutan bahwa kaulah yang menolak itu semua. Baguslah kalau tidak.”
***
Dia mengantarku ke kampus keesokan paginya, membukakan pintu untukku lalu memaksa untuk mengantarku sampai ke dalam. Seandainya dia mencintaiku, pasti ini semua akan semakin sempurna.
Semua orang memperhatikan saat dia mengecup keningku pelan lalu berbalik pergi setelah memastikan bahwa aku akan baik-baik saja.
Baru saja dia menghilang, seseorang langsung merusak hari indahku.
“Oh, manis sekali!” ujar Jin-Rin, salah seorang mahasiswi tercantik di kampus, seraya bertepuk tangan pelan, disertai dengan pengikut-pengikut setianya.
“Tidak tahu apa Kyuhyun itu buta atau memang bodoh sehingga memperistri yeoja sepertimu! Masih mending selingkuhannya si Eun-Ji itu, setidaknya dia cantik. Sedangkan kau? Aku sebagai fans terberatnya menyesali hal ini.”
Dia mendekatiku, menatapku sadis.
“Lihat wajahmu,” ujarnya seraya memegangi daguku dengan tangan kanannya. “Pembantu di rumahku saja masih jauh lebih cantik darimu.”
Lalu tiba-tiba saja dia mendorong tubuhku dengan kasar sampai kepalaku terbentur ke dinding. Aku merasakan sakit menderaku tanpa ampun. Perutku terasa mual mencium bau darah. Aku mendengar orang-orang mulai berteriak panik, kemudian semuanya gelap.
***
KYUHYUN’S POV

Belum sampai satu menit aku keluar dari gerbang kampus, aku melihat HP-nya tergeletak di atas jok kursi penumpang. Aku memutuskan untuk berbalik arah, berniat mengembalikan HP itu padanya.
Baru saja turun dari mobil, aku mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Aku mempercepat langkahku, berlari panik ke arah kerumunan orang-orang. Benar saja, aku melihat Eunhyuk sedang menopang tubuh Hye-Na. darah mengalir dari kepalanya.
“Biar aku saja,” uajrku saat Eunhyuk berdiri untuk mengangkat tubuh Hye-Na. dia menyerahkan Hye-Na padaku, mengikuti langkahku ke mobil.
“Apa yang terjadi?” tanyaku, memberi kunci mobil ke Eunhyuk, menyuruhnya mengemudi. Aku lebih memilih menjaga Hye-Na di kursi belakang.
“Jin-Rin mengganggunya. Yeoja tercantik di kampus. Mengatainya yang tidak-tidak. Kalau Hye-Na tidak pantas untukmu. Yeoja sialan! Biar aku yang mengurusnya nanti,” ujar Eunhyuk geram.
“Tidak. Biar aku saja. Aku akan membuatnya menyesal.”
***
“Ji-Yoo~a, aku tidak bisa ke studio sekarang,” kataku setelah Ji-Yoo mengangkat teleponnya.
“Kenapa?”
“Aku ada di rumah sakit sekarang, jadi….”
“Siapa yang sakit? Istrimu?” selanya sebelum aku sempat menjelaskan apa-apa.
Aku tersenyum.
“Bukan. Mukjizat pribadiku,” ujarku sambil menutup telepon.
***
Aku membuka pintu ruangan dokter yang memeriksa Hye-Na. Dia menyuruhku menemuinya tadi.
“Silahkan duduk,” katanya, menunjuk kursi di depan mejanya.
“Ada masalah?” tanyaku cemas.
“Masalah besar. Besar sekali,” ucapnya dengan suara lebar.
Dokter sialan, batinku. Istriku sakit dia malah tertawa.
“Selamat, istri Anda hamil. Anda akan segera menjadi seorang appa.”
***
HYE-NA’S POV

Aku membuka mataku perlahan, mengerjap saat cahaya matahari terasa menyilaukan mataku. Rasa sakit yang berdenyut-denyut di kepalaku digantikan rasa butuh yang sangat untuk menatap wajahnya.
Dan Tuhan mengabulkan permintaanku.
Kyuhyun menunduk di atasku, senyum lebar tersungging di bibirnya. Oh, dia bahkan terlihat lebih tampan dari mimpiku tadi.
“Hai, kau sudah bangun,” ujarnya seraya mengusap kepalaku. Sentuhannya terasa menenangkan.
“Hmm.” Aku menggumam, meliriknya curiga. “Ada yang ingin kau katakan?” selidikku, membuat senyumnya bertambah lebar.
“Beberapa hari yang lalu kau sudah bilang ini tidak akan menjadi masalah,” ujarnya lalu menyentuhkan bibirnya sekilas ke keningku.
“Apa?” tanyaku tak sabar.
“Bagaimana menurutmu kalau aku jatuh cinta pada seseorang?”
Aku merasakan tubuhku ditusuk berates-ratus jarum sekaligus.
“Bagus. Siapa?” tanyaku berpura-pura tidak mempermasalahkan ucapannya.
“Aku belum tahu siapa dia. Sepertinya kita harus menunggu 9 bulan lagi.”
“9 bulan?” ulangku tak percaya. Sebuah pemahaman baru melintas di benakku. Aku nyaris tidak bisa berkata apa-apa saking kagetnya.
Setelah berhasil menenangkan diri, aku menatapnya.
“Kau tidak mau memelukku?” tanyaku menawarkan. Kali ini aku yang tersenyum lebar.
Dia menunduk, melingkarkan tangannya dengan hati-hati di sekeliling tubuhku. Senyum bahagia melintas di wajahnya.
Anak… seorang anak sedang tumbuh di rahimku. Darah dagingnya….
***
KYUHYUN’S POV

Aku turun dari mobil lalu berjalan memasuki kampus Hye-Na. aku kesini untuk memberi pelajaran pada gadis sialan bernama Jin-Rin itu. Dia harus mendapat balasan atas perlakuannya terhadap istriku.
Hye-Na sendiri sekarang sedang dimonopoli oleh eommaku. Beliau memaksa kami pindah lagi ke rumahnya agar dia bisa menjaga Hye-Na saat aku tidak ada. Aku sama sekali tidak keberatan, ide itu cukup bagus untuk keselamatan anak kami.
“Kau tahu Jin-Rin ada dimana?” tanyaku pada seorang gadis yang kebetulan lewat. Dia mematung saking syoknya menatapku. Aku harus menunggu beberapa saat sampai dia bisa mengendalikan diri dan menjawab pertanyaanku.
“Di kan… tin,” ucapnya terbata-bata.
“Terima kasih,” sahutku sambil tersenyum padanya.
Aku berghegas ke arah kantin, bertanya lagi pada seseorang karena aku tidak tahu seperti apa wajah si Jin-Rin itu. Aku memutuskan bertanya pada seorang namja sekarang, agar tidak terlalu banyak menghabiskan waktu.
Dia menunjuk seorang yeoja yang duduk di sudut kantin. Dia sedang tertawa-tawa bersama para pengikutnya, menurut dugaanku.
Aku menelitinya dari jauh, mencaci dalam hati. Apa cantiknya dia?
“KYUHYUN OPPA?!” serunya kaget saat aku sampai di hadapannya. “Ayo duduk!” katanya seraya memberi kode kepada teman-temannya untuk memberikan kursi mereka kepadaku.
“Tidak perlu,” ujarku dingin. “Aku pikir tidak perlu basa-basi untuk bicara padamu, aku takut kau tidak bisa mencerna ucapanku. Dengar, aku tidak peduli apapun pendapatmu tentang Hye-Na, tapi dia istriku. Walaupun aku disuruh memilih di antara seratus gadis seperti kau, aku tidak perlu pikir panjang lagi untuk memilihnya. Kau bahkan tidak memiliki seperseribu dari kesempuranaannya. Kau hanya yeoja yang mengagung-agungkan kecantikan tapi otakmu kosong dan hatimu busuk seperti sampah. Merana sekali namja yang mau jadi kekasihmu. Kusarankan lebih baik kau bercermin terlebih dahulu sebelum mengata-ngatai orang lain. Jujur saja, kau sama sekali tidak menarik minatku,” kataku sinis lalu melangkah pergi meninggalkannya yang mematung kaku dengan wajah syok menahan malu. Aku tertawa dalam hati memikirkan nasibnya di kampus hari-hari ke depan. Seisi kampus mendengar ucapanku dan bukan hal yang aneh jika dia menjadi bahan olok-olokan setelah ini. Aku bahkan berani bertaruh dia tidak akan sanggup memunculkan batang hidungnya lagi di tempat ini.
***
HYE-NA’S POV

“Hai,” sapaku saat melihat Kyuhyun muncul di pintu kamar.
Dia tersenyum, mendorong pintu kamar hingga tertutup kemudian duduk di sampingku.
“Kau sudah baikan? Masih pusing?”
Aku menggeleng.
“Kau dari mana?” tanyaku.
“Dari kampusmu. Memberi pelajaran pada yeoja sialan itu.”
“Yang benar?! Kau ini! Seharusnya tidak perlu seperti itu!” seruku kaget.
“Dia memang pantas menerimanya,” ujar Kyuhyun seraya mengedikkan bahu tidak peduli. “Kau sudah makan?”
Lagi-lagi aku menggeleng. “Tidak, aku tidak nafsu makan,” jelasku.
“Nanti… seandainya kau ngidam, tolong jangan yang aneh-aneh, oke?”
Aku tertawa geli melihat ekspresinya.
“Oke, tenang saja.”
***
6 bulan berlalu. Diiringi keanehan-keanehan baru dalam hidupku. Kyuhyun yang setiap pagi bangun membuatkan susu untukku, Kyuhyun yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi, Kyuhyun yang rela meninggalkan pekerjaannya untuk mengurusku, sampai-sampai aku sempat mengira bahwa dia mencintaiku, yang kemudian dihempas kenyataan kalau dia hanya tidak ingin terjadi apa-apa terhadap anaknya.
Hari ini wisudaku. Cukup dadakan sebenarnya karena kupikir skripsiku tidak akan selesai tepat waktu. Tapi hidupku memang selalu beruntung sepertinya. Sayang sekali appaku tidak bisa datang hari ini karena kesibukannya. Tidak apa-apa juga, toh ada eomma yang menemaniku.
Tapi brengseknya, suamiku yang sialan itu sama sekali tidak tampak batang hidungnya dari tadi. Acara baru saja selesai dan masih tidak ada juga tanda-tanda bahwa dia akan datang.
“Hye-Na~ya, eomma mau ke toilet sebentar. Toiletnya di sebelah sana, kan? Kau tunggu saja disini, sebentar lagi supir datang,” kata eomma sembari bergegas pergi.
Aku mengangguk, menyandarkan kepalaku ke sandaran kursi taman, terpaksa menutupi mata untuk menghindari cahaya matahari yang menyilaukan. Kemudian tiba-tiba saja cahaya itu menghilang, dihalangi oleh seseorang yang menunduk di atasku.
Aku membuka mata, mendesah lega saat mendapati bahwa dialah yang berada di ahdapanku.
“Kupikir kau tidak akan datang,” ejekku.
“Tadi ada urusan di kantor. Selesainya memang tepat waktu, tapi tadi ada kecelakaan di jalan, jadi macet,” jelasnya seraya menyodorkan sebuket bunga ke arahku.
Aku mengambilnya dengan antusias, membenamkan hidungku ke dalam keharuman bertangkai-tangkai bunga lili putih itu.
“Kau tahu darimana bunga kesukaanku?”
“Sedikit merendahkan diri sebenarnya. Aku bertanya pada Eunhyuk. Dan dia benar-benar menyebalkan!” desis Kyuhyun geram.
“Kau suka? Awas saja kalau tidak!” ancamnya.
Aku tertawa lalu mengangguk senang. Dan tiba-tiba saja dia sudah menunduk lalu memberi kecupan ringan di bibirku.
Aku berharap aku bisa terbiasa dengan hal ini, tapi nyatanya tidak pernah. Setiap sentuhannya berakibat fatal pada seluruh jaringan syarafku dan itu benar-benar memalukan.
“Siapa gadis pertama yang kau cium?” tanyaku penasaran. Tempat dan waktu yang salah sebenarnya, tapi masa bodohlah, aku tidak bisa menyimpan pertanyaan ini lebih lama lagi.
“Kau,” sahutnya enteng.
“Tapi kau belajar darimana? Masa bisa semahir itu?”
Dia tertawa geli mendengar ucapanku. “Kemampuan alami,” katanya, terlihat puas pada diri sendiri.
“Memangnya kau tidak merasakan apa-apa saat menciumku?” tanyaku lagi.
“Kalau kau?”
“Jawab dulu pertanyaanku!” bentakku kesal.
“Aku akan menjawab kalau kau juga menjawab pertanyaanku tadi terlebih dahulu,” ujarnya menyebalkan.
“Jujur saja, rasanya seperti candu,” akuku setelah beberapa saat.
“Wah, Hye-Na~ya, ini tempat umum, loh!” guraunya.
“Sialan kau! Kau mau menjawab pertanyaanku atau tidak?” gertakku.
“Aku namja, tentu saja menciummu memberi dampak besar untukku. Kau tidak tahu saja bagaimana sulitnya mengontrol diri saat minggu-minggu pertama pernikahan kita. Kau terlalu menggoda soalnya.”
Aku memalingkan wajahku ke arah lain, malu mendengar ucapannya. Aku menggoda? Astaga, dia pasti sudah gila!
***
Kandunganku sudah mulai membesar. Untung saja aku tidak ngidam yang aneh-aneh. Yang paling parah hanya waktu aku ngidam makan ddubbokki tengah malam, sehingga Kyuhyun harus berkeliling mencarinya. Tapi gilanya, aku malah tidak nafsu lagi melihatnya saat makanan itu sampai di hadapanku. Dan anehnya, Kyuhyun sabar sekali menghadapiku.
Sialnya, malam ini aku menginginkan hal lain yang sebenarnya mudah, tapi begitu memalukan untukku.
“Kyuhyun~a,” panggilku, berusaha menekan harga diriku sampai ke tingkat paling minimum.
Dia menoleh dari komputernya, memutar kursinya menghadap ke arahku.
“Aku….”
“Kau ngidam lagi?” tebaknya melihat gelagatku.
“Sepertinya,” uajrku dengan wajah memerah.
Merasa penasaran, dia berdiri lalu duduk di sampingku. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Kamar ini tiba-tiba saja terasa panas.
“Jangan marah,” pintaku.
“Tergantung.”
“Pada?”
“Apa yang kau inginkan,” jawabnya.
Dengan rikuh aku beringsut sedikit mendekatinya, berlutut di atas tempat tidur. Sekilas aku bertanya dalam hati, bagaimana mungkin aku memiliki suami setampan ini?
Aku melihat alisnya berkerut heran saat aku mengalungkan tanganku ke lehernya. Aku menunduk, dnegan hati-hati menempelkan bibirku ke bibirnya.
“Kau memintaku agar jangan marah? Seharusnya kau memperingatkanku agar tidak lepas control, Hye-Na,” gumamnya di sela-sela ciuman kami.
Dia mendudukkanku ke atas pangkuannya, membiarkanku yang mengambil alih. Tapi aku terlalu malu untuk melakukannya, sehingga akhirnya dia mengambil inisiatif. Perlahan dia membuka bibirku, berhati-hati menelusupkan lidahnya. Beberapa detik kemudian kami saling menjauh, terengah-engah mengambil nafas.
“Hanya ciuman?” tanyanya memastikan.
Aku mengangguk malu lalu mengambil jarak darinya.
“Kau mau tidak bernyanyi untukku? Hanya sampai aku tertidur,” pintaku.
“Aku punya lagu baru, tapi belum ada lirik. Mau dengar?”
Aku mengangguk. Dia mengambil gitar yang tersandar di sudut ruangan lalu memainkan melodi asing yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Iramnaya menenangkan.
Huft, bisakah seseorang memberitahuku bagian mana dari dirinya yang tidak mempesona?
***
KYUHYUN’S POV

“Hai, saengil chukhahae!” seru Hye-Na saat aku baru membuka mata, terbangun dari tidurku.
“Memangnya sekarang tanggal berapa?” tanyaku seraya merentangkan tangan, meregangkan otot-ototku.
“3 Februari,” katanya.
Dia duduk di sampingku, menyodorkan segelas teh dan roti bakar.
“Romantis sekali,” ejekku, memajukan tubuhku sedikit untuk mengecup keningnya.
“Kau mau hadiah apa?” tanyanya dengan wajah memerah.
Aku memutar otak sesaat.
“Bagaimana kalau siang nanti kau memasak untukku?”
“Eh, ng… yang lain saja bagaimana? Aku tidak bisa memasak,” ujarnya gugup.
“Tapi waktu itu kau menawarkan diri untuk membantu eomma memasak.”
“Itu hanya basa-basi. Aku tahu eomma tidak akan membiarkanku melakukannya.”
“Tidak, kau harus melakukannya untukku. Ini kan hari ulang tahunku, aku boleh minta apa saja!” kataku disambut erangan panik darinya.
“Tidak boleh memintta bantuan pada eomma,” tukasku mengingatkan.
“Huh, lebih baik aku melupakan ulang tahunmu saja tadi. Akibatnya buruk sekali!”
***
Dia mengantarku sampai ke depan mobil, masih dnegan tampang cemberutnya.
“Jangan lupa memasak. Nanti aku pulang waktu makan siang.”
“Bagaimana kalau tidak enak?” rajuknya.
“Aku orang yang menghargai kerja keras, Hye-Na. bagaimanapun rasa masakanmu nanti, aku akan tetap memakannya, jadi tenang saja.”
Dia mendengus kesal, marah akan kegagalan usahanya untuk membujukku.
Aku tersenyum dan mengecup keningnya.
“Aku pergi dulu,” ucapku sambil mengacak-acak rambutnya.
“Hmm… hati-hati,” balasnya.
Aku mengangguk.
“Jaga anak kita baik-baik, oke?” pintaku, mengelus perutnya sekilas lalu berbalik pergi.
***
HYE-NA’S POV
Aaaaaargh!!! Sial! Aku harus masak apa?!! Mampus! Merebus air saja aku belum pernah! Astaga, ini benar-benar menyebalkan!
***
Aku menatapnya deg-degan saat dia menyendok ramyeon buatanku. Yups, ramyeon! Dengan kerja keras yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Mulai dari merebus air dan tetek bengek lainnya.
“Hye-Na~ya,” gumamnya setelah suapan pertama sudah ditelannya. “Kau parah sekali.”
“M… mwo? Kau!” geramku.
Dia mengerlingkan matanya lalu menyodorkan mangkuk mie rebus itu kepadaku, menyuruhku mencobanya. Takut-takut aku menyendok ramyeon itu lalu menyuapkannya ke dalam mulutku. Refleks aku nyengir ke arahnya.
Dia menatapku putus asa, menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Terlalu banyak air. Rasanya benar-benar tawar,” sergahnya tak percaya. “Kau… lebih dari sekedar sangat parah.”
“Kan sudah kubilang aku tidak bisa!” seruku mengajukan pembelaan diri.
“Tidak usah berteriak-terika begitu, aku kan hanya memberi komentar,” katanya seraya melanjutkan acara makannya tadi.
“Sudahlah, tidak usah dimakan,” cegahku. “Aku tidak mau kau sakit. Tadi eomma sudah membuatkan jajangmyeon kesukaanmu. Kau pasti lapar, kan?”
***
Satu setengah bulan lagi berlalu. Diiringi dengan kejadian-kejadian aneh lain yang belum pernah aku alami sebelumnya. Periksa kandungan secara rutin, USG (anak kami laki-laki), serta belanja perlengkapan bayi. Aku juga sudah mulai terbiasa dengan kehadiran para wartawan yang begitu menggebu-gebu untuk mendapatkan berita.
Sekarang… hmmmmfh… Aaaaargh!!! 15 menit lagi aku akan melahirkan! Astaga, aku benar-benar gugup! Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku menjalani ini semua? Hal yang peling kutakuti di atas dunia ini adalah jarum suntik dan darah! Mereka membuatku mual!
“Tenanglah, Hye-Na~ya,” ujar Kyuhyun seraya menyeka keringat yang mengalir di keningku dengan tisu. Tangan kirinya menggenggam erat tanganku.
“Tenang, tenang! Coba kalau kau yang melahirkan!” semprotku.
Aku melihatnya tersenyum maklum.
“Aku sudah belajar kesabaran. Kuharap sebentar lagi aku bisa lulus dengan nilai memuaskan,” gumamnya di telingaku, bertepatan dengan saat dokterku memasuki ruangan.
“Oke, waktunya sudah tiba, Nyonya Cho. Kalau bisa Anda harus mengejan sekuat tenaga, bagaimana? Anda sudah siap?”
Aku mengangguk, merasakan genggaman tangan Kyuhyun yang semakin menguat.
“Berusahalah,” bisiknya.
Tidak usah kuceritakan saja bagaimana sakitnya penderitaan itu. Bahkan melebihi berkali-kali lipat daripada apa yang pernah kubayangkan. Yang membuatku bertahan hanyalah keberadaan Kyuhyun di sampingku, dan bahwa aku sedang menyabung nyawa untuk melahirkan anak kami, bukti sah bahwa aku mencintainya….
***
Berbulan-bulan aku memimpikan saat-saat ini. Saat dimana Kyuhyun menyerahkan anak kami ke tanganku. Saat dimana aku menggendong anak itu. Dia tampan sekali. Dan anehnya, walaupun dia memiliki bentuk hidung dan bibir sepertiku, hal itu sama sekali tidak memperburuk tampilannya, tapi malah menyempurnakan wajahnya yang sudah sempurna.
“Namanya siapa?” tanyaku pada Kyuhyun.
“Kau mau aku yang memberi nama?” Dia menatapku tak percaya.
Aku mengangguk.
“Bagaimana kalau… Jino? Cho Jinho?”
“Bagus. Aku suka. Itu saja.”
Dia mengelus kepalaku, menatap anak kami yang sedang tertidur pulas dalam gendonganku.
“Terima kasih, Hye-Na~ya…” bisiknya, mengabulkan seluruh mimpi burukku. Menghempaskanku kembali ke bumi. Waktunya sudah tiba….
***
Beberapa bulan terakhir aku memikirkan banyak hal. Alasan utamanya menikahiku hanyalah untuk mendapatkan keturunan yang akan meneruskan perusahannya kelak. Dan dia sudah mendapatkannya sekarang. Ditambah kata-kata terima kasih darinya tadi membuatku semakin yakin hidup bahagiaku berakhir sudah. Dia tidak membutuhkanku lagi….
***
KYUHYUN’S POV

Dua minggu kemudian…

“Kyuhyun~a, cepat pulang! Hye-Na hilang dan tiba-tiba saja ada surat aneh yang datang!” seru eommaku saat aku baru saja mengangkat telepon.
“Hilang? Surat? Surat apa?” tanyaku panik.
“Surat cerai.”
***
Aku meremas surat sialan itu sampai hancur. Apa-apaan ini? Cerai? Apa yang ada di otak yeoja itu?
“Eomma tidak tahu dia dimana?”
Eommaku menggeleng, sibuk menenangkan Jino yang dari tadi menangis.
Aku meraih HP-ku, mencoba menghubungi appa Hye-Na. terdengar nada sambung di seberang sana dan sesaat kemudian suara appanya menjawab.
“Appa, apa Hye-Na ada disana?”
***
HYE-NA’S POV

Aku berjalan gontai di sepanjang trotoar menuju rumahku. Otakku rasanya hampir meledak saking stressnya. Aku baru saja mengambil keputusan terbesar sekaligus terburuk dalam hidupku. Yang berakibat pada kematian seluruh syarafku. Kalau ada manusia yang seperti mayat hidup, akulah orangnya.
Aku mendorong pintu pagar sampai terbuka. Melihat mobil Ferrari hitam terparkir di halaman rumahku membuatku refleks melangkah mundur keluar pagar. Tapi belum sempat aku mencapai pagar, aku mendenagr suara dingin yang menghentikanku. Setajam silet walaupun masih terdengar tenang dan terkontrol. Aku terpaku, dia belum pernah berbicara dengan nada seperti itu padaku.
“Jangan jadi pengecut, Hye-Na.”
Aku berbalik, mendapatinya sedang bersandar di bagian belakang mobilnya. Dan yang membuatku syok adalah dia merokok. Tampangnya tampak acak-acakan walaupun masih lebih tampan daripada namja manapun yang pernah kulihat.
Dia membuang rokoknya ke tanah, menginjaknya sampai hancur. Lalu dia melaangkah ke arahku, mencengkeram tanganku dengan kasar, menarikku masuk ke dalam rumah.
Appaku sedang di luar negeri dan aku pikir tidak ada yang bisa menyelamatkanku dari amukannya. Dia benar-benar terlihat hampir meledak sekarang saking murkanya.
Dia membanting pintu sampai tertutup, mendorongku sampai tersudut ke dinding.
“Apa yang kau lakukan?” bentaknya.
“Cerai,” jawabku, berusaha mengumpulkan keberanian.
“Wae?” tanyanya dengan suara bergetar menahan marah.
“Kau kan menikahiku hanya untuk mendapatkan keturunan. Aku sudah memberikannya, jadi kau bisa menceraikanku sekarang.”
Dia mencengkeram bahuku lebih kuat, membuatku meringis kesakitan.
“Brengsek, aku mencintaimu! Tak tahukah kau?”
Aku terhenyak kaget, mencoba menyerap ucapannya barusan.
“Persetan dengan perasaanmu padaku! Aku tidak peduli kalau kau menjalin hubungan dengan namja manapun di dunia ini, tapi tolong jangan memperlakukanku seperti ini! Tolong bertahanlah! Tidak apa-apa kalau aku harus hidup walaupun setiap hari kau menyakitiku, itu jauh lebih baik daripada hidup tanpamu. Aku butuh eksistensimu untuk bernafas, Na~ya….”
***
Aku terlalu kalut untuk mendengar semua pengakuannya. Coba pikir, bagaimana mungkin namja sesempurna ini mencintaiku? Kalau ini lelucon, semuanya benar-benar sudah kelewatan.
“Aku terbiasa denganmu itu benar. Takut kau pergi juga benar. Aku terobsesi padamu, itu bisa kupertanggungjawabkan, jadi tolong, berusahalah untuk mencintaiku. Aku bisa memberimu waktu seumur hidup kalau perlu.”
Aku jatuh terduduk di lantai. Membenamkan wajahku ke atas lutut. Dia memintaku untuk belajar mencintainya? Yang benar saja! Ini bahkan sudah melampaui tahap tergila-gila!
***
KYUHYUN’S POV

Aku memandangi tubuhnya yang terpuruk di lantai. Apa susah sekali baginya untuk belajar mencintaiku? Untuk mencoba bertahan di sisiku? Tapi tentu saja, dengan segala keegoisanku, aku tidak sanggup melepaskannya…. Aku bisa hidup tanpa dia, mungkin aku akan jadi setengah gila kalau itu terjadi, tapi aku tidak mau hidup tanpa dia, karena aku tahu bagaimana akibatnya untukku.
Aku berlutut di hadapannya, menarik tubuh yang rapuh itu ke dalam pelukanku. Aku bisa mendengarnya menangis terisak-isak, tidak beraksi apa-apa terhadap perlakuanku.
“Kau tidak bisa?” tanyaku, menghabiskan tenaga untuk menabahkan diri kalau dia menolakku, walaupun tahu itu sia-sia saja. Aku akan hancur kalau itu sampai terjadi.
“Kau tidak mungkin mencintaiku,” ujarnya dengan suara teredam karena dia membenamkan wajahnya di dadaku.
Aku membalas ucapannya dengan sebuah tawa frustasi.
“Tidak mungkin mencintaimu, hah?” ulangku. “Oh, jadi kau gadis seperti itu, yang harus diberi tahu dulu baru bisa mengerti? Bukankah aku sudah menunjukkannnya dengan begitu gambling padamu? Kau tidak bisa melihatnya?”
Dia menggeleng, mengangkat wajahnya untuk menatapku. Matanya basah, emmbuat egoku terusik. Namja macam apa yang berani membuat gadis yang dicintainya menangis seperti ini?
“Meminta cerai padamu, itu bunuh diri sebenarnya,” katanya. Dia menatap mataku lurus-lurus. “Aku hampir mati karena mencintaimu, tak tahukah kau?”
***
Gadis yang ada di pelukanku ini mencintaiku? Gadis yang bersinar-sinar begitu mempesona ini mencintaiku?
“Kukira ucapan terima kasihmu setelah aku melahirkan itu adalah ucapan perpisahan. Rasa terima kasih karena aku sudha memberimu keturunan dan kau sudah tidak membutuhkan aku laagi di sisimu. Aku tahu suatu saat nanti itu akan terjadi, mengira aku mungkin sudah siap sekaligus tahu bahwa aku tidak akan pernah mungkin bisa siap untuk meninggalkanmu.”
“Ucapan perpisahan?” potongku. “Itu adalah ucapan terima kasih karena kau bersedia mempertaruhkan nyawa untuk anak kita, Na~ya.”
“Aku setiap hari dilanda ketakutan bahwa kau akan meninggalkan aku. Tersiksa sendiri dengan cintaku. Merasa bahwa kau tidak pernah peduli. Aku terus-terusan mencintaimu, sedangakan….”
Aku menyela ucapannya dnegan satu ciuman yang panjang dan dalam. Menyalurkan kelegaan yang menguar dari hatiku. Bahwa dia juga mencintaiku… tersiksa karena takut kehilanganku…. Sebuah kesalahpahaman yang manis….
***
Malam kedua ini bahkan jauh lebih sempurna daripada malam pertama yang dulu. aku bebas mengapresiasinya sekarang, tanpa takut adanya penolakan.
Sinar rembulan yang masuk lewat jendela kamar membuat wajahnya bercahaya menyilaukan. Sudahkah aku bilang bahwa istriku ini cantik sekali?
Dia tertidur pulas. Menarik nafas dengan teratur. Sedangakan aku hanya mengamatinya. Bahkan mungkin aku bisa bilang bahwa aku tidak akan pernah bosan menontonnya tidur seumur hidupku….
***
HYE-Na’S POV

Aku membuka mataku dan langsung mendapati wajahnya berada hanya beberapa senti di depanku. Aku jadi heran, kenapa Tuhan menghabiskan waktu membuat wajah jelek jika Dia dengan sebegitu mudahnya bisa menciptakan sesuatu seindah ini?
“Kau mau kemana?” tanyanya dengan suara serak sambil emnarik pinggangku lagi ke arahnya saat aku bermaksud turun dari tempat tidur.
Oh, gila! Sentuhannya di kulitku membuat kekacauan sistem syaraf dan pembuluh darah dalam tubuhku.
“Jino. Aku merindukannya.”
Refleks dia tersenyum ke arahku, membebaskanku dari dekapannya, yang jujur saja sangat sulit untuk dilakukan.
Dia mengernyit heran saat aku tetap juga tidak bergerak turun dari tempat tidur.
“Apa?” tanyanya tidak paham.
“Aku tidak pakai apa-apa, Cho Kyuhyun!” seruku tertahan, merasa malu. “Setidaknya cobalah untuk berbalik atau tutup matamu!” sergahku
“Oh, yang benar saja!” ejeknya. “Aku kan sudah lihat semua.”
“Itu beda! Tadi malam kan gelap!” protesku tak mau kalah.
“Aish, ara, ara.”
Dia berbalik ke dinding sehingga aku bisa langsung meraih baju dari dalam lemari lalu berlari masuk ke kamar mandi. Benar-benar pagi yang sinting!
***
Aku tersenyum menatap Jino yang menggapai-gapai ke arahku, berusaha lepas dari gendongan eomma. Aku meraihnaya dan dia langsung menatapku dengan antusias, mengeluarkan senyum lucunya.
“Dia rewel terus. Tidak mau makan dari kemarin. Minum susu pun susah,” jelas eomma.
“Maaf,” ucapku yang dibalas dengan kibasan tangan eomma.
“Sudahlah, lupakan saja! Yang penting kau sudah pulang sekarang!”
Aku mengangguk, membawa Jino ke atas untuk menyusuinya. Tadi setelah mengantarku, Kyuhyun langsung pergi lagi karena ada konser. Dia sibuk sekali akhir-akhir ini, sepertinya penjualan album barunya melonjak naik.
Sekitar dua puluh menit kemudian, saat Jino sudah tertidur pulas, HP-ku berbunyi. Nomornya tidak kukenal.
“Yeoboseyo?”
“Hye-Na~ya, bisa kita bertemu?”
Tidak mungkin salah lagi. Suara selembut itu pasti suara Eun-Ji.
“Tennag saja, aku sedang tidak bernafsu membunuh.”

HYE-NA’S POV

Aku menatap Eun-Ji yang duduk di hadapanku. Hanya dengan memakai tank-top hitam dan celana jins saja dia sudah terlihat begitu mempesona. Kemudian aku ganti menunduk, menilai diriku sendiri. Jins belel dan kaus biasa bertuliskan ‘I DON’T CARE’ kesukaanku ini sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan dia.
Dia mengaduk lemon tea-nya sesaat lalu memutuskan untuk memulai pembicaraan denganku.
“Kau meminta cerai?” tanyanya padaku.
“Dari mana kau tahu?” selidikku.
“Temanku yang mengurus surat perceraianmu. Dan tiba-tiba dibatalkan begitu saja?”
“Kabar buruk bukan?”
“Tidak juga,” katanya seraya mengedikkan bahu. “Kalau boleh tahu apa alasannya?”
“Kukira dia tidak mencintaiku.”
“Oh!” serunya antusias. “Dan perceraian itu batal tentunya karena dia mengungkapkan perasaannya bukan?”
Aku mendelik menatapnya. Dia aneh sekali. Kenapa jadi semangat begitu? Bukankah seharusnya dia marah karena aku merebut Kyuhyun?
“Iya,” jawabku akhirnya.
“Jadi kau tidak tahu bahwa dia mencintaimu?”
Kali ini aku menggeleng.
“Kau mau dengar ceritaku tidak?”
Aku menatapnya heran lalu mengangguk.
“Eomma dan appaku ingin aku melanjutkan ssekolah keluar negeri. Tapi aku tidak mau. Entah kenapa rasanya bahagia sekali jika aku melawan mereka. Mereka sibuk sendiri dengan perusahaan, tidak pernah ada di rumah, tapi malah dengan seenaknya ingin mengatur hidupku. Maka aku bersikeras ingin melanjutkan SMA-ku disini. Pertengkaran besar, kau tahu?”
Dia menarik nafas sesaat, seakan sedang mengingat masa-masa itu lagi.
“Aku menang. Tentu saja. Setelah mengancam mereka bahwa aku akan kabur dari ruamh. Di sekolah itulah untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Pada Kyuhyun. Aku ingat sekali waktu itu dia begitu alergi terhadap yeoja. Hampir 50% dari seluruh yeoja di SMA itu menyukainya. Setiap hari ada saja yang menyatakan cinta padanya, wlaau akhirnya selalu ditolak dengan berbagai macam makian. Dari semuanya, akulah yang paling tebal muka, tidak henti-hentinya berusaha menarik perhatian dia.”
“Banyak dari yeoja-yeoja yang sakit hati itu mnegambil kesimpulan bahwa Kyuhyun itu gay, penyuka sesama jenis. Tapi anehnya dia juga tidak terlalu bergaul dengan anak laki-laki.”
“3 tahun setelah itu kami tamat. Aku diterima di Harvard tapi aku malah memilih sekolah fashion di Milan. Orang tuaku lagi-lagi menentang, tapi aku membuktikan pada mereka bahwa aku memang bisa, aku berbakat. Lalu setelah tamat aku mendirikan perusahaan mode di Paris.”
“Kemudian aku bertemu dengan kalian. Sekali lihat aku langsung tahu bahwa dia sangat mencintaimu, tapi kau sendiri dengan bodohnya malah tidak sadar. Aku terkejut sebenarnya saat tahu bahwa Kyuhyun bisa begitu dekat dengan seorang yeoja. Cara dia merangkulmu, tersenyum padamu, menatapmu, semuanya seperti bukan Kyuhyun.”
“Sampai kau menghilang waktu itu. Dia panik sekali. Aku belum pernah melihatnya sekacau itu. Waktu dia bertanya pada penjaga pintu, Bahasa Inggrisnya berlepotan sekali. Padahal tahukah kau Hye-Na~ya, Kyuhyun itu tipe orang yang sangat pandai mengendalikan emosinya. Orang tidak akan tahu kalau dia sedang marah, sedih, ataupun gembira. Ekspresinya selalu datar-datar saja.”
“Tidak juga. Dia selalu marah-marah padaku. Kadang-kadang dia juga sering tersenyum.”
“Itu artinya dia sudah membuka hatinya lebar-lebar padamu,” ujar Eun-Ji sambil tersenyum.
“Kau ini kenapa? Aneh sekali!” tanyaku heran.
“Aku ingin bertemu denganmu bukan untuk memberitahumu seberapa besar Kyuhyun mencintaimu, tapi aku ingin memberikan undangan. Aku akan menikah,” katanya dengan nada antusias. Dia mengambil sebuah undangan berwarna cokelat keemasan dari dalam tasnya lalu menyerahkannya padaku.
“Dia sahabatku sejak kecil. Tempat aku curhat betapa aku sangat mencintai Kyuhyun. Aku tidka bisa membayangkan betapa sakitnya dia selama ini. Sepulang dari pesta launching album Kyuhyun waktu itu aku benar-benar patah hati. Dia yang menghiburku. Lalu entah kenapa, taraaaa…. Ternyata kami sudah bertunangan!” serunya dengan wajah berbinar-binar bahagia.
“Hei, berjanjilah padaku kau akan datang bersama Kyuhyun, oke?”
Aku mengangguk, ikut merasakan kebahagiaan yang menguar darinya.
“Oh iya, kudengar anakmu namja. Kalau nanti aku hamil dan ternyata anakku yeoja, kau mau tidak menjodohkannya dengan anakku? Setidaknya kalau aku tidak bisa mendapatkan appanya, anaknya juga boleh!” guraunya, membuatku tertawa.
“Bisa diatur,” ucapku.
***
KYUHYUN’S POV

Aku lewat tengah malam dengan tubuh kelelahan, berjalan melewati ruang keluarga yang gelap. Laangkahku terhenti saat melihat tubuh Hye-Na yang sedang terbaring di atas sofa. Kuputuskan untuk menghidupkan lampu lalu menghampirinya.
“Hye-Na~ya?” panggilku seraya mengguncang-guncang tubuh gadis itu. Dia menggeliat sesaat sebelum membuka matanya.
“Hei, kau sudah pulang,” ujarnya serak sambil mengucek-ucek mata.
“Kenapa tidak tidur di dalam saja?”
“Aku menunggumu. Kau sudah makan?”
Aku menggeleng, teringat bahwa aku sama sekali tidak makan dari tadi siang.
“Ya sudah. Tadi eomma masak bulggogi. Kau pasti lapar,” katanya kemudian menarikku ke meja makan.
Dia emngambil piring lalu menyendokkan nasi untukku. Aku tersenyum dalam hati. Betapa sempurnanya hidupku sekarang. Keluargaku sudah lengkap.
“Tadi siang aku membuka internet,” ujarnya tiba-tiba. Aku menelan makananku lalu meraih gelas berisi air putih.
“Maaf, aku tidak tahu akibatnya jadi begini. Kau pasti kesusahan sekali tadi,” lanjutnya.
Aku menghela nafas pelan. Entah bagaimana para wartawan itu bisa tahu bahwa Hye-Na mengajukan cerai, padahal tuntutan itu sudah dibatalkan. Dan mereka merecokiku habis-habisan sepanjang siang. Tidak mau percaya bahwa aku tidak jadi cerai.
“Semuanya sudah beres. Tenang saja.”
Dia mengangguk pelan.
“Tadi siang aku bertemu Eun-Ji. Dia mau menikah. Dan dia ingin kita datang. Satu minggu lagi.”
“Huh, banyak sekali pasangan yang akan menikah akhir-akhir ini,” dengusku.
“Memangnya siaap lagi?”
“Kau tidak tahu? Eunhyuk dan Ji-Yoo kan juga mau menikah 2 minggu lagi. Terburu-buru sekali. Sudah tidak tahan sepertinya.”
“Hah, yang benar?” serunya tak percaya. “Masa mereka tidak memberitahuku?”
“Terlalu sibuk mengurus ini dan itu. Aku tahu juga karena Ji-yoo minta cuti.”
“Tapi setidaknya eomma kan bisa memberitahuku.”
“Eomma juga repot. Tadi dia menemani Ji-Yoo seharian, belanja perlengkapan pernikahan mereka,” jelasku.
“Pantas saja eomma dari pagi tidak kelihatan. Pulang-pulang langsung masuk kamar.”
“Sepertinya besok kau juga akan sibuk. Jaga diri, jangan terlalu diforsir. Arasseo?” nasihatku yang diikuti anggukan kepalanya.
***
HYE-NA’S POV

Aku menatap bayangan diriku di cermin. Lagi-lagi Ji-Yoo yang membantuku berdandan, sebagai balasan karena aku rela menemaninya berkeliaran kesana kemari mencari gaun pengantin.
Seperti biasa, dengan sedikit keajaiban, aku bisa terlihat cantik.
“Ternyata warna kuning itu bagus juga di tubuhmu,” ujar Kyuhyun yang tiba-tiba saja sudah muncul entah dari mana, memeluk pinggangku dari belakang. Wangi tubuhnya lagi-lagi merasukiku.
“Sepertinya sayang sekali kalau aku harus membagi kecantikanmu dnegan orang lain. Bagaimana kalau kita di rumah saja? Kita bisa melakukan hal lain,” godanya.
“Tidak, jangan macam-macam!” kecamku selagi bisa, selama aku masih dalam keadaan sadar.
Aku meloloskan diri dari dekapannya, mengambil tas jinjingku dari atas kasur lalu mendelik padanya.
“Kau mau pergi atau tidak?”
***
Kami datang tepat waktu, tapi ternyata sudah banyak undangan yang datang. Pesta pernikahannya benar-benar mewah sekali. Kelopak-kelopak bunga berserakan dimana-mana. Temanya seperti negeri dongeng. Ada Putri Salju, Cinderella, dan banyak lagi. Kalau orang yang tidak tahu pasti sudah mengira bahwa ini pesta ulang tahun anak umur tiga tahun. Tapi desainnya memang mewah dan elegan.
“Memangnya Eun-Ji itu artis? Kenapa banyak wartawan begitu?” bisikku pada Kyuhyun.
“Suaminya yang artis. Choi Siwon. Masa kau tidak tahu?”
“Aku kan jarang nonton TV.”
Para wartawan itu mulai mengerubungi kami. Bertanya ini itu tentang kasus perceraian yang kuajukan. Untung saja Kyuhyun langsung menarikku ke tempat Eun-Ji dan suaminya berdiri.
“Hai Hye-Na~ya, kau suka tidak dengan temanya? Aku sudah susah payah mendekornya, loh!” seru Eun-Ji girang saat aku sudah berdiri di hadapannya. Dia kelihatan cantik sekali dalam balutan gaun pengantinnya.
“Kreatif sekali,” pujiku.
“Yak, Kyuhyun oppa, kau pasti sennag kan terbebas dariku?” tuduhnya saat aku beralih memberi selamat pada suaminya. Dia namja yang tampan, cocok bersanding dengan kecantikan Eun-Ji yang luar biasa.
“Kenapa kau tidak membawa anakmu?” protes Eun-Ji.
“Dia sedang tidur. Eomma yang menjaganya,” jawabku.
“Kau masih ingat janji kita, kan?” godanya.
Aku tertawa lalu mengangguk, terpaksa pergi karena ada banyak orang yang juga ingin memberi selamat pada mereka berdua.
“Janji apa?” tanya Kyuhyun penasaran sambil mengikuti langkahku.
“Perjodohan anak kita. Pasti keren! Kalau anaknya yeoja kan kita bisa jadi besan. Anaknya seharusnya akan cantik sekali.”
Aku terkikik melihat wajah Kyuhyun yang melongo menatapku.
***
EUNHYUK’S POV

Setelah mengucapkan janji pernikahan pagi tadi, mala mini aku dan Ji-Yoo harus menjalani resepsi sialan ini! Yang benar saja, masa aku harus pakai jas sepanjang hari! Aku tidak peduli jas ini merk Armani atau apa, aku bersumpah akan segera membuangnya ke tong sampah setelah resepsi ini, membuatku gerah saja!
Tapi ada sedikit hiburan. Ji-Yoo cantik sekali mala mini. Oh, aku tahu dia dasarnya memang sudah cantik dan malam ini dia bertambah cantik seribu kali lipat.
Dia tersenyum gugup padaku, memegangi lenganku erat-erat. Aku menepuk punggung tangannya pelan, menenangkan. Dia ini aneh sekali, tadi waktu mengucapkan janji pernikahan dia sama sekali tidak gugup, eh sekarang malah seperti cacing kepanasan.
Hye-Na tergopoh-gopoh mendatangi kami seraya menggendong Jino. Dia juga tampak cantik. Aku sudah mulai bisa menganggapnya sebagai kakak ipar sekarang, dibantu oleh yeoja luar biasa di sampingku ini.
“Aku mau memberi selamat pada kalian sebelum para tamu tambah banyak. Huh, Cho Kyuhyun sialan itu malah menghilang entah kemana. Ah, biarkan saja!” cerocosnya lalu memeluk Ji-Yoo kemudian ganti menepuk lenganku pelan.
“Jaga Ji-Yoo baik-baik. Arasseo?”
Aku mengangguk. Jino menggapai-gapai ke arahku sehingga aku tidak tahan untuk mencubit pipinya yang menggemaskan.
“Jino~ya, tidak boleh! Ajjushi sedang jadi pengantin sekarang, dia tidak bisa menggendongmu. Nanti kau malah mengompol lagi!” omel Hye-Na, mengecup pipi anaknya sekilas.
“Kalian harus cepat-cepat punya anak, jangan anakku terus yang kalian monopoli! Masa di lebih dekat dengan kalian daripada aku!” protesnya.
“Kan kau sendiri yang sok sibuk mengurusi pernikahan kami,” balas Ji-Yoo.
“Aku kan tidak sempat mengurusi pernikahanku sendiri, jadi aku mau balas dendam sekarang! Keren, kan?”
Aku mencibir. Dasar Hye-Na, selalu saja membanggakan diri sendiri.
***
KYUHYUN’S POV

Eunhyuk memintaku jadi wedding singer dadakan. Sial, sejak kapan aku menyanyi tidak dibayar?
Aku naik ke atas panggung, menoleh kesana-kemari mencari sosok Hye-Na di antara lautan manusia. Dia sedang berdiri di sudut, asyik mengobrol dengan Eun-Ji. Dasar yeoja! Dulu bertengkar, sekarang malah seperti kembar siam. Pasti mereka sedang membicarakan tentang perjodohan itu lagi.
Aku mengambil gitar, duduk di atas kursi yang disediakan lalu mulai memetik senarnya.
I can’t believe I’m standing here
Been waiting for so many years
And today I found the queen to reign my heart
(Aku tidak percaya aku bisa berdiir disini
Telah menunggu selama bertahun-tahun
Dan hari ini aku telah menemukan seorang ratu yang akan memerintah di hatiku)
You changed my life so patiently
And turned it into something good and real
I feel just like I feel in all my dreams
(Kau mengubah hidupku dengan penuh kesabaran
Dan membuatnya mnejadi sesuatu yang indah dan nyata
Aku merasakan seperti apa yang kurasakan di seluruh mimpi-mimpiku)
There are questions hard to answer
Can’t you see?
(Ada banyak pertanyaan yang sulit untuk dijawab
Tidak bisakah kau lihat?)
Baby, tell me how can I tell you
That I love you more than life
Show me how can I show you
That I’m blinded by your light
When you touch me I can touch you
To find out the dream is true
I love to be loved by you….
(Sayang, beritahu aku bagaimana caranya aku memberitahumu
Bahwa aku mencintaimu lebih dari hidup
Tunjukkan padaku bagaimana caranya aku bisa menunjukkan padamu
Bahwa aku dibutakan oleh cahayamu
Saat kau menyentuhku aku bisa menyentuhmu
Untuk mengetahui bahwa semua mimpi itu benar
Aku mencinta untuk dicintai olehmu)
You’re looking kind of scared right now
You’re waiting for the wedding vows
But I don’t know if my tongue’s able to talk
Your beauty is just blinding me
Like sunbeams on a summer stream
And I gotta close my eyes to protect me
Can you take my hand and lead me from here, please?
(Kau terlihat takut sekarang
Kau menanti janji pernikahan
Tapi aku tidak tahu apakah lidahku bisa bicara
Kecantikanmu saja membutakanku
Seperti sinar matahari pada aliran musim panas
Sehingga aku harus menutupi mataku untuk berlindung
Bisakah kau menarik tanganku dan memimpinku dari sini?)
I know they gonna say our love’s not strong enough to last forever
And I know they gonna say that we’ll give up because of heavy weather
But how can they understand that our love is just heaven sent?
We keep on going on and on cause this is where we both belong
(Aku tahu mereka akan berkata bahwa cinta kita tidak cukup kuat untuk bertahan selamanya
Dan aku tahu mereka juga akan berkata bahwa kita akan menyerah karena situasi yang berat
Tapi mana mungkin mereka mengerti bahwa cinta kita adalah kiriman dari surga?
Tapi kita terus dan terus bertahan karena ini adalah tempat milik kita berdua)
Marc Terenzi – Love To Be Loved By You
Hye-Na tersenyum padaku saat aku menuntaskan melodi terakhir. Aku sama sekali tidak memedulikan tepuk tangan dari para tamu. Yang aku tahu hanyalah dia yang sedang berdiri disana, paling berkilau di antara ratusan gadis lainnya.
Aku memberi kode pada pelayan untuk melaksanakan perintahku. Sebuah kejutan kecil untuk istriku tersayang.
***
HYE-NA’S POV

“Maaf Nyonya, ini ada kiriman dari suami Anda.”
Seorang pelayan berdiri di hadapanku, mengulurkan sebuah amplop berwarna putih. Aku mengambilnya, tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih.
Aku berjinjit mencari Kyuhyun. Tapi dia tidak kelihatan dimanapun.
“Ayo buka!” seru Eun-Ji semangat.
Aku merobek amplop itu, mengeluarkan isinya. Dua lembar tiket ke Paris?
“Bulan madu kedua. Yang pertama kan tidak sukses,” ujar Kyuhyun yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku.
Eun-Ji nyengir bersalah ke arah kami, mengacungkan jari telunjuk dan jari tenganhya membentuk tanda damai.
“Dalam rangka apa?” tanyaku dengan nada memprotes. Dia kan tahu aku tidak suka kemewahan. Membuang-buang uang seperti ini.
“Ulang tahunmu. Ulang tahun pernikahan kita. Masa kau lupa?”
“Romantis sekali!” cetus Eun-Ji dengan nada mengejek kemudian berlalu pergi untuk mencari suaminya.
Wajahku sudah memerah sekarang. Bodoh sekali aku! Masa aku bisa melupakan hal-hal sepenting itu?
“Mianhae,” gumamku.
“Hmm, tidak usah dipikirkan. Jino mana?”
“Eomma,” ucapku tak jelas.
Dia menatapku lalu tersenyum, menepuk tanganku untuk menenangkan.
“Kan sudha kubilang, tidak apa-apa. Oke?”
Aku mengangguk, berusaha menyingkirkan perasaan bersalahku. Dia sudah memberi terlalu banyak sedangkan aku? Apa yang sudah kulakukan untuknya?
***
HYE-NA’S POV

Taraaa… Paris again! Dan tetap saja tempat ini masih semempesona biasanya! Menakjubkan!
Agak egois mungkin karena hanya untuk kesenangan semata, kami harus menitipkan Jino pada eomma. Tapi aku bisa tenang karena da sepasang pengantin baru yang dnegan senang hati mau mengurus anakku. Dua pasang sebenarnya karena Eun-Ji juga mendesak kami berdua untuk memperbolehkannya merawat Jino selama satu hari. Ngomong-ngomong, ternyata dia adalah yeoja yang menyenangkan. Heran kenapa dia dulu bisa semenyebalkan itu.
Hari pertama disini kami berkeliling kota, melihat Sungai Seine, museum Madam Thussaud (sayang sekali belum ada patung lilin Robert Pattinson disana! Padahal aku kan ingin berfoto dengannya! Sekedar patung lilin juga tidak apa-apa. Mungkin aku akan memohon pada Kyuhyun untuk liburan ke Forks, tempat syuting Twilight. Untuk menghibur diri aku berfoto dengan patung lilin Daniel Radcliffe), ke stadion bola, dan banyak lagi! Aku tidak bisa mengeja nama tempatnya.
Hari kedua?
“Aku tidak mau!” teriakku, memprotes waktu Kyuhyun membawaku ke restoran super mewah tempat aku diusir dulu itu.
“Tenanglah, tidak apa-apa.” Kyuhyun berusaha menenangkanku.
“Kau tidak lihat? Aku pakai sandal, Kyuhyun~a!”
“Peraturannya sudah berubah,” ujarnya singkat lalu menarik tanganku masuk. Penjaga pintu waktu itu mengangguk sopan ke arahku. Sama sekali tidak menampakkan wajah mencelanya dulu padaku.
“Bagaimana bisa?” tuntutku, terbelalak saat melihat bahwa restoran itu kosong melompong tanpa pengunjung.
“Aku sudah membelinya,” ujar Kyuhyun dengan nada terdengar biasa-biasa saja, tidak peduli sama sekali.
“Gila!” teriakku syok.
“Investasi jangka panjang. Aku tidak akan menyia-nyiakan uangku untuk hal-hal tak berguna, Hye-Na~ya.”
Aku hendak membuka mulut untuk protes tapi dia sudah memotong ucapanku duluan.
“Dan aku sudah menyumbang ke panti asuhan.”
Huh, dia benar-benar sudah memikirkan segalanya.
***
Jujur saja, makanannya enak sekali! Pantas saja restoran ini begitu mewah.
Aku menyilangkan sendokku di atas piring setelah selesai makan, meneguk air putih untuk melancarkan pencernaan.
“Hei, aku sudah mendapatkan lirik untuk laguku waktu itu. Kau mau dengar tidak?”
Aku mengangguk antusias. Dia beranjak pergi dari hadapanku, duduk di depan sebuah grand piano dan sedetik kemudian sudah memainkan nada-nada indah dari tuts-tutsnya.
Aku ingin menjadi mentari, tapi kau terlalu bercahaya sehingga sinarku menjadi mati….
Aku ingin menjadi bintang, tapi aku takut ditolak malam, karena sudah ada kau… benderang yang sanggup menandingi bulan…
Aku ingin menjadi pangeranmu, tapi kau tidak berniat memilikiku…
Maka aku bertanya pada angin, apakah kita ada di takdir kehidupan?
Karena jika tidak di dunia aku akan mengejarmu sampaai ke alam baka…
Apabila tidak berhasil juga, aku akan menyusulmu ke surga…
Atau meminta kita dipersatukan di panasnya api neraka….

***
Setelah permohonan disertai paksaan sedemikian rupa, akhirnya dia mau mengalah dan mengikutiku ke Eiffel!
“Masa kau tidak bosan juga?” protesnya padaku.
“Yah, kemarin kan aku kurang menikmati,” ujarku mengajukan pembelaan.
Kami duduk di kursi taman yang langsung menghadap ke Eiffel. Dia menyusulku setelah membeli du gelas kopi Starbucks untuk kami berdua.
“Lalu apa yang akan kita lakukan? Melihat cahaya lampu Eiffel? Benar-benar kencan yang romantic!” ejeknya.
“Bagaimana kalau kau bercerita?” usulku.
“Cerita apa? Putrid Salju? Atau Cinderella?
“Ceritakan apa yang kau rasakan dari awal kita bertemu. Aku penasaran sekali…” cetusku, tidak mempedulikan ejekannya.
Dia mengerutkan kening sesaat.
“Kau tanya, aku jawab,” putusnya.
“Apa pendapatmu waktu kita pertama kali bertemu?”
“Jujur, aku berpikir bahwa kau  adalah wanita paling menarik yang pernah kulihat. Dan yang mengherankan adalah entah mengapa aku merasa bahwa aku sangat merindukanmu. Aku pergi waktu itu karena tidak mau lepas kendali dan memelukmu.”
Wow….
“Lalu… waktu di apartemenmu, kenapa kau menciumku?”
“Aku… agak kaget waktu melihatmu. Di saat-saat seperti itu, laki-laki akan sedikit… hilang kendali… dan… eh… kau mengerti kan kalau aku bilang laki-laki itu lebih mengandalkan nafsu?”
Aku mengangguk, sama sekali tidak habis pikir bagaimana mungkin wanita sepertiku bisa membuatnya bernafsu.
“Kenapa kau setuju menikah dneganku?”
“Sudah kubilang, aku merasa memiliki ikatan yang sangat kuat denganmu…. Seolah-olah aku sudah mengenalmu bertahun-tahun, mencintaimu setiap hari. Aku malah sempat berpikir bahwa aku mengalami amnesia.”
“Kalau ketertarikanmu padaku sebesar itu, kenapa waktu itu kau berusaha membatalkan pernikahan kita?”
“Pertaruha besar sebenarnya. Di satu sisi aku tidak ingin kau dan Eunhyuk berpisah gara-gara aku. Tapi di sisi lain aku begitu egois, begitu menginginkan kehhadiranmu. Aku hanya ingin bersikap gentleman saja, berharap kau menolak membatalkan pernikahan kita. Dan untung saja iya.”
“Bagaimana kalau tidak?”
Dia menatapku dan mengangkat bahunya.
“Mungkin aku akan berusaha mengubah pikiranmu. Mengiba-iba kalau perlu.”
***
Aku mneutup telingaku dari segala hiruk-pikuk beribu-ribu orang di gedung ini. Gila, ternyata Kyuhyun seterkenal ini!
Aku menoleh ke sekeliling, yeoja-yeoja yang berteriak memanggil nama Kyuhyun, T-Shirt bertuliskan “Kyuhyun, Saranghae!”, serta spanduk dan balon.
Hari ini aku memutuskan untuk menonton konser Kyuhyun, tanpa sepengetahuannya. Hanya ingin tahu seberapa dahsyatnya pengaruh suamiku itu di industri musik Korea. Ini bahkan lebih parah daripada apa yang pernah kubayangkan.
Kyuhyun muncul di panggung dalam balutan jas semi formal dan kaus putih, diiringi dnegan teriakan dari para penggemarnya. Dia seribu kali lebih tampan dari biasanya. Dan… aku mneyukai fakta bahwa dia adalah milikku.
Nekat, aku ikut berteriak dengan para penggemarnya, sampai tenggorokanku terasa sakit. Suaranya benar-benar bagus. Dan penampilannya benar-benar memukau.
Satu jam kemudian konser berakhir. Aku memutuskan keluar belakangan daripada tergencet-gencet orang lain.
“Hai!”
Aku berbalik cepat dan mendapati Kyuhyun sudah berdiri di hadapanku. Aku melongo kaget, setengah sadar saat Kyuhyun menarikku keluar dari kerumunan.
“Bagaimana kau tahu?” tuntutku setelah berhasil mengendalikan diri. Aku memakai topi dan kacamata hitam, sehingga mustahil dia bisa mengenaliku. Masa dia bisa menyadari kehadiranku di antara beribu orang itu?
Dia mengedikkan bahu.
“Molla. Aku hanya merasa aku mendengar suaramu. Lalu tiba-tiba saja kau sudah ada dalam jarak pandangku.”
Dia… Cho Kyuhyun…. Tidak bisakah dia berhenti membuatku sesak nafas?
***
Aku naik ke atas tempat tidur setelah menidurkan Jino. Kyuhyun tersenyum padaku lalu mengulurkan sebuah amplop.
“Apa lagi ini?” protesku, mengambil amplop tersebut kemudian membukanya.
Teriakanku menggema sedetik kemudian. Aku memeluk Kyuhyun lalu mengecup bibirnya sekilas.
Tiket ke Amerika plus voucher menginap di Forks selama satu minggu! FORKS!!!
“Aku baru tahu bahwa kau benar-benar tampan sekali!”
“Kau tidak mau protes?” ejeknya.
“Tidak akan. Oh, akhirnya aku akan bertemu Edward Cullen, pria dengan ketampanan paling spektakuler di muka bumi!”
“Hye-Na~ya, beberapa detik yang lalu kau bilang aku tampan, lalu sekarang kau malah memuji ketampanan pria lain,” ujarnya dnegan nada memprotes.
Aku nyengir ke arahnya.
“Itu lain cerita, Kyuhyun~a! Kau suamiku, sedangkan dia hanya idolaku. Apa yang kau cemburui?”
“Itu artinya ada namja lain di otakmu.”
Aku sama sekali tidak pernah memberitahunya bahwa aku ingin sekali ke Amerika, tapi dia tahu… dia selalu tahu….
“Saranghae…” bisikku.
Dia tampak berpikir sesaat kemudian tersenyum.
“Sepertinya bisa dimaafkan,” kata Kyuhyun seraya meraihku ke dalam pelukannya.
***
KYUHYUN’S POV

Lima hari menjelang keberangkatan kami ke Amerika, aku memberinya sebuah kejutan lagi.
“Bagaimana?” tanyaku meminta pendapatnya. “Kau suka tidak?”
Dia terdiam, memandang bangunan elegan di depan kami. Sebuah rumah sederhana yang begitu manyatu dengan alam. Sungai kecil mengalir di halamannya, dengan jembatan yang terhubung dengan teras rumah. Taman bunga yang indah, air mancur mini, serta jalan setapak yang terhubung dengan halaman belakang rumah, dimana terdapat danau dan gazebo sebagai tempat menghabiskan waktu bersama.
Kemudian dia menggeleng.
“Kau tidak suka?”
“Kata suka itu tidak pantas Kyuhyun~a. aku jatuh cinta pada rumah ini!” serunya antusias.
Aku mengecup keningnya seraya mengelus kepala Jino yang sednag menatapku dengan mimik wakjahnya yang lucu.
“Eomma tidak akan keberatan, kan?” tanyanya was-was.
“Tentu saja tidak. Malah dia yang menyarankan agar kita membeli rumah. Dia tidak suka kita tinggal di apartemen. Lagipula letaknya kan tidak terllau jauh dari rumah eomma. Hanya 15 menit. Dia bisa sering-sering kesini.”
Dia mengernyit lalu menatap rumah itu lagi.
“Aku yakin aku tidak pernah kesini sebelumnya, tapi kenapa aku merasa bahwa aku begitu mengenal rumah ini?”
Aku tertawa, kemudian mengacak-acak rambutnya.
“Kau tahu kenapa aku membeli rumah ini? Karena aku juga merasakan hal yang sama. Tempat ini familier sekali. Seperti kembali ke rumah.”
Dia mengangguk setuju, memegangi tangan Jino yang mulai asyik memuntir-muntir rambutnya.
“Di ujung sana ada apa?” tanyanya tiba-tiba seraya menunjuk jalan setapak di sudut halaman.
Aku berfikir sesaat, ingin memberikan jawaban lain padanya. Dia menatapku, menuntut jawaban. Saat itulah aku melihat sinar matahari memantul dari wajahnya… begitu menyilaukan… seperti hawa…. Lalu aku mulai bicara tanpa sadar.
“Tidak peduli di ujung sana ada apa… asal bisa bersamammu… semua tempat adalah surga….””

4 komentar:

  1. Wow keren,. Panjang banget,. Daebak,. 3 jam bacane.. hehe
    Sekali lg kerennn,.

    BalasHapus
  2. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

    BalasHapus
  3. kerennn banget ...
    sumpah ini ff oneshoot terpanjang yg pernah aku baca hehe..

    pokonya Daebak 5jempol deh

    BalasHapus
  4. Agen Slot Terpercaya
    Agen Situs Terpercaya

    Yuk Gabung Bersama Kami Sekarang Dan Nikmati Berbagai Macam Bonus Menarik Lain Nya Seperti:

    - Sportbook
    - Live Casino
    - Slot Game
    - Poker
    - Tembak Ikan
    * Bonus 180% NEW MEMBER
    * Bonus New Member 30%
    * Bonus Happy Hour 25%
    * Bonus 20% Poker
    *Bonus Setiap Hari 5%
    Segera Bergabung Dengan Kami :
    Contact :
    WA : 081358840484
    BBM : 88CSNMANTAP
    Facebook : 88CSN

    BalasHapus

Blogroll

About